[PORTAL-ISLAM.ID] Megaproyek yang akan digarap bersama pemerintah Indonesia dengan China, melalui skema One Belt One Road Initiative (OBOR) yang kini berganti nama menjadi Belt and Road Initiative (BRI), tetap dianggap membebankan negara. Walau menggunakan business to business atau B to B, bukan Govermment to Government atau G to G.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai proyek Belt and Road Initiative (BRI) atau jalur sutra akan memberatkan rakyat Indonesia. Saat ini ada 28 proyek besar senilai USD 91,1 miliar atau setara Rp 1.295,8 triliun yang ditawarkan pemerintah Indonesia untuk didanai lewat utang dari China.
Ke-28 proyek tersebut ditawarkan saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kedua The Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra pada April 25-28 April di Beijing, China. Dari 28 proyek yang ditawarkan akhirnya disetujui 23 proyek.
Koordinator Kampanye Walhi, Edu Rakhman menjelaskan, pemerintah berkelit kalau utang itu B to B. Tetapi, esensinya, tetap menjadi tanggung jawab pemerintah juga, karena harus ada government guaranteed.
"Kalau kita cek yang BUMN, yang menguasai utang swasta Indonesia. BUMN masuk kategori swasta. Berarti, sama saja pemerintah yang akan berkontribusi dan turut bertanggung jawab dalam menyelesaikan pembayaran utang, kalau kemudian B to B yang jadi pilihan," jelas Edu, dalam keterangan pers di Kantor Walhi, Jalan Tegal Parang Nomor 14, Mampang Jakarta Selatan, Senin 29 April 2019.
"Jadi, baik itu G to G atau B to B yang didominasi BUMN, tetap akan menjadi tanggung jawab negara dan pasti menjadi beban rakyat Indonesia," katanya.
Jebakan Utang China
Terkait jebakan utang, dia mencontohkan kasus yang sudah terjadi di Sri Lanka. Di mana mereka tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang dalam proyek pembangunan pelabuhan sehingga pada akhirnya pelabuhan tersebut jatuh ke tangan China sebagai jaminan.
Dia melanjutkan, pemerintah memang memberikan syarat bagi masuknya investasi asing dari China antara lain, pertama, investor China harus menggunakan tenaga kerja asal Indonesia. Kedua, perusahaan yang berinvestasi harus memproduksi barang yang bernilai tambah (added value).
Ketiga, perusahaan asal China wajib melakukan transfer teknologi kepada para pekerja lokal. Keempat, Pemerintah Indonesia memprioritaskan konsep investasi melalui business to business (B to B) bukan government to government (G to G). Kelima, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan.
"Kelima syarat tersebut tentu saja terlihat baik, namun perlu juga dilihat apakah selama ini proyek yang dibiayai oleh China melaksanakan ketentuan tersebut?" ujarnya.
Soal utang China, dia menjelaskan, saat ini Indonesia sudah mengelola utang dari China.
"Baik G to G ataupun B to B, kami menganggap bukan disitu persoalannya, dan kami tidak mau terjebak pada perdebatan itu. Karena pada dasarnya, Indonesia sudah mengelola utang dari Pemerintah China," dia menambahkan.
Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah China sebesar USD 17,7 miliar atau setara dengan Rp 248,4 triliun dengan kurs Rp 14.000.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yakin Indonesia bisa terhindar dari jebakan utang China (debt trap) dalam proyek Belt and Road Initiative.
"Ada yang memperingati debt trap, itu untuk yang skemanya tidak seperti kita. Kita tidak melakukan perjanjian G to G [antarpemerintah], kita gunakan skema B to B [antarbadan usaha]. Itu sangat baik untuk mengurangi resiko jebakan ini," katanya, Sabtu (27/4/2019).
Luhut menyampaikan hal tersebut di tengah rangkaian Belt and Road Forum di Beijing, Cina, Jumat. Menurut dia, dengan skema B to B, tidak ada uang pemerintah yang disertakan dalam proyek-proyek tersebut.