[POR 6TAL-ISLAM.ID] Kok banjir lagi? Itulah Jakarta. Dari zaman kolonial ketika masih bernama Batavia, Jakarta sudah langganan banjir. Sebenarnya, bukan hanya Jakarta yang langganan banjir.. Banjir juga selalu menimpa kota-kota lain. Ada 20 kota di Indonesia yang berlangganan banjir. Diantaranya; Surabaya, Bandung, Medan, Samarinda, Makassar dan Sorong. Hanya saja, beritanya tak seheboh Jakarta.
Kenapa di Jakarta heboh? Karena Jakarta ibu kota. TV, koran, radio dan media online paling lengkap. Jumlah wartawannya juga paling banyak dan gesit. Apalagi tukang goreng beritanya di medsos, lincah dan militan. "Spirit rivalitas politik" di pilgub masa lalu masih ada yang secara rapi menyimpannya. Sesekali dikeluarkan kalau ada isu-isu tak sedap seperti banjir. Digoreng kemana-mana untuk sekedar memberi rasa kepuasan bagi "dendam". Dinamika!
Lalu, apakah banjir di Jakarta dibiarkan saja? Tidak! Semua pemimpin Jakarta (Batavia), dari zaman Belanda hingga sekarang, secara estafet melakukan upaya pencegahan banjir. Ratusan tahun, kok belum teratasi?
Semua gubernur Jakarta telah berupaya. Sejak gubernur DKI pertama Soewirjo (1945), hingga Anies (2017-2022), semua bekerja keras untuk melawan banjir. Belum selesai? Iya! Bertahap diminimalisir.
Kita lihat record banjir di Jakarta sejak lima tahun terakhir. Tahun 2014, banjir menggenangi 23 kecamatan selama 20 hari. 62.819 mengungsi, dan 23 meninggal. Tahun 2015, 38 kecamatan digenangi air selama 7 hari. Jumlah pengungsi 231.566. 5 orang meninggal. Tahun 2016, 25 kecamatan kena banjir selama dua hari. Sebanyak 70.218 orang mengungsi. Tak ada korban jiwa.
Tahun 2017, ada 15 kecamatan tergenang banjir. 1.612 orang mengungsi. Dan 2 orang meninggal. Tahun 2018, 18 kelurahan (bukan kecamatan) tergenang air. 11.824 mengungsi. Tak ada korban jiwa. Dan tahun 2019 ini, banjir mampir lagi ke Jakarta (26/4/2019). Ada 16-17 titik. Kendati tak lama. 529 orang mengungsi dan 2 orang meninggal. Salah satunya karena sakit jantung. Bukan karena banjir dong? Lihat banjir, jantungan, lalu meninggal. Gitu aja kok repot!
Jumlah pengungsi, korban dan durasi waktu terus diminimalisir. Ini bagian dari kerja keras seluruh petugas di pemprov DKI dengan tujuh mobil pompa air yang dioperasikannya. Selain petugas, Anies juga mengerahkan walikota dan para lurah. Tak kalah penting adalah peran warga DKI yang semakin memiliki kesadaran untuk siap, sigap dan cepat antisipasinya menghadapi banjir.
Kesimpulannya, banjir di Jakarta memang bukan masalah sederhana. Kenapa? Pertama, banjir terjadi tidak hanya saat hujan, tapi dapat kiriman dari Bogor. Itu namanya "sedekah bencana" akibat hutan yang semakin gundul. Kedua, air laut posisinya lebih tinggi dari daratan Jakarta. Jadi, air kiriman itu tidak langsung bisa ke laut, tapi kadang "berdansa" dulu di Jakarta dan mampir ke rumah-rumah penduduk. Laut surut, air baru hijrah ke laut.
Jika gubernur sebelumnya punya program normalisasi sungai, maka Anies membuat langkah naturalisasi. 13 sungai dikembalikan "natural"-nya. Ditanam pepohonan di sepanjang sungai sebagai resapan. Itu yang pertama. Kedua, membuat drainase vertikal, sebagai tabungan air. Semua kantor milik Pemprov DKI sudah dibuatkan drainasenya. Dan perkantoran swasta digalakkan untuk mengikuti program ini. Targetnya ada 1,8 juta drainase. Ketiga, buat waduk di wilayah antara Jakarta dan Bogor. Tentu, bekerjasama dengan pemerintah pusat. Desember nanti akan selesai dua waduk. Keempat, buat jejaring sampah, agar banjir kiriman tak sekaligus mengekspor sampah ke Jakarta. Karenanya, harus ditahan.
Sebesar apa kesuksesan empat program Anies mengatasi banjir itu? Ada cukup waktu tiga tahun bagi Anies untuk menuntaskan empat program itu. Sabar! Diharapkan semua akan indah pada waktunya.
Penulis: Tony Rosyid