[PORTAL-ISLAM.ID] Orang marah biasanya karena sudah terdesak keadaan. Bagi yang pernah nonton film tentang Hitler, “Down Fall”, pasti ingat bagaimana pemimpin Nazi Jerman itu ngamuk kepada stafnya di dalam sebuah bungker.
Hitler murka kepada jenderal-jenderalnya karena dianggap penakut sehingga pasukan Jerman terdesak hingga Berlin. Beberapa hari setelah ngamuk-ngamuk, Hitler memutuskan bunuh diri. Pemimpin tertinggi pasukan Jerman memutuskan menyerah tanpa syarat kepada Soviet dan Sekutu.
Nah baru-baru ini Jokowi “ngamuk” saat pidato di hadapan pendukungnya di Jogyakarta (Sabtu 23 Maret 2019 – hanya 4 minggu menjelang hari pencoblosan Pilpres). “Saya sebetulnya sudah diam 4,5 tahun, difitnah-fitnah saya diam, dihujat saya diam. Tetapi hari ini di Yogya saya sampaikan, saya akan lawan! Ingat sekali lagi, akan saya lawan!” katanya denga wajah kusut. Bahkan nampak hampir menangis seperti anak kecil.
Video Jokowi ngamuk ini langsung viral dan justru jadi bahan diskusi masyarakat luas. Kita akan segera lihat dampaknya pada 17 April nanti.
Saat marah, semua orang cenderung melakukan apapun semaunya sendiri dan tidak memikirkan dampak yang terjadi dalam tindakan marahnya. Konyolnya, Jokowi menunjukan kemarahan di depan pendukungnya sendiri. Bagi Jokowi, pilpres 2019 adalah perang total. Siapa pun yang menjadi bagian dari pasukan Jokowi pasti bingung, mau perang total kok marah-marah? Pendukungnya jadi kecut sendiri, demoralisasi, jadi ragu berperang.
Pelatih sepak bola yang marah-marah di pinggir lapangan, biasanya karena sudah tahu kesebelasan bakal kalah. Petinju yang tidak sabaran, pasti marah kalau musuhnya defensif. Akhirnya kalap menggigit kuping lawan, seperti Mike Tyson.
Seorang pemimpin kalap, pasti melakukan banyak kesalahan sendiri (blunder). Hitler dulu kalap karena terkepung musuh. Garnisun Berlin yang sedang menyiapkan jebakan perang kota kepada musuh, malah dimarah-marahin. Kenapa gak menyerang total. Hitler yang sok ahli strategi perang, akhirnya kalah karena tidak bisa menahan marah.
Akankah Jokowi kalah di pilpres 2019 ini? Kelihatannya begitu. Mau manuver apa pun sepertinya sudah terlambat, apalagi dengan marah-marah di hadapan publik!
Beberapa survei independen menyebut harapan keterpilihan (elektabilitas) Jokowi sudah di bawah 50%. Padahal, elektabilitas yang aman bagi petahana di injury time harus di atas 60%, kalau mau nyaman sekali harus di atas 70%.
Seorang pemimpin harusnya siap kalah dalam kompetisi politik. Tapi dia tidak boleh merusak moril pendukungnya dengan cara marah-marah pada kesempatan terakhir.
Berikut ini tips bagi Jokowi dan siapa pun pemimpin yang sedang marah.
1. Cari Penyebab Marah
Katanya sendiri, Jokowi marah karena difitnah sebagai PKI dan antek asing. Apakah dia tahu persis siapa yang mengatakan hal itu? Apakah Prabowo, Sandiaga dan timsesnya? Padahal tidak ada satu pun di antara mereka yang menuduh Jokowi PKI dan antek asing. Faktanya, selama Jokowi berkuasa 4,5 tahun memang sudah banyak rakyat oposisi yang ditangkapi. Bahwa benar sebagian mereka ditangkapi karena menuduh Jokowi PKI, antek asing, anti-Islam dan sebagainya. Semuanya ditangkap karena menulis atau ngomong di medsos.
Sudah begitu banyak yang ditangkapi, kok masih marah-marah sampai sekarang? Apa masih belum puas menangkapi rakyatnya sendiri? Jokowi, kalau mau jujur, sebenarnya marah-marah karena elektabilitasnya nyungsep dan akan kalah dalam Pilpres ini.
2. Pisahkan Marah Dengan Tindakan
Marah adalah hal manusiawi. Tapi apa harus ngamuk dan menyuruh polisi untuk menangkapi rakyat? Segala fitnah dan hujatan tidak akan berdampak terhadap elektabilitas seorang pejabat publik jika kinerjanya memang bagus di mata rakyat. Kasihan polisi, mereka bhayangkara negara, jangan dibenturkan dengan rakyat.
Lihatlah yang ditangkapi banyak yang dijemput paksa dari rumah mereka kampung dan desa. Mereka orang kecil yang cuma bisa mengkritik presiden melalui medsos. Harusnya cukup perintahkan kepada polisi untuk menasehati mereka, jangan langsung dijebloskan ke penjara.
Tapi sudah terlambat nampaknya. Jokowi sudah jadi musuh bersama di mata rakyat kecil. Kalau mau menang Jokowi segera melepas semua tahanan politiknya. Tapi belum tentu manjur, karena rakyat sudah terlanjur marah.
3. Jangan Bereaksi Jika Marah
Jokowi harusnya dia bisa menahan reaksi sampai hari pencoblosan. Ingat, Jokowi selama ini membangun citra sebagai pemimpin yang merakyat, santun, soleh, suka nyebar foto-foto beribadah segala. Lah, kok tiba-tiba marah-marah begini? Banyak yang tidak habis pikir, mengapa Jokowi sampai mengeluarkan kalimat, “akan saya lawan”. Apa Jokowi belum sadar, justru rakyat sedang melawan dia. Aneh, rakyat sendiri mau dilawan, bukannya dirangkul.
4. Redakan Kemarahan Dengan Hobby
Jokowi mengaku suka blusukan menemui rakyat. Lakukan saja itu. Menyepi di tengah kegaduhan politik. Rakyat pasti bersimpati. Pergilah ke pantai, gunung, pedesaan. Di sana banyak rakyat yang butuh pertolong presiden, Dengarkan mereka, kasih solusi. Itu yang seharusnya Jokowi lakukan sebagai pemimpin.
Tapi yang dilakukan Jokowi malah mencari massa untuk foto-foto selfie. Ia terus nyinyir kepada Prabowo. Bahkan nyinyir kepada presiden-presiden pendahulunya.
Coba, dalam sebulan belakangan sudah berulang-ulang Jokowi menyebut akan membagi-bagikan tanah yang dikelola – bukan hak milik – Prabowo kepada rakyat kecil.
Tengoklah sudah berapa kali selama 4,5 tahun Jokowi mengklaim sudah menyelesaikan pekerjaan yang tidak diselesaikan oleh presiden pendahulunya. Jadi kelihatan hobby Jokowi sebenarnya adalah nyinyir sama orang lain. Seorang pemimpin yang bermartabat, suka atau tidak suka harusnya menghargai pekerjaan pendahulunya. Bukan malah nyinyir dan menyombongkan diri.
5. Jangan Ngajak Orang Lain Ikut Marah
Kemarahan Jokowi di Jogyakarta, jelas bukan pencitraan. Itu watak asli Jokowi yang terungkap spontan ke permukaan. Kebanyakan orang sudah menyimpulkan semua kaum oposisi yang ditangkapi selama ini bukan karena inisiatif dari polisi, tapi karena kemarahan Jokowi. Ternyata Jokowi tidak bisa mengalihkan kemarahannya dengan hal yang positif.
Lihatlah, Prabowo, seorang tentara, terlatih hidup keras dan kalau bicara memang harus berapi-api. Prabowo sebetulnya marah dengan kondisi negara yang semakin terpuruk. Tapi dia bisa menahan diri tidak marah kepada Jokowi dan presiden terdahulu. Prabowo malah bisa joget-joget bersama rakyat. Luar biasa cara Prabowo mengendalikan kemarahannya. Apakah Prabowo pernah menyebut nama Jokowi sebagai biang kerok keterpurukan ini? Tidak pernah. Dia marah kepada sistem, marah kepada keadaan dan dia berontak. Tapi caranya berontak dengan merangkul rakyat, membangun kesadaran rakyat untuk memperbaiki keadaan.
Nah Jokowi kelakukan terbalik. Dia marah dan mengajak pendukungnya ikut marah kepada lawan politiknya. Ia secara sadar telah mengadu domba rakyatnya sendiri.
6. Jangan Menyalahkan Orang Lain
Semua pemimpin harus jujur dulu kepada diri sendiri. Jokowi pasti marah karena elektabilitas tertekan. Ia sadar sudah membiayai belasan lembaga survei untuk memoles elektabilitasnya. Tapi teryata tidak banyak rakyat yang terpengaruh.
Justru Prabowo dalam setiap kunjungan ke berbagai daerah selalu disambut ramai, rakyat antusias, ekspresif, pecah! Sebaliknya pendukung Jokowi melempem, orangnya dari kelompok itu itu saja, susah bergerak, harus dimobilisasi dan disiapkan nasi kota segala.
Jokowi paham hasil survei bayaran tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ia tahu banyak figur sosial membiarkan dia bertarung sendiri di Pilpres kali ini. Makanya Jokowi marah dan menyalahkan orang lain karena tidak mendukungnya.
Jokowi pernah ngomong, saya ingin sekali didemo pendukung pemerintah. Tapi sampai sekarang tidak ada yang tergerak dengan ajakan itu. Orang yang biasa menyalahkan orang lain, pasti dijauhi orang.
Itu semua adalah pesan untuk siapa pun yang mau jadi pemimpin. Jangan marah jika rakyat kebanyakan tidak mendukung anda. Apa pun yang Anda kerjakan jika dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak, pasti berbuah positif terhadap elektabilitas Anda.
Rakyat bukan menilai dari apa yang Anda ceritakan melalui televisi, medsos dan pidato umum. Rakyat menilai dari apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan sendiri.
Jokowi terlalu banyak bercerita telah membangun jalan, tol, bandara, pelabuhan, LRT, MRT, ini dan itu. Lalu rakyat membandingkan dengan keadaannya sendiri. Tenyata kami tidak dapat apa-apa.
SEKIAN.
Penulis: Chairul Wakano