[PORTAL-ISLAM.ID] Sehabis shalat magrib semalam, seorang sahabat mengirimkan video yang membuat butiran-butiran kristal tak tertahan jatuh membasahi wajah ini. Hati pilu, jiwa pun remuk menyaksikan video yang berdurasi 15 menit itu.
Bak Rambo, nampak seorang pria berbadan kekar dibungkus kaos warna hitam dengan raut wajah geram memarkir mobil, lalu bergegas memasuki pekarangan sebuah masjid. Dengan senapan otomatis ditangan terus berjalan memasuki pintu utama masjid dan langsung memuntahkan peluru memberondong tubuh-tubuh tak berdosa yang baru saja selesai bersujud ke Sang Khaliq penciptanya. Ya Allah, kenapa saudara-saudara kami muslim begitu keji dibantai, apa salah mereka yang membuang keangkuhan dan kesombongannya, lalu mencium bumi memohon ridho Tuhannya.
Itulah drama penembakan selama enam menit di dua masjid di wilayah Christchurch Selandia Baru kemarin Jumat (15/3) pukul 13.40 waktu setempat. Aksi brutal teroris seusai shalat Jumat itu menewaskan 49 orang. Perincianya 41 orang meninggal di Masjid Al Noor, dan tujuh orang di Masjid Lindwood Ace, serta tiga korban ditemukan di luar masjid.
Peristiwa biadab di Selandia Baru ini benar-benar super biadab mengalahkan aksi terorisme selama ini. Betapa tidak! Entah setan apa dalam pikirannya, aksi pembantaiannya disiarkan secara langsung melalui jejaring sosial Facebook. Pembantaian super biadab di dalam masjid ini, seketika menghapus stigma negatif selama ini yang selalu mengindentikkan setiap serangan terorisme di belahan dunia selalu di lakukan oleh kelompok Islam. Sampai-sampai agama Islam disebut sebagai agama terorisme.
Begitu pula pesantren-pesantren tempat mendidik santri-santri mengenal Tuhannya, dan bagaimana bersikap jujur, mengedepankan kebenaran, serta menyuarakan keadilan dalam menjalani kehidupan, disebut sebagai saran terorisme. Bahkan lebih sadisnya semua sekolah-sekolah berbasis Islam dicurigai sebagai tempat lahirnya pemikiran-pemikiran radikalisme yang memicu tumbuh suburnya benih-benih terorisme yang terus berkecambah.
Aksi penembakan mematikan jamaah Jumat di Selandia Baru ini dilakukan oleh seorang berkebangsaan Australia berumur 28 tahun yang diduga bernama Brenton Tarranf, dibantu dua orang temannya. Mereka jelas bukan orang beragama Islam (non muslim atau KAFIR).
Fakta ini telah menampar muka orang-orang, kelompok, atau negara sekali pun yang selalu menyudutkan Islam sebagai agama yang memproduksi radikalisme dan terorisme. Fakta ini telah meludai muka siapa pun yang selalu mencurigai Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Fakta ini telah mengusik kesadaran kemanusiaan bahwa radikalisme dan terorisme itu bukan milik Islam, karena radikalisme dan terorisme tidak mengenal agama.
Selama satu dasawarsa terakhir, beberapa kali Islam disudutkan sebagai pemegang merek tunggal pelaku terorisme di muka bumi, selama itu pula saya selalu mengeluarkan tulisan untuk membantah tuduhan kaum liberalis barat itu. Terakhir saya menulis di POPULIS (Jurnal Sosial dan Humaniora) Universitas Nasional Jakarta tahun 2017 berjudul “Prospek Gerakan Radikalisme di Indonesia”. Tulisan ini mengupas bagimana radikalisme yang bisa menjadi benih subur tumbuhnya Terorisme dengan menggunakan pendekatan semua agama, yang kemudian menyimpulkan bahwa “radikalisme atau terorisme bukan produk agama, apalagi agama Islam”.
Tulisan ini kemudian mendapat justifikasi dari Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, yang menyoroti peristiwa biadab pembantaian brutal seusai shalat Jumat kemarin di Selandia Baru. Menurutnya dengan kejadian itu, satu hal meyakinkan, “Terorisme tidak punya agama”. Dengan meminjam statement Imran Khan ini, saya sekali lagi mengatakan secara spesifik : “tidak ada hubungannya terorisme dengan Islam”. Jadi berhentilah mengidentifikasi Islam sebagai biang radikalisme dan terorisme.
Penulis: Ruslan Ismail Mage