[PORTAL-ISLAM.ID] Awalnya hanya riak. Riak itu kini telah berubah menjadi ombak lalu membesar menjadi gelombang. Ya gelombang ketidakpercayaan terhadap Capres Jokowi makin dahsyat yang kelak akan berakhir pada tsunami.
Lihat saja acara deklarasi yang selalu sepi dari pengunjung, padahal fasilitas sudah dipenuhi. Bangku kosong dan panggung yang senyap menjadi pemandangan yang biasa bagi kampanye Capres nomor urut 01 itu.
Relawan pun menderita hal serupa, bahkan ada yang mau bunuh diri lantaran massa yang hadir tak sesuai harapan.
Tak ketinggalan tim penjelajah dari kampung ke kampung mengalami nasib apes.
Di Medan, Sumut misalnya, bingkisan dari Jokowi yang sudah dikemas rapi, langsung ditolak warga. Apalagi sikap relawan yang tak terpuji membuat masyarakat makin antipati.
Di Jatipadang, Jakarta Selatan ada relawan Jokowi bagi- bagi bingkisan, langsung ditolak oleh warga begitu tahu ada gambar Koma (Joko Ma’ruf).
Di Bojonggede Bogor lain lagi, relawan Koma tak berhasil masuk kompleks perumahan, karena di pintu gerbang sudah diberitahu warga bahwa warga kompleks 99 persen sudah memutuskan pilih Prabowo Sandi.
Di belahan wilayah lain, kampanye door to door yang menjadi andalan Koma hanya menyisakan permusuhan, karena warga tak berkenan dengan caranya yang kurang adab. Ada pula sesama pengabdi Jokowi jambak jambakan karena amplop berkurang Rp5000.
Di Padalarang, Jawa Barat relawan Koma langsung diusir karena membagikan selebaran sambil minta foto copy KTP.
Sementara di sisi lain Kyai Ma’ruf Amin yang diharapkan bisa menambah elektabilitas, justru sebaliknya, performance-nya mengecewakan. Apalagi pernyataan di media massa sering blunder, makin merusak elektabilitas Jokowi. Bahkan, kehadirannya di tengah masyarakat tidak disambut sebagaimana layaknya ulama. Berbeda dengan saat dia belum nyawapres.
Kritik terhadap kyai makin sering tatkala beberapa ucapannya menimbulkan masalah baru yang ujung-ujungnya menggerogoti elektabilitas Jokowi. Lihat saja ketika Kyai Ma”ruf menuduh umat Islam yang ada di kubu Prabowo adalah umat yang suka mencuri sandal di masjid, membuat kecewa umat itu sendiri. Masyarakat makin geram ketika statemen Ma’ruf makin kacau,”Setelah sandal yang diambil, kini masjid juga mau diambil”
Kekacauan juga dipertontonkan oleh sang capres sendiri. Klaim-klaim keberhasilan yang ditampilkan oleh Jokowi dalam debat kedua, – yang ditampilkan secara meyakinkan – ternyata fakir kemampuan dan miskin data. Terbukti media massa secara tegas membantah klaim tersebut dan menghadirkan data yang sesungguhnya. Para pengamat mengulasnya hingga berhari-hari pasca debat.
Pengakuan sepihak Jokowi atas pembangunan jelas membuat elektabilitas merosot tajam.
Ditambah kesadaran baru masyarakat akan informasi yang selama ini mereka konsumsi ternyata cuma pencitraan belaka.
Jokowi, alih alih mau menjebak Prabowo soal unicorn – di mana spelling Jokowi terdengar yunikon, kurang jelas lalu dipertegas Prabowo – yang terjadi justru jadi bulan-bulanan media sosial. Jokowi dianggap tak paham soal bisnis unicorn.
Soal tuduhan penguasaan tanah lebih parah lagi. Jokowi membongkar kepemilikan tanah Prabowo di Kaltim dan Aceh. Mungkin Jokowi berharap publik langsung benci Prabowo yang dicap sebagai tuan tanah, ternyata tidak berhasil. Prabowo langsung klarifikasi saat itu juga. Apalagi ada pernyataan dari Wapres Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa tanah Prabowo tak ada yang bermasalah.
Tampaknya upaya Jokowi untuk membenturkan si kaya dan si miskin, kandas.
Apa yang dialami Koma berbeda jauh dengan apa yang dialami Prabowo Sandi.
Lihat saja antusiasme warga dalam mendukung Prabowo Sandi.
Gendis, seorang anak gadis di Medan sengaja membuka celengan untuk membantu kampanye Prabowo.
Ada pula emak-emak di Bekasi yang memanjat tembok rumahnya sendiri memasang spanduk bergambar Prabowo Sandi.
Di Situ Gintung Pondokcabe lain lagi, warga berjalan kaki 10 km menghadiri kampanye Prabowo. Ia jalan kaki bukan tak punya kendaraan, tapi ia ingin menunjukkan kepada masyarakat luas betapa besarnya semangat untuk mengubah keadaan. Mereka rela berkorban demi sebuah cita-cita, ganti rezim.
Penolakan masyarakat Indonesia terhadap rezim ini bukan pada tingginya harga sembako semata. Sebab masyarakat kita sudah terbiasa hidup prihatin sejak zaman Belanda hingga kini. Persoalannya adalah harga diri dan keyakinan umat Islam yang dikoyak-koyak, termasuk arogansi para pejabatnya.
Setiap saat kita lihat betapa pongahnya pejabat kita. Simak saja pernyataan-pernyataan seperti Menteri Rudiantara, Enggartiasto Lukito, Menko Luhut Panjaitan, Puan Maharani, dan menteri- menteri lainnya.
Belum lagi para Kepala Daerah, bahkan camat semua perilaku dan statemennya arogan.
Bahkan Jokowi sendiri melontarkan pernyataan yang kePAUD-PAUDan, saat dikritik soal panjang jalan yang keliru besar. Jokowi membalas kritikan itu dengan bahasa yang super nyinyir, “Kalau tidak percaya, ukur sendiri jalannya.” Ampun.
Yang paling menyakitkan adalah akidah masyarakat Indonesia yang dilecehkan. Pengejaran dan pemenjaraan terhadap ulama dan tokoh Islam nyaris tak ada hentinya. Bahkan munajat 212 yang khidmat dan penuh kedamaian coba diobok-obok. Untaian doa yang dibacakan Neno Warisman disoal. Sejak kapan rezim ini menjadi pengamat doa. Sejak kapan Kapitra Ampera tahu ke mana Tuhan pergi sehingga dengan pongah dia katakan Tuhan tidak ada di Monas.
Belanda yang selama 350 tahun mencengkeram Indonesia, toh Islam masih tegak hingga kini, karena urusan akidah sangat prinsip bagi bangsa ini. Jadi, jangan sekali-kali berurusan dengan akidah rakyat Indonesia, jika mau aman.
Begitulah pilar-pilar elektabilitas Jokowi semakin keropos setiap saat. Makin mendekati 17 April 2019, gambaran keruntuhannya makin jelas, nyata, dahsyat mirip tsunami.
Imperium politik Jokowi yang dibangun sejak dari Solo segera roboh, justru oleh orang-orang di sekelilingnya.
Penulis: Sri Widodo Soetardjowijono