[PORTAL-ISLAM.ID] Perhelatan pilpres tinggal menunggu hari. Tidak sampai 30 hari kita akan bertemu hari dimana pencoblosan berlangsung, baik eksekutif maupun legislatif. Khusus dalam hal pemilihan eksekutif yakni capres dan cawapres tensinya mulai memanas. Apalagi kalau bukan soal penggiringan opini. Apa itu? Yakni untuk tidak memilih pasangan calon yang berpotensi akan menjadikan negara Indonesia menjadi the new Suriah.
Kita bisa bongkar dan kritisi dengan sangat tajam alur berpikir dari penggiringan opini tersebut. Logikanya adalah jika kita diarahkan untuk tidak memilih suatu paslon dengan asumsi bahwa paslon itu akan menjadikan Indonesia sebagai negara the new Suriah atau jika ia terpilih akan kembali pada orde baru, maka secara tidak langsung kita diberikan dua pilihan dalam memilih yaitu memilih kepada paslon lain atau memilih untuk golput. Kita asumsikan saja kalau kita harus memilih paslon lain tersebut. Menjadi pertanyaan, bisakah cara itu dijalankan, dan dasar filosofisnya apa?
Dalam buku Plato yang berjudul Republik, Socrates membagi tiga model pengupahan yaitu: uang, kehormatan, dan hukuman karena menolak. Untuk pengupahan model uang dan kehormatan, rasanya kita bisa mencerna bagaimana model itu dijalankan. Khusus untuk model yang ketiga, ini bisa dijadikan sebagai dasar dari cara penggiringan opini tersebut.
Menurut Socrates, pada dasarnya orang baik itu ingin mendapatkan hal-hal yang baik juga. Dalam konteks pemilihan pemimpin, orang baik tidak akan rela negaranya, atau kaumnya akan dipimpin oleh orang yang buruk. Karena ketika orang buruk yang menjadi pemimpin, maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Jika hal itu terjadi, bagi Socrates itu adalah sebuah hukuman kepada orang baik tersebut lantaran keengganannya untuk menjadi pemimpin dan memimpin negerinya. Begitu juga warganya. Mereka pun hanya ingin memilih yang baik. Karena jika mereka tidak memilih, maka mereka akan menerima hukuman untuk dipimpin oleh orang yang buruk.
Pada konteks pilpres kali ini, ketika opini baik dan buruk, hitam dan putih, dilempar ke tengah masyarakat, maka masyarakat akan merasa takut akan hukuman yang akan menimpa mereka jika mereka tidak memilih paslon yang baik. Paslon A dicitrakan amat baik, merakyat, sering blusukan, membangun infrastruktur, dan yang terpenting ketika ia terpilih negaranya tidak akan menjadi the new Suriah. Sebaliknya paslon B dicitrakan bak seperti monster yang harus disingkirkan. Ia dicitrakan sebagai penerus orde baru, pelanggar HAM berat, dan sadisnya ia dicitrakan bakal menjadikan Indonesia sebagai the new Suria.
Jika kita memakai pendapat Socrates dalam konteks ini, maka akan muncul semacam
hantu yang membayangi para pemilih yang menakut-nakuti dengan ancaman hukuman yang akan ditimpakan kepada mereka bagi yang memilih paslon B. Dan inilah yang dimaksud sebagai penggiringan opini dalam model upah perspektif seorang Socrates.
Apakah ini akan berhasil? Bisa saja, jika opini dan arus informasi hanya dari satu muara. Namun di tengah keterbukaan informasi seperti saat ini, penggiringan opini tersebut bisa jadi tidak semudah apa yang dibayangkan.
Intinya adalah pada proses pemilihan capres-cawapres saat ini haruslah kritis dalam menilai. Jangan mau disesaki informasi yang bernilai 0 (nol). Akal sehat kita seharusnya bisa menjadi pendeteksi dini bagi hal-hal yang berada di luar nalar. Akal sehat kita adalah sarana kritisisme terbaik untuk melawan ketidaksehatan akal.
Penulis: Budi Santoso