[PORTAL-ISLAM.ID] Sedih! Mungkin tidak hanya saya, tapi hampir semua pemerhati politik dan kebangsaan prihatin dengan isu-isu tak mutu yang seringkali muncul di pilpres kali ini. Selain tentu saja pilihan diksi dan narasinya yang juga tak menunjukkan kelasnya sebagai anak bangsa yang beradab. Istilah sontoloyo dan genderuwo, juga cebong dan kampret tidak saja merusak adab demokrasi kita, tapi juga telah jadi virus yang mengganggu jaringan saraf kebangsaan kita.
Kemarin, muncul lagi isu khilafah. Mungkin untuk kesekian kali. Diulang-ulang sebagai ritual pemilu. Dengan sengaja? pasti! Kali ini Hendropriyono yang memunculkan. Seorang mantan kepala BIN, orang dekat Mega, kompetitor dan sering berseberangan dengan Prabowo saat aktif di militer dan politik. Selain Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan Budi Gunawan, Hendropriyono adalah sosok di belakang Jokowi yang kemampuan intelijennya sulit untuk mencari tandingannya. Termasuk sedikit orang yang luar biasa. Membuka sedikit background ini, anda dapat menyimpulkan bahwa isu khilafah yang keluar dari mulut Hendropriyono adalah bagian dari manuver politik.
Bukan untuk menghabisi HTI? Tidak! HTI sudah almarhum. Setidaknya secara konstitusional. Tak ada yang bela, kecuali Yusril Ihza Mahendra, ketua PBB dan salah satu pendukung kuat Jokowi-Ma’ruf. Dan kabarnya, HTI pun ditarik-tarik ikut dukung pilihan Yusril. Bersediakah? Sanggupkah HTI meninggalkan fatwa imamnya untuk tak ikut-ikutan dalam pemilu?
Lalu, apa tujuannya mengeluarkan isu khilafah lagi? Khawatir HTI bangkit? Lucu! HTI kecil jumlahnya. Yang banyak hanya benderanya, bukan anggotanya. Tak ada yang dikhawatirkan dari HTI, baik dari sisi jumlah anggota, pengaruh, maupun pola gerakannya. Kok sekarang dikhawatirkan? Bukan khawatir sama HTI, tapi khawatir kalau Jokowi, calonnya Hendropriyono, kalah. Karena elektabilitasnya terus merosot. Paham?
HTI selalu golput. Selama ini tak pernah ikut memilih dalam pileg, pilkada maupun pilpres. Itu instruksi imamnya. Lalu sekarang diisukan sebagai pendukung Prabowo. Anda ngigau?
Dimunculkannya isu HTI selalu sasarannya adalah warga Nahdliyyin (NU) dan non muslim. Orang-orang NU dan non muslim gak suka HTI. Dianggap Anti NKRI dan Anti Pancasila. Jadi, jika HTI dianggap pendukung Prabowo, orang-orang Nahdliyyin dan non muslim jadi antipati kepada Prabowo. Begitulah kira-kira design politiknya. Kampanye gak mutu!
Kalau pilih Prabowo yang didukung HTI, Indonesia akan dikuasai ISIS dan negara ini akan perang saudara seperti Iraq dan Siria di Timur Tengah. Hah! Bangun… bangun… Supaya gak semakin ngaco!
Ada kesan jika Prabowo menang, Indonesia jadi negara khilafah. Jadi, pertarungan di pilpres ini bukan antara Prabowo dengan Jokowi. Tapi, pertarungan antara pendukung Pancasila dengan pendukung khilafah. Ha..ha..ha… Kok ketawa? Habis, lucu banget. Khilafah dari Hongkong? Mau ngelucu silahkan, tapi jangan di panggung politik. Bikin geli.
Pertanyaannya sederhana: emang Prabowo paham khilafah? Kalau terkait soal ideologi Pancasila, hubungan internasional dan keamanan sebagaimana tema debat capres selasa, 30 Maret besok, itu ranah otoritas pengetahuan Prabowo. Tidak hanya Prabowo, semua perwira militer punya wawasan ini. Tak perlu diragukan patriotisme dan nasionalismenya. Tak perlu juga tanya darah NKRI para perwira militer.
Ada kesan isu khilafah ini sengaja dimunculkan untuk mengganggu kredibilitas Prabowo bicara soal ideologi, hubungan internasional dan keamanan dalam debat selasa besok. Yah…yah… Politik…politik… Sering gak beradab! Kasihan anak bangsa yang selalu disuguhi isu-isu destruktif model ini.
Di satu sisi Prabowo dianggap kurang bener shalat dan bacaan Al-Qur’an-nya. Bahkan suka hadir di acara natalan keluarganya yang sebagian beragama Nasrani. Di sisi lain, Prabowo dianggap bagian dari pendukung Islam radikal yang akan mendirikan negara khilafah. Paradoks bung! Yang bener yang mana? Ibadah kurang sempurna dan dekat dengan saudara-saudara kandungnya yang Nasrani, atau mau mendirikan khilafah dan nakut-nakutin saudaranya yang beda agama?
Artikel ini ditulis tidak untuk membela atau mendukung salah satu Paslon. Tidak! Tapi untuk meluruskan cara berpikir dan menyelamatkan akal sehat kita. Sehingga, demokrasi kita dijauhkan dari ketidakwarasan logika yang selalu dipaksakan hanya untuk kepentingan politik. Ayok… Yang waras dan beradab! Siapapun yang akan anda pilih, sikap waras dan beradab itu yang utama.
Isu khilafah ini selalu muncul jelang pemilu. Begitu juga isu Wahabi. Isu musiman. Isu untuk merebutkan kantong suara Nahdliyyin dan non muslim. Pemilu selesai, berakhir pula isunya. Lalu, orang lupa.
Ingat, kaum Nahdliyyin sudah pada cerdas. Begitu juga orang-orang non muslim, pelan-pelan sudah mulai menyadari bahwa ketakutan-ketakutan terhadap identitas agama ternyata tak lebih dari isu politik yang sengaja dibuat semata-mata untuk mendapatkan dukungan suara di ajang pemilu. Tak ada bukti dan faktanya. Kasus pembantaian terhadap kaum muslim di New Zealand baru-baru ini telah memberi pelajaran berharga bahwa isu agama hanya untuk mendiskreditkan umat Islam.
Dalam konteks pilpres, kantong suara NU itu paling besar. Konon sampai 91 juta. Non muslim 15 juta-an. Signifikan kalau dijumlahkan. Serbu pakai isu HTI, harapannya warga NU dan non muslim tak pilih Prabowo. Itu kan maksudnya?
Berhasilkah manuver Hendropriyono soal khilafah ini? Kita akan uji di 17 April nanti, apakah kemampuan seorang Hendropriyono mendesign isu politik sama hebatnya dengan kemampuannya di bidang intelijen? Kita tunggu!
Jakarta, 29/3/2019
Penulis: Tony Rosyid