[PORTAL-ISLAM.ID] Hingga satu minggu setelah Litbang Kompas merilis hasil surveinya, masyarakat masih terus membicangkannya. Di darat, diskusi-diskusi ilmiah digelar untuk merespon hasil survei terbaru dari Litbang kompas ini. Akademisi, aktivis, hingga kelompok relawan menjadikan ini sebagai topic of the week di satu bulan menjelang pencoblosan. Begitu juga yang terjadi di udara. Buzzer, warganet, hingga berbagai media dari berbagai macam platform juga turut menjadikan hasil survei Litbang Kompas ini sebagai hot issue minggu ini.
Banyak yang mengapresiasi hasil temuan Litbang Kompas ini. Namun tak sedikit juga yang mengkritik bahkan justru mencibirnya. Dalam hal kritik, masyarakat mengkritisi metode yang digunakan oleh Litbang Kompas hingga latar belakang dan lokasi survei yang dianggap tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Bagi yang mencibir, mereka menganggap bahwa Survei Litbang Kompas ini penuh dengan ketidak-independenan dalam pelaksanannya dan cenderung pro kepada salah satu pasangan calon. Bahkan ada pimpinan dari lembaga survei yang lain justru menyerang pemred Kompas secara personal dengan isu kedekatan kepada salah satu calon wakil presiden, sehingga ia menanyakan independensi dan kualitas surveinya. Terlepas dari itu semua, Litbang Kompas sebenarnya sudah menang banyak karena berhasil menjadi topik pembicaraan teratas lebih dari satu minggu. Berbeda dengan hasil survei dari lembaga lain yang biasanya hanya bertahan 1-2 hari saja. Disini Kompas berhasil membuktikan pengalamannya sebagai media arus utama yang berhasil menyajikan konten yang bisa menjadi pembicaraan hangat di masyarakat selama berhari-hari, sekaligus menjadi tantangan untuk membuktikan kredibilitas [Litbang] Kompas sebagai media independen dan bukan partisan.
Fungsi Lembaga Survei
Dalam sejarahnya, Lembaga survei baru muncul pasca reformasi. Di tahun 1999, muncul Lembaga Survei Indonesia yang digawangi Saiful Mujani dan Deny JA yang bertujuan untuk melakukan hitung cepat (quick count) pemilu legislatif 1999. Selain LSI, ada juga LP3S yang banyak dikenal oleh publik sebagai salah satu lembagaquick count sejak pemilu 1999. Pada masa itu belum banyak lembaga survei yang muncul, karena sistem pemilu langsung yang dipakai baru sebatas pemilu legislatif, sedangkan presiden dipilih oleh MPR. Begitu juga dengan Gubernur dan Walikota/Bupati. Baru pada pemilu 2004, saat sistem pemilu mulai mengakomodir pemilihan presiden secara langsung, lembaga survei menemukan momentumnya. Puluhan lembaga survei muncul bak jamur di musim hujan. Hingga saat pemilu 2014 yang lalu, KPU mendata ada 56 lembaga survei yang beroperasi dalam pemilu 2014.
Kehadiran lembaga-lembaga survei ini sebenarnya merupakan nutrisi bagi sistem demokrasi. Lembaga-lembaga survei ini berfungsi menelaah kehendak rakyat, sehingga kaum elite dapat menanggapinya secara efektif. Secara spesifik, dalam proses demokrasi, lembaga survei bertugas melakukan survei perilaku politik, terutama orientasi terhadap demokrasi dan perilaku memilih dalam pemilihan umum. Ini disebabkan pilihan politik warga negara bermakna menentukan pemimpin strategis nasional dan juga daerah.
Lembaga survei juga sebenarnya memiliki tanggungjawab moral yang sama di bidang lain seperti dalam halnya politik. Ekonomi, sosial, budaya, pariwisata, dan berbagai bidang lainnya merupakan objek yang menjadi ‘lahan’ bagi lembaga survei. Tujuannya satu, merekam yang terjadi dan menjadi kemauan publik lalu disajikan dalam narasi yang mudah dipahami oleh semua pihak untuk kemudian ditanggapi dan dieksekusi oleh pengambil kebijakan. Namun, sepertinya bidang-bidang ini bukanlah ‘lahan basah’ layaknya politik.
Di awal kemunculannya, kehadiran lembaga survei lebih pada motif akademis. Independensi dan kredibilitas lembaga berusaha dijaga agar menghasilkan produk yang memiliki trust tinggi di masyarakat. Independensi ini diwujudkan dengan tidak merangkapkan posisi sebagai konsultan politik dan lembaga survei dalam satu waktu. Namun seiring berjalannya waktu, perubahan trend politik yang ada, hingga kebutuhan akan perluasan sampel dan tenaga survei, maka keniscayaan untuk mencari sumber kapital dari aktor politik menjadi tak terelakkan.
Pada pemilu 2014, ada lebih dari 2 lembaga survei yang merangkap menjadi konsultan politik dari parpol, caleg, dan pasangan capres-cawapres yang berkompetisi. Tak terkecuali saat pemilihan gubernur, maupun bupati/walikota. Alhasil, dalam rentang waktu 8 bulan menuju hari-H pemilihan, satu lembaga survei bisa beberapa kali melaksanakan survei. Padahal melaksanakan satu kali survei membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tujuan dilaksanakannya survei ini bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah penggiringan opini dan mengarahkan para undecided voters kepada salah satu calon. Cara ini menjadi efektif karena jumlah swing voters dan undecided voters jumlahnya selalu tinggi menjelang pelaksanaan pemilu. Bagi pemilih yang loyal, maka kehadiran hasil survei ini tidak akan mengubah preferensi politik mereka, namun bagi ‘pemilih abu-abu’ hasil survei merupakan salah satu indikator untuk memutuskan pilihan politik mereka. Sehingga demand akan hasil survei menjadi meningkat, terutama dalam tahun-tahun politik.
Litbang Kompas dalam Pusaran Demokrasi di Indonesia
Dari sekian banyak lembaga survei yang sering merilis hasil surveinya terkait dengan urusan politik, Litbang Kompas adalah salah satu lembaga yang dianggap paling kredibel dibanding lembaga lain. Kredibilitas ini dibangun melalui transparansi metode yang digunakan, hasil, dan pendanaan survei. Dibandingkan dengan lembaga survei yang lain, Litbang Kompas adalah salah satu yang cukup independen dalam hal pendanaan. Ini berimbas pada kepercayaan pada produk yang dihasilkan.
Namun, kepercayaan publik terhadap Litbang Kompas ini berbanding terbalik dengan tanggapan dari tim sukses. Bagi yang diuntungkan akan memuji. Bagi yang kurang diuntungkan biasanya lebih resisten dengan memberikan alasan-alasan untuk mendukung penolakan terhadap hasil surveinya.
Walaupun beberapa hasil survei Litbang Kompas tidak sepenuhnya tepat, namun upaya yang dilakukan oleh Litbang Kompas sudah on the track dalam upaya menguatkan maternitas sistem demokrasi di Indonesia. Jika pemilu 5 tahunan adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi politik, maka survei adalah sarana lain untuk menyampaikan sikap, aspirasi, pilihan kebijakan dan lain-lain. Publik tidak pernah berhenti berpikir dan bersuara. Jika menunggu pemilu untuk bersikap maka ini menjadi lama. Di sinilah letak kritis dari keberadaan survei, menjadi saluran rakyat menyampaikan pendapat dan sikap yang merupakan inti dari demokrasi.
Sertifikasi Lembaga Survei dan Upaya Meraih Kepercayaan Publik
Dalam bidang politik, keberadaan lembaga survei tak lepas dari isu kredibilitas dan public trust. Ini disebabkan banyaknya lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan politik, sehingga rawan terjadi konflik kepentingan dalam merilis hasil surveinya. Meski lembaga yang merangkap sebagai konsultan ini menyatakan independen dalam hal survei sekalipun, namun karena perangkapan ini menimbulkan kesan yang berbeda yang ditangkap oleh publik.
Di sejarah kepemiluan Indonesia, ada kejadian dimana lembaga survei memberikan informasi yang bertolakbelakang dengan hasil yang sesungguhnya. Ketidaksesuaian ini bisa disengaja ataupun mungkin justru karena ketidaksengajaan disebabkan metodologi yang tidak tepat. Lembaga survei ini menyatakan bahwa berdasarkan hasil hitung cepat mereka, pasangan calon presiden B merupakan pemenangnya. Padahal dari sekian banyak lembaga survei yang juga melakukan proses hitung cepat, tidak ada satupun yang menyatakan demikian. Pada akhirnya, lembaga ini ‘diseret’ ke semacam sidang kode etik lembaga survei untuk mempertanggungjawabkan klaimnya tersebut yang sempat membuat gaduh disana sini.
Ini mencerminkan bahwa tidak semua lembaga survei yang ada memiliki kredibilitas dan metode yang tepat dalam proses produksi hasil surveinya. Sehingga perlu ada semacam sertifikasi lembaga survei. Sertifikasi ini menjadi penting agar lembaga-lembaga survei tidak bermain-main dan memainkan hasil surveinya. Mereka harus jujur dengan apa yang mereka temukan di lapangan dan menyampaikannya kepada publik luas. Ini penting untuk bisa memupuk kepecayaan publik terhadap hasil-hasil survei sehingga masyarakat mengetahui bagaimana kondisi yang sesungguhnya.
Sertifikasi ini bisa dilakukan oleh pemerintah (di bidang kepemiluan, KPU melakukan sertifikasi terhadap lembaga survei agar terdaftar secara resmi), ataupun melalui badan-badan sertifikasi lainnya (nasional maupun internasional). Misalnya saja sertifikasi ISO. Saat sebuah lembaga survei mampu meraih berbagai sertifikasi mutu maupun manajerialnya, ini menjadi satu effort untuk membuktikan keseriusan mereka bekerja untuk demokrasi di Indonesia, bukan sekedar bisnis musiman semata.
Independensi Lembaga Survei
Salah satu faktor yang membuat kepercayaan publik tinggi terhadap lembaga survei adalah independensi dari lembaga tersebut. Selain afiliasi politik, tentu saja isubudgeting adalah isu krusial dalam hal ini. Budgeting atau pendanaan lembaga survei menjadi isu sensitif karena ini menyangkut urusan dapur dari orang-orang di dalamnya. Di awal tulisan ini sudah disebut bahwa untuk melakukan satu kali survei saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika cakupan surveinya luas dan memerlukan sampel yang besar. Ini tentu membuat pendanaan akan semakin besar pula.
Di dunia internasional, kita mengenal Gallup, sebuah lembaga survei yang berbasiskan di Amerika Serikat. Survei-survei yang dilakukan oleh Gallup cukup independen karena pendanaan mereka tidak berasal dari aktor-aktor yang berkepentingan dari survei tersebut, utamanya dalam bidang politik. Gallup berusaha menjaga independensinya dengan tidak meminta / menawarkan jasa survei politiknya pada pemerintah dan partai politik. Lantas bagaimana mereka bisa survive? Mereka melakukan subsidi silang. Gallup tidak saja melakukan survei politik, namun juga survei-survei lain non politik. Dari sinilah pendanaannya mereka dapatkan. Sehingga Gallup bisa meraih trust yang tinggi dari publik dunia.
Di Indonesia sendiri, belum banyak lembaga seperti Gallup ini. Namun ada kencenderungan beberapa lembaga survei sedang mengarah kesana. Salah satunya adalah Litbang Kompas. Walaupun dalam survei terakhirnya penuh pro dan kontra (terkait isu nilai undecided voters yang tidak sama antara yang ditemukan dengan yang dimunculkan dalam rilis), namun Litbang Kompas berhasil lolos dari jeratan isu independensi lembaga dengan afiliasi politik. Walaupun sempat diserang dengan foto-foto Pemrednya yang sedang bersama salah satu Cawapres, namun ini tidak membuat publik lantas menjustifikasi Litbang Kompas seperti lembaga lain yang berafiliasi secara politik.
Kompas berhasil membesarkan Litbang Kompasnya menjadi lembaga yang [hingga saat ini] cukup independen dari sisi pendanaan. Mereka melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Gallup, yaitu subsidi silang. Kompas nampaknya mengguyur biaya operasional Litbangnya dari keuntungan perusahaan. Sehingga mereka tidak bergantung pada ‘orderan’ dari aktor-aktor politik.
Jika tradisi seperti ini mampu dipertahankan dan diduplikasi oleh lembaga lain, maka bukan tidak mungkin maternitas demokrasi di Indonesia akan semakin baik. Sebagai salah satu negara yang sering menjadi rujukan sebagai salah satu negara yang paling berhasil melaksanakan pemilu dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, Indonesia perlu melakukan pembenahan dalam segala bidang. Salah satunya adalah persurveian. Seandainya lembaga-lembaga survei bisa mengeliminirconflict of interest yang dapat mempengaruhi hasil surveinya, maka kedepan ‘seharusnya’ kita akan dengan mudah melihat rekaman kejadian apa yang sedanghappening di masyarakat dan mencarikan solusinya. Semoga saja !
Penulis: Andi Azhar