[PORTAL-ISLAM.ID] Bawaslu bilang presiden cuti, kok. Cuti jam jaman. Padahal pertandingan harusnya berjalan fair.
Sandiaga Salahuddin Uno malah bukan saja mengajukan cuti, tapi mundur dari kursi Wagub DKI. Mengapa demikian? Agar persiapan untuk menghadapi konstentasi pilpres tidak mengganggu jabatan sebagai wakil gubernur.
Kalau melihat jalannya pilpres secara fairness, jujur dan adil maka siapa pun yang jadi peserta mesti berada pada posisi dan status yang sama. Mengapa capres dan cawapres mesti mundur, non aktif atau cuti? Agar berlaku fairness, jujur dan adil dalam kompetisi pilpres. Dan ini akan menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan publik.
Jika ada pasangan capres dan cawapres yang ingin bermain fairness, jujur dan adil sedangkan pasangan lainnya tidak, maka permainan sudah tidak fair lagi.
Mahkamah Konsitusi mestinya mengabulkan permohonan yang diwakili oleh sejumlah mahasiswa yang mengajukan gugutan soal pasal cuti petahana. Malah sebaliknya, MK terlihat berkutat pada UU Pemilu an sich, padahal 9 hakim MK bisa membaca dan melihat lebih arif dan adil soal harapan atas hadirnya kontestasi pilpres yang fairness, jujur dan adil.
MK malah bersikukuh menolak gugutan secara keseluruhan. Dengan keputusan Presiden tidak perlu cuti kampanye. Agaknya ada nuasa ketakutan dari hakim-hakim di MK kalau putuskan presiden perlu cuti kampanye. Malah bila perlu non aktif atau mundur, dan bukan sekedar cuti doang.
Agar jalan pemerintahan tidak terganggu dengan kegiatan pencapresan bisa dikendalikan oleh wakil presiden. Sebagaimana pernah terjadi, Jusuf Kalla menjabat sebagai pejabat presiden di saat Presiden SBY sedang berada di luar negeri.
Tapi nampaknya ada ketakutan yang luar biasa dari capres petahana sehingga untuk cuti, non aktif apalagi mundur untuk dijabat oleh wapres. Bahkan untuk waktu sebulan saja. Bukankah ini ketakutan yang berlebihan.
Memang fakta-fakta kampanye di lapangan memperlihatkan paslon nomor urut 02 lebih mendapat dukungan ril dari masyarakat dibanding oleh petahana. Lalu, apakah dengan demikian cuti tidak perlu dilakukan agar capres nomor urut 01 masih tetap sebagai presiden dan bisa gunakan fasilitas negara termasuk TNI-Polri, menteri-menteri, kepala daerah, camat hingga kepala desa?
Membaca gelagat seperti itu jangan aneh muncul anggapan MK seperti timses petahana saja. Padahal Bawaslu sebagai pengawas penyelenggara pemilu membolehkan presiden cuti jam-jaman. Seperti supir tembak saja.
Kelihatan Bawaslu memperlihatkan sikap malu-malu soal cuti dengan membolehkan cuti jam-jaman. Tapi MK langsung full tidak perlu cuti.
Tetapi, mau tidak cuti, tidak non aktif dan tidak mundur sekalipun, semangat rakyat untuk memiliki presiden baru pada 17 April mendatang tak terbendung lagi. Soal cuti, cuti jam-jaman dan tidak cuti kelihatannya bakalan seperti bunyi tokek saja.
Penulis: Muslim Arbi