[PORTAL-ISLAM.ID] Pemerintah Indonesia akan menawarkan 28 proyek senilai total US$ 91,1 miliar setara Rp1.287 triliun (kurs Rp14.133/US$) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra Modern yang akan digelar di Beijing April 2019. Seiring dengan itu, pemerintah Indonesia tengah melakukan studi kelayakan proyek (feasibility study) tujuh proyek senilai US$ 8,7 juta dengan investor Cina.
Keseluruhan proyek dalam Jalur Sutra Modern itu nantinya akan menggunakan skema bussiness to bussiness (B to B).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan menyatakan investor Cina yang akan masuk ke Indonesia harus menyanggupi empat persyaratan. Keempat syarat itu juga berlaku untuk seluruh investor asing yang hendak masuk Indonesia.
Pertama, setiap investor yang hendak menanamkan modalnya harus membawa teknologi terbaik dari negara asal. “Kami tidak mau menerima second class technology (teknologi kelas dua), kami mau investor membawa teknologi ramah lingkungan,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Kedua, ketika investor asing sudah membawa teknologi terbaru maka secara perlahan investor asing harus melakukan transfer teknologi kepada pekerja Indonesia. Ketiga, investasi tersebut harus mempekerjakan pegawai asal Indonesia sebanyak mungkin. Keempat, calon investor harus membangun industri yang bisa memberikan nilai tambah kepada produk Indonesia.
Seperti diketahui, Cina dalam menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat cenderung mengalihkan target investasinya ke negara-negara lain. Hal itu juga berpotensi menggiring investasi negeri Tirai Bambu itu ke sejumlah negara yang potensial, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Cina menempati posisi ketiga dalam ranking investasi terbesar di Indonesia sepanjang 2018. Singapura masih menjadi negara asal investasi terbesar sepanjang 2018.
Meski demikian, sejumlah ekonom mewanti-wanti agar lonjakan investasi dari Cina ke Indonesia tidak disertai dengan eksodus tenaga kerja asing (TKA) asal Negara Tirai Bambu tersebut. Soalnya, kehadiran TKA Cina yang jumlahnya besar dan tanpa menggunakan dokumen resmi akan menimbulkan polemik di daerah.
Ekonom INDEF Rusli Abdullah menilai pemerintah saat ini memang memberikan kekeluasaan untuk tenaga kerja asing agar tidak selalu bisa bahasa Indonesia. “Berbeda dengan dulu TKA wajib bisa bahasa Indonesia untuk level tertentu. Kebijakan itu memang digunakan pemerintah untuk melakukan akselerasi investasi dan pembangunan,” katanya kepada Indonesiainside.id.
Rusli menyebutkan, banyaknya TKA Cina seperti di Morowali, merupakan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Cina yang menanam investasi di Indonesia. Pihak Cina ingin agar dibuat kebijakan satu paket dengan menyertakan TKA Cina sebagai pekerja lapangan. Hal itu disetujui pemerintah Indonesia karena biaya untuk menggaji TKA Cina lebih murah.
Hal itu menjadi ironis, lanjut dia, karena kondisi di Indonesia sedang terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun 2018 dan awal 2019. Seperti di Morowali, Sulawesi Utara. Rusli menyebutkan, ada sektor yang naik dan ada sektor yang turun. [IndonesiaInside]
[video]
Kalo sebagian proyek di pegang china pastinya berbondong2 TKA China akan dtg lagi bersama pasukannya. untuk mengerjakan proyeknya sementari TKI kita kemungkinan hanya beberapa orang yg kerja.— Prof Dr Ir Tamburin MCK (@laskar_minang) 26 Maret 2019
Mari 17 April mari kita sudahi🙏
.#RemoveTheNgaciroVirus pic.twitter.com/2LylRC2OoM
Ini akhir masa pemerintahan Jkw, ada apa?
— #RakyatPilihPrabowoSandi (@polikitik) 26 Maret 2019
Apa sengaja buat kontrak dulu dan dapat fee nya. Lalu pemerintahan berikut dan rakyat menanggung akibatnya