[PORTAL-ISLAM.ID] Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyebut terjadinya defisit neraca perdagangan sebesar US$ 1,16 miliar alias yang terdalam pada periode Presiden Joko Widodo disebabkan oleh berbagai kombinasi, yaitu melesunya perekonomian global dan anjloknya harga komoditas.
"Saya lihat karena berbagai kombinasi tadi, dari sisi volume beberapa komoditas masih bagus, batubara dan CPO naik, tapi karena harganya turun, ini menjadi tantangan besar," ujar Suhariyanto di Kantor BPS, Jakarta, Jumat, 15 Februari 2019.
Pada minyak sawit misalnya, Suhariyanto mengatakan dalam beberapa waktu terakhir harganya jatuh. Belum lagi, ekspor sawit Indonesia juga terhambat kampanye negatif di Eropa dan bea masuk tinggi di India. Untuk itu, ia mengatakan pemerintah tengah berupaya memperbaiki kondisi itu.
"Jadi kalau dilihat, volumenya kan naik ya, jadi lebih karena harga komoditas yang tidak pasti," ujar Suhariyanto. Kondisi itu bisa lebih buruk lagi kalau negara tujuan utama ekspor, misalnya Cina, mengalami pelambatan pereekonomian. "Karena kalau dia melambat, permintaan ekspor dari Indonesia bisa turun kan."
Berdasarkan data ekspor impor Indonesia tahun 2019, negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Cina dengan nilai US$ 1.707,6 juta. Berikutnya adalah Amerika Serikat dengan nilai US$ 1.512,8 juta, Jepang US$ 1.196,5 juta, dan India US$ 1.001,9 juta.
Selama ini sektor yang menyumbang ekspor paling tinggi adalah non-migas dengan persentase 91,10 persen dari total ekspor Januari 2019. Pada periode itu, total nilai ekspor industri pengolahan tercatat US$ 10,14 miliar. Berikutnya adalah migas US$ 1,25 miliar, pertanian US$ 0,28 miliar, serta tambang dan lainnya US$ 2,21 miliar.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan di awal pemerintahan Jokowi sempat surplus US$ 632 juta pada Januari 2015, setelah sebelumnya defisit US$ 444 juta pada Januari 2014. Namun, setahun setelahnya angka itu kembali turun, meski masih surplus, yaitu sebesar US$ 115 juta.
Tren itu kembali membaik dengan mengalami surplus sebesar US$ 1.424 juta pada Januari 2017. Nilai surplus itu adalah yang tertinggi selama periode yang sama di era Jokowi. Setahun berikutnya, yakni Januari 2018, neraca perdagangan kembali mengalami defisit sebesar US$ 756 juta. Defisit itu kian dalam pada Januari 2019, yaitu mencapai US$ 1.160 juta.
Pada Januari 2019, kata Suhariyanto, Indonesia hanya mengalami surplus untuk komoditas gas pada sektor migas. Sementara untuk minyak mentah dan hasil minyak, neraca perdagangannya defisit.
Di periode itu, nilai ekspor migas adalah sebesar US$ 1.234,7 juta, dengan rincian ekspor minyak mentah US$ 72,1 juta, hasil minyak US$ 75,1 juta, dan gas US$ 1.087,5 juta. Sedangkan nilai impor migas adalah US$ 1.689,5 juta, dengan rincian impor minyak mentah US$ 455,7 juta, hasil minyak US$ 1.056,2 juta, dan gas US$ 177,6 juta.
Dengan demikian, sektor migas mengalami defisit sebesar US$ 454,8 juta, dengan rincian, defisit perdagangan minyak mentah US$ 383,6 juta, hasil minyak US$ 981,1 juta, dan gas surplus US$ 909,9. Adapun pada sektor non migas defisit US$ 704,7 juta lantaran komposisi ekspor US$ 12.634,3 juta dan impor US$ 13.339 juta.
Sumber: Tempo
Kegagalan rezim Jokowi yang diberitakan oleh media mainstream ini membuat warganet berkomentar.
Berita" kegagalan Jokowi sudah mulai banyak diedarkan oleh media mainstream. Saya kira mereka tahu Jokowi akan kalah. :p https://t.co/XSOxFanGx4— Pelan-pelan, Awe! (@awemany) February 15, 2019