Kepada kalian yth.
Ini surat untuk kalian, tapi aku tidak tau siapa persisnya kalian. Kalian seperti antara ada dan tiada, sulit dijelaskan. Maka mungkin ini bukan surat, atau surat tanpa alamat tujuan atau mungkin juga hanya sebuah catatan ringan tentang Negara Hukum kita.
Aku menulis untuk mengingatkan kalian yang sedang mabuk. Mungkin, kalian sudah terlalu lama menganggap bahwa hukum adalah alat dari kepentingan politik dan kekuasaan sehingga mulai gelap mata. Semua tak ada beda. Semua suka-suka.
Pagi ini, aku datang menemui sahabat, Ahmad Dhani yang telah diadili dan dibui, dalam waktu singkat dengan pasal UU yang sedang ramai menjerat pesohor dan politisi. Tapi berbeda dengan orang lain, beliau langsung ditahan. Dan tanpa hak menolak.
Delik kepada Ahmad Dhani memang tidak ada objek-nya. Tapi pasal yang dikenakan padanya adalah pasal penghinaan dan ujaran kebencian. Entah siapa yang dihina dan siapa yang ia benci tidak jelas, yang jelas dia akan dikurung setahun setengah ke depan.
Buat Ahmad Dhani 1,5 tahun bukanlah suatu yang berat. Aku tahu jiwanya kuat, aku tahu nyalinya besar. Dia tidak takut dengan Lapas Cipinang yang overload 400% lebih itu dan ia tidak menyesal tidur dan hidup bersama sesama tahanan dari berbagai kasus dan wilayah.
Yang kita sayangkan dari kasus Ahmad Dhani adalah cara hukum bekerja secara diskriminatif. Dan ini terjadi sejak kasus penistaan agama mencuat. Seolah, pengadilan itu mendendam dan akhirnya menggunakan instrumen penegakan hukum sebagai media balas dendam.
Itulah yang menjelaskan sekelompok lawyer menjadi tukang lapor & rata-rata sangat diperhatikan oleh aparat, sementara laporan sekaliber Wakil Ketua DPR Bidang Polkam (Fadli Zon -red) 8 kali tidak digubris sama sekali. Hukum seperti berpamrih, tajam ke bawah tumpul ke atas dan menyisir musuh penguasa.
Sekarang, seteru ini berlanjut dan telah mencapai titik akhir menjelang pergantian kekuasaan. Sepertinya kita sedang menyaksikan sebuah eskalasi yang berasal dari kutukan zaman perpecahan, persis sejak rezim ini mengambil tampuk kekuasaan.
Maka pintaku pada kalian, jangan hancurkan Negara Hukum kita. Hentikan segala bentuk politisasi hukum dan biarkan hukum bekerja dengan caranya sendiri yang netral. Sebab hukum yang berpihak seperti sekarang akan menabuh kebencian dan perasaan marah. Bisa meledak dan membakar kita.
Hukum dan keadilan adalah nyawa demokrasi kita. Apabila ia tak ada lagi maka demokrasi kita telah mati. Dan kita tak ingin menyiapkan keranda jenazah bagi demokrasi kita yang mahal. Tidak ada penyesalan paling besar bagi bangsa ini kecuali kematian demokrasi.
Tapi pagi, di lapas Cipinang, aku menyaksikan sebuah adegan yang menegangkan. Karena adanya “atur mengatur” yang ingin dilakukan kepada Ahmad Dhani. Rupanya, belum puas ia dibui 1,5 tahun, Ada yang ingin ia ditahan di tempat yang jauh dari jangkauan keluarga dan kerabatnya.
Dibuatlah sebuah penetapan baru yang tidak lumrah, jaksa Surabaya yang tidak punya kewenangan menahan Ahmad Dhani meminta hakim PT tempat banding dilakukan agar membuat penetapan baru. Padahal JPU hanya boleh meminjam terdakwa. Namanya juga pinjam harusnya tau diri.
Tapi mereka bisa mengatur, dan Ahmad Dhani semacam akan dieksekusi di tempat baru. Tercium aroma tidak sedap permainan ini, ketika orang-orang besar di Jakarta saling menelepon dan semuanya tidak diputuskan berdasarkan hukum tetapi loby dan koneksi.
Sudah lama hukum kita telah menjadikan loby dan koneksi sebagai metodologi. Hukum tak lagi tunduk pada aturan dan prosedur yang tetap dan pasti. Kasus Ahmad Dhani adalah cermin diri bangsa ini yang telah melenceng jauh meninggalkan Negara Hukum dan Demokrasi.
Maka,
Esok kasus Ahmad Dhani akan menjadi tontonan yang menegangkan sampai 70-an hari ketika rezim ini sedang di tawarkan kembali kepada rakyatnya apakah akan bertahan atau diganti. Di tangan rakyat sekarang ada tombol hukuman hidup atau mati bagi rezim ini.
Kita lihat saja nanti.
Rezim ini sedang menghadapi ujian yang pasti. Mandat ada di tangan rakyat kita sendiri. Hukumannya hanya 2: hidup atau mati! Sekian.
(Twitter @Fahrihamzah Rabu 6/2/2019)