[PORTAL-ISLAM.ID] Amien Rais mengatakan doa Kiyai Maemoen Zubair untuk Prabowo yang beliau lantunkan di samping Jokowi, adalah takdir Yang Maha Kuasa. Tentu saja pendapat ini seratus persen benar. Di dalam keyakinan Islam, tidak satu hal pun yang terjadi tanpa pengaturan Allah SWT.
Karenanya, upaya untuk meralat doa yang tertukar itu menjadi tidak relevan. Boleh dibilang ‘absurd’. Doa adalah apa-apa yang tersimpan di hati. Kalau doa yang telah direncanakan dengan baik tetapi terucapkan lain, tidaklah harus disikapi dengan perasaan negatif. Tidak pula harus disusul dengan perilaku yang dinilai oleh banyak orang sebagai tindakan yang ‘melanggar kesopanan’ untuk kiyai senior sekaliber Mbah Moen.
Tindakan yang dianggap tak sopan itu terjadi ketika ketua umum PPP Muhammad Romahurmuziy (Romi) mengikuti Mbah Moen masuk ke kamar pribadinya. Kemudian, Pak Romi meminta Mbah Moen berbicara yang intinya menyatakan dukungan kepada Jokowi. Romi melakukan swarekam dan tersebar di dunia maya. Kalangan santri dikatakan marah terhadap tindak-tanduk Romi yang dianggap tidak hormat kepada Mbah Moen.
Romi dibully banyak netizen. Macam-macam komentar tentang ketua umum PPP ini. Pada dasarnya publik menyesalkan cara Romi ‘mengejar’ Mbah Moen sampai ke kamar pribadinya.
Sebetulnya, masalah doa salah ucap itu sederhana saja. Tidak rumit. Ada acara Sarang Berzikir, Jumat (01/02/2019). Pak Jokowi hadir dan duduk bersebelah dengan Kiyai Maemoen. Kertas doa sudah disiapkan Kiyai yang sangat dihormati itu. Beliau simpan di dalam saku bajunya.
Tibalah saat acara akan ditutup dengan doa yang disampaikan oleh Mbah Moen. Doa ini dimaksudkan untuk kesuksesan Pak Jokowi terpilih kembali menjadi presiden kedua kali. Setelah selesai sederetan ‘iftitah’ (pembuka) doa, sampailah ke kalimat-kalimat kunci. Yaitu, kalimat doa untuk Jokowi.
Diperkirakan, nama Jokowi tertulis di kertas yang berwarna kuning itu. Tetapi, entah bagaimana dengan kuasa Allah, Mbah Moen menyebut lebih-kurang “…Pemimpin ini, presiden ini, Pak Prabowo, jadikanlah ia terpilih kedua kalinya.”
Romi memang memberikan penjelasan yang masuk akal. Doa dalam bahasa Arab itu aslinya dimaksudkan untuk Pak Jokowi. Logis apa yang dikatakan oleh Romi. Karena memang ada tertera dan tersebut kata “dua kali”. Tentu yang dimaksudkan adalah Jokowi.
Hanya saja, lisan Kiyai Maemoen ‘digerakkan’ untuk menyebut “Prabowo”. Memang tidak logis Prabowo didoakan terpilih kedua kalinya. Selama beberapa saat, penyebutan nama Prabowo itu mengalir natural. Sampai akhirnya Romi bangkit dari kursinya dan menghampiri Mbah Moen untuk mengatakan bahwa beliau salah sebut nama.
Romi meminta Kiyai mengulangi doa di bagian nama Jokowi supaya sebutan “Prabowo” diganti dengan “Jokowi”. Dalam proses untuk mengulang itu, mikrofon terganggu. Tak keluar suara.
Namun, setelah masalah mik teratasi, Mbah Moen masih terpeleset menyebut nama Prabowo. Kata orang-orang, Romi menjadi sedikit panik. Tetapi, Alhamdulillah, ralat doa bisa juga terlaksana.
Jadi, tujuan awal doa itu tidak ada yang membantah. Yaitu, untuk Pak Jokowi. Pastilah. Tak mungkin untuk Pak Prabowo. Dan Mbah Moen pun bermaksud mendoakan Pak Jokowi. Tidak ada yang bisa membantah ini.
Yang menjadi pertanyaan, apakah suasana batin Mbah Moen waktu itu lebih kuat tersambung ke Prabowo atau ke Jokowi? Ini yang tidak mudah dijawab dengan tulus. Pertanyaan lainnya, apa kira-kira yang menyebabkan Mbah Moen terpeleset mengucapkan “Prabowo” di atas nama “Jokowi” dalam ‘flow’ (aliran) yang terdengar lancar?
Kelihatannya kita perlu melakukan investigasi panjang-lebar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Sayangnya, hampir mustahil investigasi itu bisa dilakukan mengingat salah satu nara sumbernya adalah Mbah Moen sendiri.
Yang bisa kita lakukan hanyalah sebatas observasi. Sebagai contoh, di tengah intensitas kampanye pilpres yang sangat tinggi di seluruh Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, saat ini, saya membayangkan Mbah Moen tak mau ketinggalan berita tentang itu. Seperti kita juga. Wallahu a’lam. Saya yakin beliau mengikuti jalannya kampanye yang boleh dikatakan ‘terseru’ dalam sejarah pilpres pasca-reformasi.
Saya menduga, Mbah Moen mungkin mendapat kabar juga betapa banyaknya kejanggalan dalam bentuk ketidakadilan yang dialami oleh paslon 02. Nah, mungkinkah akumulasi ketidakadilan yang sampai ke Mbah Moen itu mengusik nurani beliau? Sehingga nama Prabowo semakin ‘mengeras’ di dalam memori Tuan Guru? Wallahu a’lam. Ada kemungkinan.
Bagi saya pribadi, didasarkan pada persiapan kunjungan Jokowi ke pesantren Mbah Moen, yang pasti dilakukan secara cermat dan rapi, plus kertas doa yang sudah disiapkan oleh Tuan Guru, saya yakin ‘salah sebut’ dalam doa itu bukan sesuatu yang bisa dikatakan kesalahan ‘rehearsal’ (latihan).
Ada sesuatu yang ‘lebih’ dari itu. Subjektivitas saya cenderung menyebutnya sebagai “Suara Langit untuk Prabowo”.
Penulis: Asyari Usman