[PORTAL-ISLAM.ID] Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara memantik kontroversi di dunia maya. Ia diduga hendak mempengaruhi pilihan politik para anak buahnya, aparatur sipil negara (ASN), dengan menyindir mereka yang memilih kandidat oposisi.
“Bu! Bu! Yang bayar gaji ibu siapa sekarang? Pemerintah atau siapa? Hah?” ujar Rudiantara dengan suara meninggi. Pertanyaan itu ia lontarkan kepada seorang ASN yang mengaku tidak akan memilih kandidat petahana dalam pilpres nanti.
Kelakuan Rudiantara ini mengundang banyak kritikan publik. Sebab tak sepantasnya seorang menteri melakukan kampanye dalam bentuk apapun terhadap anak buahnya, yang semestinya bersikap netral dalam politik praktis.
Kemudian yang lebih parah lagi, Rudiantara juga hendak menggiring pemikiran anak buahnya bahwa yang menggaji mereka adalah pemerintah. Penguasa yang sedang bertahta. Secara tersirat ia ingin berkata, alangkah berdosanya jika nanti tidak memilih petahana.
Benarkah demikian? ANS itu digaji oleh pemerintah sehinga mereka berutang budi kepada penguasa? Jelas itu ngawur! ASN digaji dari uang negara, yang salah satu sumbernya adalah dari hasil pajak rakyat.
Begitu juga uang gaji yang dinikmati setiap bulan oleh Rudiantara dan rekan-rekannya sesama menteri, serta gaji presiden, sumbernya dari keuangan negara. Jadi, yang lebih tepat itu, mereka semua berutang budi kepada rakyat Indonesia, bukan kepada penguasa.
Setiap tahun, uang negara terkuras sekitar Rp 600 triliun lebih untuk membayar gaji ASN di seluruh Nusantara. Separuh dari jumlah itu diperuntukkan untuk membiayai gaji ASN pusat. Sementara sisanya untuk alokasi gaji ASN di seluruh daerah di Indonesia.
Tidak mungkin uang sebanyak itu berasal dari kantong penguasa. Itu uang negara, uang rakyat juga. Jadi sungguh tidak elok jika ada menteri yang berusaha mempengaruhi pilihan politik ASN, dengan dalih gaji mereka dibayar pemerintah. Kalian semau digaji oleh negara!
Abuse of Power
Kelakuan Rudiantara ini sebenarnya bisa dikategorikan sebagai abuse of power. Ia menggunakan jabatan politik serta fasilitas negara untuk mempengaruhi anak buah guna mengikuti jalan politiknya. Takut kalah dalam berkompetisi, ia mulai gunakan segala cara untuk menang. Cara-cara serupa demikian yang merusak keteladanan.
Parahnya, hal serupa juga telah lebih dulu dilakukan Presiden Jokowi dan sejumlah menteri. Mereka seakan tak peduli melabrak aturan dengan menginstruksikan ANS, TNI dan Polri untuk mengampanyekan petahana.
Jokowi meminta anggota TNI dan Polri untuk menyosialisasikan capaian kinerja pemerintah kepada rakyat. Dalam pengertian lain, ia ingin kedua alat negara ikut berkampanye untuk mengangkat citra positif pemerintahannya. Ini sama artinya presiden telah menunjuk aparat hukum untuk jadi juru kampanye.
Lalu, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, juga meminta seluruh pegawai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk ikut menyosialisasikan capaian kinerja pemerintah kepada rakyat. Dalam artian tersirat, pegawai negeri sipil (PNS) itu diminta berkampanye untuk kandidat petahana. Curang memang.
Beginilah jika penguasa hanya mementingkan kekuasaannya. Maka nurani dan kejujuran akan dikesampingkan. Mereka senantiasa melakukan segala cara demi memuluskan ambisi mempertahankan singgasana untuk periode kedua.
Penulis: Patrick Wilson