Nada bicaranya meninggi. Juga menyerang. Sorot matanya meremehkan. Melirik dengan buas. Selayak pemakan daging yang hendak menerkam mangsanya.
Berkali-kali, ia menggerak-gerakkan kepala. Bukan bingung, tetapi meremehkan. Ia mengirim sinyal saat lawan tengah berbicara.
Bunyi sinyal itu, “Ente ngomong apa? Jangan sok tahu.” Atau yang lebih galak lagi, “Halah… ngomong aja jago. Padahal ikut kompetisi kalah selalu.”
Siapa yang membaca ta’awwudz, basmalah, dan berdzikir sepanjang acara itu, dipastikan mampu menangkap sinyal yang dikirim oleh orang kampung ini. Apalagi ia melakukan berulang kali dengan gaya khas, kemeja putih yang digulung setengah lengan.
Publik terhenyak. Publik bertanya. Publik menggugat.
Mengapa orang kampung ini berubah? Bukankah ia berasal dari salah satu kota di Jawa yang amat menjunjung tinggi sopan santun dan tata krama?
Orang kampung ini benar-benar bertransformasi. Sayangnya negatif. Ia sangat berbeda dengan 2012, saat maju sebagai Cagub. Ketika itu, semua mata terhenyak, tertarik, kagum dengan kesederhanaan dan ke-kampung-annya.
Ia pun menang. Sederhananya menjadi magnet. Meski akhirnya terbongkar: pencitraan.
Namun kisah itu berlanjut di tahun 2014. Saat maju lagi, kesederhanaannya tetap ada. Tak ada nada menyerang. Hanya berapi-api yang barangkali bermakna semangat.
Lalu, apa yang menjelaskan perubahan sikap orang kampung ini? Saya harus berpikir lama. Menunggu dua hari hingga menemukan 2 alasan.
Pertama, dia seperti yakin akan susah memenangkan laga. Pembagian sertifikat olehnya sepi. Padahal di pusat kota. Data yang dia sampaikan berbusa, ternyata hoax semua.
Pendukungnya sok-sokan uninstal aplikasi anak bangsa, malah dia yang di-uninstal dan di-shut down. Dimana-mana hadir, sepi. Hanya ramai di media. Itu pun karena dibayar. Tapi ya cuma ramai pemberitaan, tapi sepi pembaca.
Ia yakin kalah. Maka ia menyerang. Daripada santun dan kalah, mending serang sekalian.
Kedua, ia telah terkontaminasi. Berjuang di rantau itu tidak mudah. Apalagi bagi orang kampung yang nekat, dibawa oleh bos, lalu diberi tugas berat sebagai petugas partai.
Bertarung di Ibu Kota sejak 2012 tentu amat melelahkan. Belum lagi kenalan dan tongkrongan bersama para genderuwo membuat dirinya makin sontoloyo.
Berat untuk mengatakan, tapi ini benar adanya. Seorang kawan senior berkata, “Orang kampung yang menjadi beringas, lupa asal, karena bergaul dengan orang yang salah di Ibu Kota.”
Jujur, publik sedih. Sedih karena ia berbohong. Sedih karena dia berubah menjadi beringas.
Sumber: Swamedium