[PORTAL-ISLAM.ID] Apa yang membuat Eropa maju dan dunia Islam terpuruk. Banyak sudah para pembaharu mencari sebab dan formulanya. Tidak kurang dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, sampai Abu al-Hasan Ali an-Nadwi membahasnya.
Tetapi bila kita peras-peras semua perkataan mereka, saripatinya itu-itu juga: Eropa memisahkan diri dari agamanya maka dia maju, dan Islam memisahkan diri dari agamanya maka dia terbelakang. Tapi apa yang membedakannya?
Sebagian orang melompat dan mengatakan karena agama Islam adalah agama yang haq dan berkemajuan, karena itu jalan menuju kejayaan adalah kembali ke awal. "Tidak akan baik urusan ummat ini kecuali dengan yang membuat baik generasi pertamanya" begitu ucapan Imam Malik sering dikutip.
Semangat kebangkitan beragama pun marak di mana-mana. Apakah Islam hari ini sudah bangkit? Harus kita katakan apa adanya, belum dan justru ditindas di mana-mana. Apa masalahnya? Sebagian lagi masuk ke medan-medan jihad karena menilai kemerosotan ummat karena ditinggalkannya ruh jihad. Sebagian lagi menjadi sangat ortodoks dalam beragama dan menjadi tidak logis dalam banyak pikirannya. Hidupnya tergantung pada "the power of bla bla", "the miracle of bla bla". Sebagian lagi sangat mistis, sibuk dengan hizib-hizib, kesaktian, dan hal-hal aneh.
Memahami konteks kebangkitan Eropa dan kemunduran Dunia Islam perlu dilihat kembali konteks kesejarahannya. Eropa lama terkungkung oleh mitos, takhayul, dan dogma di abad pertengahan. Filsafat metafisika masa itu masih meyakini bahwa di balik materi alam semesta ada kekuatan supranatural semacam jin dsb. Sampai ada raja yang ketakutan saat menerima hadiah jam dinding dari Dinasti Bani Umayyah karena menduga ada setan dalam jam tersebut yang membuatnya bergerak sendiri secara mekanis. Revolusi industri dianggap sebagai tonggak awal modernisme Eropa, di mana sebelumnya telah banyak didahului koflik antara saintis dan gereja. Modernisme Eropa ditandai dengan rasionalisme dan empirisisme, membuang apa-apa yang irasional dan tidak empirik.
Jadi rasionalisme dan empirisisme lah akar kemajuan kebudayaan (meteri) Eropa. Menghadapi ini banyak pula sarjana muslim yang gugup dan gagap. Di antara mereka ada yang taklid buta pada Eropa, sampai-sampai Sutan Takdir Alisjahbana menilai tak ada jalan menuju kejayaan kecuali mengadopsi nilai-nilai Eropa. Tak sedikit pula yang ingin membuang Islam sebagaimana Eropa membuang Kristen yang dianggap penuh takhayul. Tak sedikit pula yang nyinyir pada agamanya, bahkan nyasar pada Arab tempat agama Islam turun. Sebagian besarnya justru datang dari muslim pedesaan yang biasa dididik dengan Islam model mistik dan dongeng. Otak mereka gegar, mereka bahkan lebih Eropa dari orang Eropa, radikal dan ekstrim. Atau bahasa gaulnya norak seperti masyarakat pinggiran kadang lebih norak dari masyarakat kota. Mereka sebetulnya sedang marah pada masa lalu mereka.
Saat di kelas saya tanya pada mahasiswa, kalian lebih percaya agama atau pikiran yang benar? Mayoritas menjawab lebih percaya agama sebab agama adalah kebenaran mutlak. Saya katakan saya lebih percaya pikiran yang logis dan empiris, mahasiswa tersentak. Saya katakan, kalian berkata begitu karena kalian telah menjadi muslim. Coba kalian lahir di Eropa abad 15 di mana agama di sana isinya kumpulan takhayul, apa kalian akan percaya jam dinding digerakkan setan? Coba kalian lahir di Makkah abad 7 M yang menyembah batu. Apa kalian akan terus percaya agama seperti itu?
Akal sehat Umar r.a yang menyebabkan dia masuk Islam, akal sehat Abu Bakar r.a lah yang menolak tradisi jahiliah. Saya tidak marah orang Eropa kesal pada agama, orang begitu itu isinya. Apa kalian percaya ada yang mengatakan bumi itu datar sementara orang-orang telah melihat bumi bulat?
Al-Qaradhawi mengatakan akal yang benar tak akan bertentangan dengan nash agama (Islam) yang shahih. Abduh mengatakan bila teks agama telah nyata shahihnya dan bertentangan dengan sains maka dilihat penafsirannya, bila penafsirannya shahih maka sains yang dicek ulang. Intinya wahyu yang benar dan akal yang benar tak akan bertentangan sebab semuanya berasal dari Allah s.w.t.
Rasional dan empiris sebetulnya ciri khas agama Islam ini. As-Sya'rawi mengatakan ada rahasia besar saat Nabi s.a.w mi'raj tetapi di isra' kan dulu. Kenapa? Allah s.w.t kalau ingin mengajak bicara sesuatu yang di atas akal (bukan di luar akal) maka dimulai dengan yang bisa dicerna akal manusia. Orang Quraisy sudah pasti tak akan percaya nabi s.a.w naik ke langit, apalagi hanya semalam. Karena itu diperjalankanlah (isra') dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam sekejap sebagai bukti. Kenapa? Karena kedua masjid tersebut adalah sesuatu yang empirik bagi mereka. Mereka bisa mengindranya (melihat, meraba, dll). Sehingga pernyataan nabi s.a.w bisa diverifikasi sebagai alat uji kebenaran. Setalah ditanya tentang ciri-ciri Masjidil Aqsha nabi s.a.w bisa menjawabnya persis seperti yang mereka lihat kalau beristirahat dari berniaga di Syam. Bahkan nabi menyebutkan akan datang pedagang yang datang dari Syams dan ciri-cirinya. Artinya, nabi konsisten dalam pernyataannya dan tidak berbohong. Begitulah Allah s.w.t mengajak akal manusia berbicara. Allah s.w.t tahu manusia tak akan bisa memverifikasi surga, neraka, sidratul muntaha dll, maka dibuatlah Isra sebagai dalil konsistensi. Begitu juga Allah s.w.t tahu manusia tak percaya akan dihidupkan kembali maka diperlihatkanlah penciptaan pertama (nasy'ah al-ula). Semua kita melihat keajaiban penciptaan pertama itu sebagai pengalaman empirik. Silahkan rujuk surat Al-Waqi'ah.
Artinya sebab kemajuan itu di mana-mana sama. Membuang takhayul dan mengedapankan pikiran yang logis dan empiris. Islam datang membuang takhayul Arab maka Arab maju. Eropa membuang takhayul agama mereka maka mereka pun maju. Itulah makna kenapa kita mundur saat jauh dari Islam? Yaitu saat jauh dari nilai-nilai ajaran Islam yang logis. Kalau kita menjadi semangat berIslam tapi dengan penafsiran mistik saya yakin sampai kapan pun kita akan terbelakang. Berpikir logis artinya kausalitatif, nyambung, ada relasi sebab dan akibat. Mau pintar ya rajin belajar, tak hanya ke makam-makam keramat. Mau sukses? Ya kerja keras, kerja cerdas, dll. Mau kenyang? Ya makan. Itulah akal Abdullah bin Mas'ud r.a "Ilmu itu hanya bisa dihasilkan dengan belajar". Sesekali, saya katakan, coba kita survey mana yang hidupnya lebih sejahtera, Cina yang bekerja keras atau orang kita yang malas tapi rajin baca Waqi'ah.
Segala sesuatu ada sebabnya, "sesungguhnya perahu tak berlayar di daratan" begitu pepatah Arab. Nabi Musa a.s cuma sekali diberi izin membelah lautan, sisanya kepedihan dan keletihan. Sejatinya, keajaiban itu ada tapi agar tak berpangku pada keajaiban, tanamkanlah dalam pikiran "tak ada keajaiban, yang ada adalah kenyataan." Setelah itu berserah diri pada Allah s.w.t. Maka hidup akan berubah ajaib. Begitulah Al-Banna berkata, "pekerjaan gak akan selesai kecuali dengan menyibukkan diri."
Wallahu a'lam.
(Rudi Wahyudi)