Ahmad Dhani The Warrior
Cepatnya rakyat dunia maya menonton dan merespon video tersebut tentu saja berhubungan dengan tragedi di penjaranya Ahmad Dhani (ADP) beberapa hari yang lalu, karena mungkin dianggap terlalu banyak “menyulitkan” rezim yang sedang berkuasa saat ini. Atau mungkin karena sesuai tuduhan terhadap dia “hate speech”.
“Hate Speech” itu apa? tentu banyak rakyat bingung, karena ungkapan manusia di era “internet of things dan big data” saat ini dapat menjadi “chit chat” yang dimulai dengan obrolan biasa, berkembang jadi saling argumen lalu berkembang jadi ujaran panas, yang bisa menghinggapi siapa saja.
Pemenjaraan Ahmad Dhani 1,5 tahun adalah tragedi terbesar di dunia. Jika kita bandingkan, umpamanya, dengan Geert Wilders di Belanda dan Mark Olic Porter di Arizona, USA, hukuman yang diperoleh Ahmad Dhani lebih terkesan politik dibanding hukum murni. Wilders, pemimpin parta ultra Nasionalis, yang selalu menyebarkan kebencian anti Islam dan imigran, khususnya Maroko, di Belanda, pada bulan Desember, 2016, dinyatakan bersalah, untuk diskriminasi bukan menghasut kebencian. Juga dia tidak di penjara dan tidak di denda. “However, the court cleared Wilders of the charge of inciting hatred and imposed no fine or sentence, ruling that a criminal conviction was sufficient punishment for a politician in Wilders’ position”, the Guardian, 9/12/16. Hanya dinyatakan bersalah juga buat Wilders tidak bisa terima. Dia meyakini demokrasi membolehkan dia berbicara terbuka.
Marc Olic Porter, contoh lainya, pada akhir 2016, seorang yang bukan politisi, dihukum 9 bulan penjara karena “Hate Speech” mengejek anak dan ayah berkulit hitam, dengan kasar dan menyebutnya “negro”. ( www.sltrib.com ). Jika melihat sebutan Negro yang tidak bisa diterima lagi di Amerika, karena faktor historis, plus cara pengungkapan yang kasar, mingkin hakim berpikir ini sudah masuk ke “crime”.
Namun, secara umum di Amerika tidak dikenal dengan hukuman “hate speech”, karena Amerika memberi kebebasan pada “hate” dan “speech” tersebut (first amandemen of constitution). Dalam situs American Library Association ( www.ala.org/advocacy/intfreedom/hate ) dibahas bedanya “hate speech” vs. “hate crime”, dimana yang pertama lebih kepada pikiran sedang yang terkahir pada tindakan. Membakar Masjid, misalnya, di Texas tahun lalu, pelakunya diberikan pasal2 terkait “hate crime” alias kriminal.
Jikalau musuh politik Dhani ingin membandingkan kasusnya dengan kasus Ahok yakni “penghinaan agama”, tentu kasus Ahmad Dhani dalam tuduhan ujaran kebencian, kurang relevan dan tidak masuk akal. Maksudnya tidak dapat dibandingkan. Menghina agama adalah menghina ideologi negara. Sebaliknya, Ahmad Dhani justru juga pernah hampir masuk penjara di masa lalu, ketika terkait dengan tuduhan penghinaan agama (sekali lagi di masa lalu). Sedangkan ujaran kebencian yang dituduhkan ke Dhani samasekali tidak terkait dengan urusan agama.
Ketidakmasuk akal ini, membuat rakyat mulai mempertimbangkan Dhani mempunyai urusan lain dengan kekuasaan yang ada, sehingga keberadaan dia di dunia politik cukup menakutkan. Mungkinkah? Untuk melihat kemungkinan ini perlu dipertimbangkan posisi dan peran Dhani selama hampir 5 tahun berikut ini:
1) Ahmad Dhani menjadi politisi Gerindra dan artis utama disisi Prabowo
2) Dhani ditangkap dan ditersangkakan kasus makar pada 2/12/2016 melawan rezim Jokowi. Pada saat polisi memeriksa saya sebagai saksi kasus makar, pertanyaan polisi terhadap Ahmad Dhani hampir sama arahnya dengan Sri Bintang Pamungkas. Dalam pertemuan 100 tokoh nasional di aula kampus UBK, yang dipimpin Rachmawati Soekarnoputri, Dhani memang mengeluarkan pikiran radikal tentang perlunya mempersenjatai sejuta rakyat dengan bambu runcing. Ini dianggap sebagai pikiran berbahaya.
3) Dhani melakukan gerakan anti Ahok selama Ahok memerintah di ibukota. Padahal Ahok adalah sosok inti dalam kekuasaan rezim Jokowi saat itu.
4) Dhani mempublikasikan pikiran2nya dalam bentuk tulisan singkat melalui media sosial yang berisi a.l: a) permusuhan dengan komunisme dan PKI, b) cinta ulama sebagai harga mati, c) permusuhan terhadap tenaga kerja asing (khususnya TKA China) d) mendegradasi rezim Jokowi dalam urusan kedaulatan atas sumberdaya alam, dlsb.
5) Dhani merupakan calon anggota DPR RI asal daerah pemilihan Surabaya. Daerah ini dalam peta pilpres menjadi daerah “competitive” bagi pasangan 01 dan 02.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, perasaan rakyat bercampur bahwa hukuman berat yang diterima Dhani kemungkinan campuran kehendak hakim dan penguasa.
The Warrior (Sang Pejuang)
Pertarungan Ahmad Dhani selama hampir 5 tahun ini telah merubah persepsi publik bahwa Dhani hanyalah seorang “vote getters” (penggaet suara) menjadi seorang pejuang. Vote getters telah dilabeli kepada berbagai artis dan seniman selama ini yang masuk ke dunia politik.
Kebersamaan Artis dan pemimpin politik terjadi diberbagai belahan dunia, seperti misalnya kedekatan Elvis Presley dan Presiden Nixon atau Meriah Carey/Kanya West dan Obama di USA, atau kedekatan Slank dengan Jokowi, namun artis/musician yang bermetamorfosis menjadi politisi dan terus bermetamorfosis menjadi pejuang sulit terjadi. Hal inilah yang mulai terlihat pada sosok Ahmad Dhani.
Pada tahap metamorfosis pertama, ketika Dhani berubah jadi politisi, kepentingan Dhani sangat terkait dengan kepentingan Prabowo dan Partai Gerindra. Namun, pada fase berikutnya, Dhani telah membentuk sebuah sosok yang memperjuangkan “kebenaran” dalam versi yang dia yakini. Dhani meyakini bahwa Komunis adalah ideologi sesat, yang menurutnya ada dan berkembang saat ini. Lalu, Dhani meyakini Islam sebagai “tafsiran ideologi” yang menyelamatkan bangsa kita.
Meskipun Dhani tidak menampakkan kajian teoritis atas berbagai pikiran2nya, namun pikiran2 Dhani tersebut tentunya berkembang dari interakasi sosial yang terjadi pada dirinya selama 5 tahun ini, ditambah berbagai konfrontasi keyakinan di masa lalu, ketika dia berkonflik dengan sebagian aktifis Islam.
Seorang seniman, dengan kemampuan artikulasi rasa, jiwa dan emosi, tentu mempunyai jalan sendiri menemukan eksistensi pikiran-pikirannya tersebut.
Rex Thomson, dalam “The Intertwined Relationship Between Music And Politics”, 26/2/ 2016, mengatakan bahwa “The very nature of politics is, like music, rooted in conflict and harmony. The heart of music is the interplay of the physical and the mental, as the compromise between them forms a cohesive whole.” (https://liveforlivemusic.com/features/the-intertwined-relationship-between-music-and-politics/)
Thomson mencatat hubungan musik dan politik dalam beberpa jenis yakni “protest songs, music for voting, on the campaign trial, musical endorsements and musicians running for office”.
Dalam katagori ini Ahmad Dhani sudah bermetamorfosis dari music for voting kepada “campaign & endorsements” (meng endorse Prabowo sebagai Presiden dan secara sosial untuk Habib Rizieq sebagai Imam Besar ummat Islam), lalu “running for office” (sebagai kandidat wakil walikota Bekasi dan Caleg DPR). Namun, “protest songs” belum terlalu muncul dalam perjalanan Dhani, sebagaimana telah terjadi pada pikiran-pikirannya. John Lennon dan Bob Dylan, misalnya, mengambil “protest song” ini, yang menunjukkan perbedaan mendasar diri mereka dibanding pemusik lainnya. Kelihatannya hal ini menunggu waktu bagaimana Dhani, dengan tragedi penjara yang dihadapinya, mampu menterjemahkan pikiran dan sikap politiknya menjadi gubahan lagu-lagu perjuangan.
Penjara dalam mitologi adalah bagaikan sebuah “kawah candradimuka” bagi Gatot Kaca untuk mencapai kesaktian. Bagi Ahmad Dhani, tentu penjara melengkapi perjuangannya sebagai pejuang tangguh bagi kebangkitan bangsa kita. Jika John Lennon mampu menciptakan “protest song” seperti “Give peace a chance” atau “imagine”, tanpa penderitaan di penjara, maka Dhani akan mampu lebih hebat dari Lennon. Maksudnya dia selain penggubah lagu/syair dan penyanyi, akan sekaligus menjadi sang pejuang. Ahmad Dhani The Warrior.
Penulis: DR. Syahganda Nainggolan
Sumber: RMOL