[PORTAL-ISLAM.ID] Sejumlah persoalan “maha” besar bakal dihadapi Prabowo Subianto bila terpilih sebagai presiden pada Pilpres 2019.
Beberapa pengamat sudah menulis tentang beban berat, dan agenda Indonesia Pasca Jokowi yang harus dilakukan Prabowo menyusul munculnya hasil survei elektabilitas Jokowi sudah di bawah 50%.
Sebagai petahana, angka elektabilitas di bawah 50% sudah lampu merah. Apalagi melihat arus perlawanan dan militansi yang ditunjukkan oleh para pendukung paslon 02 Prabowo-Sandi, serta lemahnya dukungan dan militansi para pendukung terhadap Jokowi-Ma’ruf.
Menyatukan kembali bangsa yang terbelah (divided nation) menjadi agenda utama dan terbesar Prabowo-Sandi. Belum pernah sebagai bangsa kita menghadapi situasi seperti saat ini.
Bangsa kita di bawah kepemimpinan Jokowi terpolarisasi dalam dua kubu yang saling berlawanan. Terkotak-kotak dalam dua kubu yang sering disebut sebagai cebonger dan kampretos. Yang menyedihkan sebagai kepala negara, Jokowi merupakan bagian dari persoalan tersebut.
Bangsa kita memasuki situasi post truth, dimana fakta tak lagi relevan. Situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif.
Agenda besar ini tidak mudah untuk segera dilakukan. Perlu waktu panjang dan kesabaran. Dalam sebuah anekdot sering digambarkan di dunia ini ada dua jenis orang yang sulit diyakinkan dan diubah keyakninannya. Pertama, orang yang sedang jatuh cinta. Kedua, pendukung Jokowi.
Prabowo-Sandi harus menempatkan diri sebagai presiden-wakil presiden bangsa. Bukan hanya presiden-wakil presiden para kampretos yang mendukungnya.
Agenda berikutnya adalah memperbaiki perkonomian bangsa. Perekonomian Indonesia di bawah Jokowi oleh banyak pengamat dinilai dilakukan secara ugal-ugalan. Lebih berorientasi kepentingan kelompok pendukungnya dan pencitraan.
Utang negara yang menggunung, termasuk prioritas utama yang harus diselesaikan. Gali utang, tutup utang merupakan pola baku pada pemerintahan Jokowi.
Kritik terhadap strategi pembangunan Indonesia, bukan hanya dari dalam negeri, tapi juga Bank Dunia. Yang terbaru dari majalah ekonomi berpengaruh di dunia, The Economist.
Bank Dunia menyebut pembangunan infrastruktur Indonesia berkualitas rendah, tidak memiliki kesiapan, dan tak terencana. Asal-asalan. Sementara The Economist menilai pemerintahan Jokowi sudah kehilangan kepercayaan dari para investor.
Tata kelola pemerintahan yang baik, merupakan agenda berikutnya yang juga sangat penting. Banyak undang-undang dan peraturan yang diubah, kalau perlu ditabrak demi mengakomodir kepentingan pemerintah dan kroninya.
Kasus diundurnya pelantikan Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo, pelantikan Archandra Thahar warga negara AS sebagai Menteri ESDM yang kemudian dianulir, batalnya penghapusan Daftar Negatif Investasi (DNI) sektor koperasi dan UMKM, batalnya kenaikan harga premium, dan terbaru batalnya pembebasan bersyarat Abu Bakar Ba’asyir adalah sederet bukti amburadulnya tata kelola administrasi pemerintahan Jokowi.
Di bawah Jokowi kementrian dan departemen dimanfaatkan sepenuhnya sebagai alat kampanye. Anggaran-anggaran pemerintah jelang pilpres habis-habisan digunakan untuk kepentingan kampanye dan pembentukan citra pemerintahan yang populis.
Yang paling menonjol adalah Kementerian PUPR, Kementerian BUMN, Kementerian Sosial, dan Kementerian Desa dan Transmigrasi. Trilyunan rupiah dana digelontorkan untuk bantuan sosial demi mendongkrak elektabilitas Jokowi.
Kementrian Agraria mendapat tugas menyiapkan sertifikat gratis untuk warga. Secara demonstratif langsung dibagikan sendiri oleh Jokowi. Banyak status tanahnya tidak jelas dan berpotensi mengundang konflik agraria di masa depan.
BUMN-BUMN dipaksa bekerja keras menjalankan penugasan membangun infrastruktur. BUMN Karya seperti Waskita, Adhi Karya, Wika dll harus putar otak membiayai proyek infrastruktur. Mereka mempertaruhkan asetnya dan berutang pada bank.
Akibat monopoli proyek infrastruktur oleh BUMN, puluhan ribu kontraktor swasta gulung tikar. Gapensi mencatat dari 70-80 ribu anggotanya, kini tinggal 35 ribu kontraktor. Tinggal hitung berapa banyak pengangguran baru tercipta.
BUMN seperti Pertamina dipaksa menanggung beban satu harga dan menahan laju kenaikan BUMN demi citra yang populis.
Dana-dana CSR BUMN dikuras habis untuk mengelola dukungan dari ormas dan kelompok-kelompok masyarakat. Ada kabar dana CSR sejumlah BUMN tahun 2019 ditarik ke depan dan harus habis sebelum bulan April, saat pilpres berlangsung.
Di masa Jokowi ketahanan pangan juga hanya menjadi mimpi. Janjinya pada Pilpres 2014 membuat swasembada, dan menghapus impor pangan, tinggal janji. Hampir semua kebutuhan pokok diimpor. Beras, jagung, bawang, gula, daging sampai garam, semua diimpor. Setidaknya ada 29 daftar impor pangan Indonesia. Tak salah muncul julukan Indonesia sebagai negara surganya impor.
Merit system terutama di lingkungan TNI dan Polri tidak berjalan dengan baik. Penunjukkan seorang pejabat tidak didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar.
Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengangkatan Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai KSAD, dan Mayjen Maruli Simanjuntak sebagai Komandan Paspampres.
Dua perwira ini mendapat jalur cepat kenaikan pangkat dan jabatan, mendahului teman satu angkatan dan melewati para seniornya yang nota bene punya catatan prestasi lebih baik.
Andika andalah menantu Hendropriyono dan Maruli adalah menantu Luhut Panjaitan. Dua pensiunan jenderal ini dikenal sebagai orang dekat Jokowi. Luhut bahkan merupakan tangan kanannya.
Sebelumnya pengangkatan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai KSAU dan kemudian menjadi Panglima TNI juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan internal TNI. Hadi kenal dekat dengan Jokowi ketika dia menjadi Dan Lanud Surakarta, saat Jokowi menjadi Walikota Solo.
Di kepolisian Jokowi juga mengangkat Tito Karnavian sebagai Kapolri melompati empat angkatan di atasnya. Jokowi harus bekerja keras mencari posisi lain bagi para senior Tito agar dia bisa mengkosolidasikan komando di tangannya.
Dampak dari lompat angkatan ini selain menimbulkan ketidakpuasan di lingkungan internal, juga acakadutnya jenjang karir para perwira.
Prabowo-Sandi harus bekerja keras menata kembali jenjang karir dan sumber daya di lingkungan TNI serta mengembalikan mereka sebagai prajurit yang profesional. Prajurit TNI harus dijauhkan dari godaan untuk kembali ke dunia politik praktis dan power game.
Penegakan hukum. Hal ini juga menjadi masalah besar yang harus ditata ulang. Kejaksaan Agung di masa Jokowi diserahkan kepada kader parpol pendukungnya. Lembaga ini ditengarai oleh para pengamat, termasuk para pengamat asing seperti Tom Power dari Australian National University (ANU) sebagai alat menyandera lawan politiknya.
Polisi juga kerap dituding sebagai alat kekuasaan yang tebang pilih. Situasi ini menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan para perwira yang profesional, dan juga memperburuk citra polisi di tengah masyarakat.
Kebebasan media memasuki tahap yang sangat menyedihkan pada masa Jokowi. Para pemilik konglomerasi media menjadi pendukung atau bergabung menjadi timses Jokowi. Sementara yang lain dikooptasi dengan berbagai cara.
Prabowo-Sandi harus mengembalikan posisi media sebagai anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Dia harus menggonggong kepada siapapun yang mengancam kebebasan dan demokrasi, terlebih jika itu dilakukan oleh penguasa.
Media harus dikembalikan jati dirinya sebagai pilar keempat (the fourth estate) demokrasi. Media adalah kontrol pemerintah. Bukan alat pemerintah untuk menekan oposisi.
Kebebasan dan mimbar akademis di kampus-kampus juga harus dikembalikan. Banyak muncul keluhan kampus, khususnya para pimpinan perguruan tinggi menjadi alat menekan suara kritis dari kalangan civitas akademika.
Pekerjaan rumah (PR) yang menggunung itu akan menjadi agenda besar yang harus diselesaikan Prabowo-Sandi bila mereka terpilih. Masih banyak agenda-agenda besar lain yang harus dikerjakan.
Kerusakan yang dibuat oleh Jokowi sangat luas dan sistemik. Perlu kerja keras bersama, ketulusan, dan menempatkan kepentingan semua anak bangsa diatas kepentingan golongan, kelompok, maupun afiliasi politik.
Prabowo-Sandi tidak boleh mengulang kesalahan yang dilakukan Jokowi. Jangan sampai pilpres hanya menjadi ajang ritual kesalahan berjamaah dalam memilih seorang pemimpin. Kesalahan yang berulang akan memunculkan pertanyaan besar tentang arah dan masa depan demokrasi yang sedang kita bangun.
Bangsa Indonesia harus kembali menjadi satu, bersatu padu, satu rasa, satu hati menghadapi problem besar pasca Jokowi. Sudah waktunya kita bersiap menghadapi masa depan yang lebih baik.
Penulis: Hersubeno Arief