MEMBRANDING KANDIDAT PRESIDEN
(Strategic Communication Advisor di Holistic Reputation Advisory)
Epik! Aksi spontan Prabowo berjoget di panggung debat pilpres 17 Januari lalu. Publik terkaget-kaget melihat Prabowo berjoget seperti itu, begitu natural dan apa adanya, lalu Sandi secara spontan menghampiri dan memijit punggung Prabowo dengan gaya kocaknya.
Melihat adegan itu, persepsi publik terhadap sosok Prabowo seketika luruh. Selama ini lawan politik Prabowo membingkai label negatif terhadapnya sebagai sosok yang pemarah, emosional dan galak. Adegan spontan di panggung debat pilpres malam itu seketika mematahkan stigma tersebut.
Coba Anda perhatikan senyuman Prabowo, mimik mukanya yang lucu, dan gesturnya saat berjoget. Rasanya jauh dari kesan pemarah dan galak. Yang terlihat adalah sosok pria yang tegas namun memiliki sense of humor yang tinggi.
Adegan spontan tanpa skenario lebih orisinal dan lebih disukai publik dibandingkan dengan adegan yang berskenario dengan setting tertentu.
Selama kampanye pilpres baik Prabowo maupun Sandi menampilkan dirinya tanpa banyak rekayasa skenario pencitraan. Citra yang dibangun menonjolkan orisinalitas identitas diri, nilai-nilai personal, dan kekuatan dirinya.
Prabowo dikenal sebagai sosok yang tegas dan nasionalis. Sementara Sandi dikenal sebagai sosok yang rendah hati, Islami dan pintar.
Kampanye pilpres 2019 ini bisa menjadi titik balik konsep pencitraan yang selama lima tahun ini dipandang negatif oleh sebagian besar publik. Pencitraan dianggap strategi manipulatif untuk mengelabui kesadaran publik. Menciptakan image palsu dan tidak orisinal serta menutup-nutupi (spinning) fakta yang sebenarnya.
Selama lima tahun ini publik disuguhi begitu banyak skenario pencitraan yang dilakukan oleh Jokowi. Baik pada masa pilpres 2014 lalu, saat menjabat sebagai presiden hingga di pilpres 2019 ini. Skenario pencitraan Jokowi sudah hyper reality, antara image dan realitasnya bisa sangat jauh berbeda.
Strategi pencitraan seperti itu memanipulasi kesadaran publik atau dengan kata lain menciptakan kesadaran palsu. Efek dari kesadaran palsu menjadikan daya kritis publik lemah.
Dalam mempengaruhi kesadaran publik, pencitraan bekerja secara terselubung melalui konstruksi pesan yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga publik terpengaruh tanpa mereka menyadarinya.
Maka tidak mengherankan kalau sebagian publik pendukung Jokowi yang mendapat julukan ‘cebong’ sudah kehilangan daya kritisnya, menolak fakta dan realitas sosial. Seringkali emosi mereka meluap manakala dihadapkan dengan fakta yang benar. Tidak jarang mereka bereaksi negatif dan emosional. Pujian bagi Jokowi adalah suatu keniscayaan bagi mereka.
Berbanding terbalik dengan strategi pencitraan Prabowo Sandi, dalam setiap kampanye keduanya selalu berangkat dari fakta sosial. Bila strategi pencitraan Jokowi adalah dengan memanipulasi persepsi publik. Sebaliknya Prabowo Sandi justru membangun kesadaran publik melalui pesan-pesan konstruktif berangkat dari fakta di lapangan.
Ada pandangan kritis bahwa kampanye Jokowi Ma’ruf membangun optimisme dan sebaliknya kampanye Prabowo Sandi membangun pesimisme. Pesan optimisme tanpa tindakan dan hasil nyata pada akhirnya hanya sebatas retorika. Ini akan menjadi bumerang bagi Jokowi karena posisinya sebagai petahana yang sudah memiliki pengalaman hampir lima tahun.
Pesan-pesan kampanye Jokowi idealnya berfokus pada reputasi kinerjanya. Akan tetapi karena reputasi kinerja buruk, maka pesan optimisme itu hanya sekedar janji-janji indah.
Sementara pesan-pesan kampanye Prabowo Sandi berupaya membangun kesadaran publik dengan mengungkap fakta sosial. Tujuannya adalah agar masyarakat paham akan situasi dan kondisi negara yang sesungguhnya. Fakta-fakta sosial tersebut selama lima tahun pemerintahan Jokowi banyak ditutupi.
Pesan-pesan kampanye Prabowo Sandi membangkitkan harapan dan memotivasi masyarakat untuk bergerak dan berpartisipasi aktif (untuk perubahan).
Kesadaran publik yang tinggi akan membangkitkan motivasi, seiring dengan itu harapan akan kehidupan rakyat dan kondisi negara yang lebih baik akan muncul. Ini yang disebut optimisme yang sebenarnya.
Mari kita bayangkan, ketika paslon Prabowo Sandi diberi mandat untuk memimpin negara ini. Harmonisasi antara rakyat dan pemerintah akan terbangun kembali. Rakyat dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan publik.
Pola hubungan yang seperti itu akan sangat efektif, kebijakan lebih mudah disosialisasikan karena publik sudah memiliki kesadaran yang tinggi dan dalam posisi aktif. Efeknya secara signifikan akan mendorong percepatan pembangunan atau perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan oleh pemerintaan yang baru.***
Sumber: Kanigoro