Memahami Langkah "Zig Zag" Erdogan
Oleh: Anis Matta
Turki akan melaksanakan Pilkada serentak yang pertama dalam Sistem Presidensial bulan Maret yang akan datang. Tapi survei-survei terakhir menunjukkan bahwa popularitas AKP justru jeblok ke angka 32%-35% dan kalah di Ankara.
AKP akan memasuki pilkada nanti dengan 2 beban berat:
1) efek penangkapan besar-besaran yang dilakukan Erdogan setelah kudeta gagal 2016 lalu.. Ini menguatkan kesan Erdogan sebagai sultan diktator.
2) krisis ekonomi tahun 2018 lalu yang meruntuhkan nilai Lira dan menyebabkan bangkrutnya ratusan perusahaan besar Turki.
Bagi Erdogan pilkada selalu merupakan cermin elektabikitas dirinya sendiri.. Karena itu fokusnya selalu tajam ke isu ini.
Masih ada harapan memang, sebab angka undecided voter masih di kisaran 30%.. Waktu juga masih ada 2 bulan.. Tapi juga terlalu banyak pihak luar yang menginginkan eksperimen Islam Politik di Turki ini gagal, intervensi mereka terlalu kelihatan, termasuk dalam peristiwa kudeta yang lalu.
Ukuran ekonomi Turki USD 1 T masih terlalu kecil untuk menjadi pemain regional apalagi global.. Karena itu ekonominya mudah diserang.. Tapi perubahan geopolitik memaksanya untuk memainkan peran itu untuk survive.. Turki mengalami kondisi ‘peregangan yang berlebihan’ (overstretched).
Setelah kudeta gagal 2016.. semua langkah pengamanan yang di lakukan Erdogan memang harus dilakukan.. pasti ada kerugian dari sisi citra.. tapi dalam situasi Turki keamanan harus jadi prioritas.
Hasilnya Erdogan menang mudah dalam pilpres 2018 lalu.
Krisis ekonomi justru datang setelah Erdogan menang Pilpres.. Sebagian dari krisis itu adalah serangan tapi sebagian yang lainnya memang merupakan efek dari krisis global.. Fakta bahwa pilpres dilaksanakan sebelum krisis datang adalah antisipasi yang sangat cerdas.
Imbas dari krisis ekonomi baru terasa sekarang pada elektabitas AKP menjelang pilkada serentak 2 bulan mendatang.
Turki adalah negara demokrasi yang berada dalam lingkaran cincin api.. Pusaran konflik geopolitik yang melibatkan semua superpower global di samping pemain regional.
Pemilunya diintervensi dari segala penjuru.. Dengan ukuran ekonomi, teknologi dan militer yang tidak memadai untuk menjadi pemain global maka bertahan dan bertumbuh disitu pantas jadi objek pembelajaran politik bagi kita semua.
Salah satu implikasi dari ‘peran besar dengan kapasitas kecil’ bagi Erdogan adalah kejelian dalam membangun aliansi regional dan global.. Karena lingkungan geopolitiknya penuh dengan kontradiksi yang kompleks.
Ide ‘zero enemy’ yang dulu dijadikan pijakan kebijakan luar negeri oleh PM Ahmet Davutoglu diawal kekuasaan AKP tiba-tiba tidak relevan setelah Arab Spring yang salah satu residunya adalah perang Syria.
Bersama negera-negara Sunni lainnya, seperti Saudi dan Qatar, Turki ikut membantu oposisi untuk menumbangkan Basyar Asad menyusul tumbangnya para diktator Timteng seperti Mubarak di Mesir, Qaddafi di Libya dan Ben Ali di Tunis.
Dengan hanya dukungan Syiah Iran, seharusnya Asad tumbang dalam waktu cepat.. Tapi cerita jadi lain begitu Rusia ikut membantu Asad.. Hasilnya Asad tetap bertahan melewati perang brutal yang sekarang berumur 9 tahun.
Cerita perang Sunni Syiah di Syria seketika berubah jadi permainan para superpower.. Karena disana juga ada pasukan AS dan sekutu dengan agenda yg berbeda.
Sementara itu Saudi dan Emirat mendukung gerakan Anti Arab Spring.. Hasilnya adalah kudeta Sisi di Mesir, kemenangan Sibsi di Tunis melawan partai Nahdha Rasyid Ganoushi dan Haftar yang memimpin perang saudara Libya melawan pemerintahan demokrasi yang resmi.
Gerakan kontra Arab Spring bahkan berlanjut dengan upaya menggoyang Erdogan di Turki.. Puncaknya adalah kudeta gagal tahun 2016 lalu.
Kudeta itu mengubah persepsi Erdogan tentang AS sebagai sekutunya karena operator kudetanya adalah Gulen yang sekarang ada di AS.. Jadi siapa kawan Turki sekarang??
Turki percaya bahwa AS ikut mendalangi kudeta gagal itu dan juga ikut membantu gerakan separatis Kurdi.
Sementara itu Turki juga harus memikul beban jutaan pengungsi Syria yang memasuki wilayahnya.. Karena akhirnya itu adalah masalah kemanusiaan.
Itulah semua kontradiksinya dan kompleksitasnya.. Erdogan harus survive dan terus bertumbuh di tengah tantangan itu.
Sekarng kita bisa memahami mengapa akhirnya Erdogan harus melakukan langkah zigzag dalam aliansi regional dan globalnya.. Ia membangun aliansi segitiga Turki-Iran-Rusia.. Negara Sunni dan NATO berkoalisi dengan Syiah Iran dan Rusia yang selama ini merupakan musuh NATO.
Mari kita berdoa agar eksperimen Islam Politik ini tidak gagal di tengah jalan..
— Recep Tayyip Erdoğan (@RT_Erdogan) 30 Januari 2019
(dihimpun redaksi portal-islam.id dari twit @anismatta 28-30 Januari 2019)