Kampanye Hitam? Emang Gue Pikirin



[PORTAL-ISLAM.ID]  Dalam dunia politik waktu satu menit sangat berarti dalam mencari pengaruh. Karena itu setiap kontestan peserta pemilu harus benar-benar memanfaatkan waktunya mengatur strategi untuk merebut suara lawan politiknya. Menuju Pemilu Presiden 2019 yang tinggal dua bulan lagi, kedua kubu sudah tak henti-hentinya saling menyerang untuk menjegal satu sama lain. Salah satu alat serang yang dipakai kedua belah pihak adalah “data” (berita atau informasi), karena dunia politik pada dasarnya adalah pertarungan data-data dalam merebut pengaruh.

Sudah menjadi hukum pemilu, setiap pemilihan presiden publik selalu dilanda bencana banjir data. Dikatakan bencana karena dalam dunia politik ada dua data yang akan muncul ke permukaan saling beradu hingga mengalir masuk sampai ke ruang dapur setiap rumah tangga pemilih, yaitu data “faktual” yang mengungkap kebenaran, dan data “fiktif” yang memanipulasi kebenaran. Jenis data fiktif inilah biasa disebut “kampanye hitam”. Jenis kampanye yang menyerang lawan politik menggunakan data-data fiktif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga menjadi fitnah.

Beberapa hari terakhir ini, cuaca menuju Pemilihan Presiden 2019 semakin memanas dengan munculnya kembali kampanye hitam yang saling mediskreditkan satu sama lain. Ini berawal dari munculnya tabloid “Indonesia Barokah” yang mengulas berita-berita miring menyerang kubu pasangan 02 (Prabowo-Sandi). Tabloid yang tidak jelas alamat kantor redaksi dan penanggungjawabnya ini sudah sempat tersebar ke beberapa daerah yang bertujuan mendiskreditkan pasangan 02 di tengah masyarakat. Selang tiga hari kemudian muncul juga selebaran “Say No Jokowi” yang menyerang pasangan 01 (Jokowi-Ma’ruf) yang tidak jelas juga pembuat dan penanggungjawabnya.

Sebenarnya setiap pemilihan presiden di negara demokrasi manapun di dunia selalu diwarnai dengan munculnya kampanye hitam. Hasilnya memang berpengaruh dalam merubah persepsi sebagian publik terhadap kandidat yang bertarung memperebutkan jabatan presiden.

Persoalannya kemudian, kalau data fiktif (kampanye hitam) menjadi pemenang menenggelamkan data faktual, itu berarti bencana bagi demokrasi. Karena rakyat telah digiring mengambil suatu keputusan politik berdasarkan data-data yang salah (dimanipulasi kebenarannya).

Lalu sejauh mana pengaruh kampanye hitam dalam Pemilu Presiden 2019? Kampanye hitam pada dasarnya menyasar “Swing Voter” (pemilih yang belum menentukan pilihan) yang jumlahnya dalam kisaran 25%. Jumlah 25% Itu pun diperkirakan sudah memiliki referensi ke kubu mana akan berlabuh, walau belum menentukan sikap.

Karena itu, dengan mencermati kerakteristik pemilih sekarang yang sudah terpolarisasi menjadi dua kubu sejak Pemilukada DKI Jakarta 2017 lalu, maka kampanye hitam sudah tidak efektif lagi mempengaruhi pemilih yang belum menentukan sikap, terlebih rakyat sekarang rata-rata sudah mampu memilih dan memilah mana berita benar dan berita yang cenderung fitnah.

Pendukung atau simpatisan 01 tidak akan lagi terpengaruh dengan berita apa pun menyangkut kekurangan pasangan Jokowi-Ma’ruf. Begitu pula sebaliknya pendukung dan simpatisan 02 tidak akan berubah lagi pilihannya dengan berita apa pun yang berkaitan kekurangan Prabowo-Sandi.

Jadi kampanye hitam yang sekarang lagi disebar entah pendukung kubu siapa yang menyebarkan, tidak akan berpengaruh lagi secara signifikan di tengah pemilih yang sudah terpolarisasi sangat tajam menjadi dua kubu. Artinya pemilih yang 13% masih ragu-ragu itu hampir bisa dipastikan sudah terkontaminasi juga sikap fanatisme pendukung kubu 01 dan kubu 02. Sehingga dalam menanggapi kampanye hitam yang diprediksi semakin menjadi-jadi dua bulan ke depan, pendukung kedua kubu masing-masing akan mengatakan “emang gue pikirin”. Sekali 01 tetap 01, sekali 02 tetap 02, sekalipun badai tidak akan mampu menggeser dari Prabowo-Sandi.

Penulis: Ruslan Ismail Mage
Baca juga :