[PORTAL-ISLAM.ID] Pada tahun 2012, PDIP melalui Hasto Kristiyanto, kala itu Wakil Sekjend DPP, menyampaikan kritik keras kepada Presiden SBY terkait kebijakan soal Bansos. PDIP menuding SBY dan Partai Demokrat melakukan kecurangan Pemilu 2009 karena memobilisasi dana Bansos yang sangat besar nilainya untuk tujuan mendongkrak elektabilitas SBY sehingga terpilih kembali pada Pilpres 2009.
"Dari kajian yang kami lakukan, termasuk didukung oleh kajian dari Marco Semester, menunjukkan bahwa dalam pemenangan pemilu 2009, SBY telah menggunakan model-model yang pada prinsipnya seperti model Thaksin (Mantan PM Thailand, Thaksin Shinawatra)”, demikian kata Hasto (inilah.com, Jumat, 22 Juni 2012).
“Total dana bansos yang dikucurkan SBY pada Pemilu 2009 mencapai hampir Rp. 30 triliun yang digunakan untuk meningkatkan popularitas SBY dan Partai Demokrat. Metode Thaksin itu digunakan, diantaranya menggelontorkan dana-dana yang populis, dan juga untuk perbaikan infrastruktur di kecamatan. Jumlahnya hampir Rp18 triliun. Lalu digunakan untuk pemberian raskin (beras untuk rakyat miskin), sehingga dalam waktu enam bulan, popularitas SBY langsung naik berkali-kali lipat”, demikian kritik keras DPP PDIP yang dimuat di sejumlah media nasional saat itu.
Jika kita berpedoman kepada pandangan DPP PDIP tahun 2012 yang disampaikan oleh Hasto Kristiyanto tersebut, maka dapat dikatakan Pemilu 2019 telah dimulai dengan sebuah kecurangan yang sistematis dan terorganisir. Model Thaksin kembali digunakan untuk menyogok rakyat. Model Thaksin yang dimodifikasi oleh SBY dan kemudian dimodifikasi kembali oleh Jokowi dijalankan kembali untuk tujuan men-top up elektabilitas pasangan petahana, Joko-Maruf.
Mari kita perhatikan fakta berikut. Pertama, Menteri Sosial Idrus Marham, saat ini telah dipenjara, mengatakan setelah kebijakan menaikan dana Bansos sebesar 100 persen, Idrus secara terang terangan meminta rakyat untuk kembali memilih Jokowi pada pemilu 2019. Idrus berharap elektabilitas Jokowi bisa meningkat dan terpilih kembali setelah pembagian dana Bansos tersebut (Kompas, Jumat, 17 Agustus 2018).
Kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan penyerahan Program Keluarga Harapan (PKH) di tahun 2019 dimajukan periodenya.
"Pada tahun 2019 jadwal penyaluran bantuan yang semula Februari, Mei, Agustus dan November menjadi Januari, April, Juli dan Oktober," kata Presiden dalam acara Sosialisasi Bansos Program PKH di Gelanggang Remaja, Jakarta Timur, (kontan.co.id, Senin, 03 Desember 2018).
Dimajukannya periode pembagian dana Bansos yang semula dijadwalkan pada bulan Februari dan Mei 2019 menjadi bulan Januari dan April 2019 sangat terkait erat dengan politik men top up elektabilitas Jokowi yang sedang mengkrak. Sebagaimana kita ketahui, bulan Januari dan April 2019 adalah bulan politik, bulan kampanye sebagai salah satu tahap pemilu.
Dengan dimajukan jadwal pembagian dana Bansos tersebut, maka Joko Widodo sebagai calon petahana mempunyai dua kali momentum politik untuk “menyuap” rakyat menggunakan dana APBN, tentu sebelum jadwal pencoblosan 17 April 2019.
Jika melandaskan pada pandangan DPP PDIP bahwa terdapat korelasi yang kuat antara dana Bansos dengan meningkatnya elektabilitas Capres petahana, maka keyakinan TKN Joko-Maruf untuk memenangkan Pemilu 2019 adalah sebuah pandangan yang sangat masuk akal.
Sebagaimana yang terjadi di era SBY yang dikritik oleh PDIP di atas, diduga kuat penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga disesuaikan dengan penerima kebijakan karitatif, seperti dana Bansos, penerima sertifikat tanah, dll.
Jika kebijakan pembagian dana Bansos dan berbagai kebijakan karitatif lainnya tidak dihentikan di bulan kampanye, Januari dan April 2019, maka tahapan Pemilu 2019 telah dinodai dengan sebuah kecurangan memanipulasi dan menyalahgunakan kekuasaan untuk memenangkan Capres Petahana.
(berlanjut, "katanya angka kemiskinan menurun, kenapa dana Bansos meningkat di tahun politik").
Penulis: Haris Rusly Moti