"JANGAN MENGAMBIL KEUNTUNGAN DARI JABATAN"
PESAN IBU MIEN UNO KEPADA SANDI
Hari Minggu pagi, 27 Januari 2019, saya berkesempatan bertemu Ibu Mien Uno, Mamanya Bang Sandiaga Uno. Ceritanya, setelah mengikuti deklarasi dukungan APTSI (Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia) kepada Prabowo - Sandi, saya gak langsung pulang ke Cilegon. Sengaja menginap di Jakarta karena kebetulan bersamaan dengan jadwal tahajjud berjamaah di masjid At Taqwa, Jl. Sriwijaya, yang letaknya di depan rumah keluarga Bapak Razief Uno.
Di masjid itu sejak akhir September 2018 lalu diadakan tahajjud berjamaah setiap 2 pekan sekali, dilanjut dengan Subuh berjamaah dan kajian ba'da Subuh.
Kemarin, saya lihat jamaahnya makin banyak, jauh lebih banyak ketimbang ketika pertama kali digelar akhir September lalu. Padahal Jakarta diguyur hujan cukup lebat pada Sabtu lewat tengah malam hingga menjelang Subuh.
Seusai kajian Subuh, jamaah dijamu bubur ayam dan minuman hangat. Setelah itu diberi kesempatan bersilaturahmi dengan Ibu Mien Uno, meski sekedar bersalaman dan foto selfie. Karena banyaknya jamaah, maka diatur sekali masuk rumah hanya 5 orang. Saya dan sahabat saya Bunda Maya Amhar sengaja menunggu sepi, kami mau masuk belakangan saja setelah semua selesai selfie.
Sebenarnya asisten Bu Mien sudah bilang waktunya singkat, karena Bu Mien akan ada acara ke Bogor.
Tapi kami nekad, bu Maya yang memang sudah sejak lama kenal baik dengan Bu Mien, memperkenalkan saya dan meminta waktu Bu Mien untuk sekedar wawancara.
Waktunya hanya 5 menit, kata asisten Bu Mien.
Oke, baiklah! Saya berusaha memaksimalkan 5 menit itu dengan pertanyaan singkat dan tidak konyol.
Pertanyaan pertama saya: Bagaimana bisa Ibu Mien mengijinkan Bang Sandi terjun total ke dunia politik praktis sampai menjadi cawapres mendampingi Pak Prabowo. Padahal pernah saya dengar, awalnya Bu Mien tidak setuju putranya terjun ke dunia politik. Karena di keluarga besar mereka semua menempuh jalur jadi karyawan profesional atau di dunia pendidikan.
Jawaban Bu Mien: Bang Sandi berhasil meyakinkan dirinya, memberikan penjelasan yang membuat Bu Mien akhirnya mengijinkan.
Bang Sandi mengajak Mama nya ke sebuah jembatan di salah satu sudut Jakarta, dari sana bisa melihat rumah-rumah kumuh tempat warga kurang beruntung hidup berdesakan dengan kondisi seadanya, mereka tak bisa menikmati hidup, sementara tak jauh dari tempat itu ada mall-mall besar, gedung-gedung bertingkat. Bang Sandi menunjukkan kesenjangan itu pada Ibunya.
Bu Mien menanggapi Sandi: "Tapi kamu kan sudah mempunyai 30.000 karyawan. Apa itu belum cukup?"
Maksud Bu Mien, dengan mempekerjakan 30 ribu orang, setidaknya Bang Sandi sudah membantu menyediakan lapangan kerja bagi 30 ribu orang, membuat mereka berpenghasilan dan mampu menghidupi keluarganya.
Tapi jawab Bang Sandi: "Gak cukup, Mama. Kalau mau meluas dampaknya, harus melalui kebijakan. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan di daerah sampai ke pusat."
Dari sana Bang Sandi meyakinkan Ibunya bahwa jika ingin berkontribusi bagi rakyat banyak, dia harus terjun langsung dalam pemerintahan.
Pada akhirnya Bu Mien mengijinkan Bang Sandi, tapi dengan syarat: Sandi harus benar-benar "mampu" dulu, harus sudah "cukup" dengan bisnisnya. Syarat yang diajukan Bu Mien : "JANGAN SAMPAI ADA CONFLICT OF INTEREST ANTARA BISNIS PRIBADI DENGAN JABATAN!"
Bang Sandi tidak boleh punya konflik kepentingan antara misi bisnisnya dengan kebijakan yang harus diambil.
"JANGAN MENGAMBIL KEUNTUNGAN UNTUK BISNIS DARI JABATANMU!", itu pesan Bu Mien pada putra kesayangannya.
Mendengar penjelasan Bu Mien, saya jadi paham kenapa Bang Sandi begitu legowo melepas sejumlah jabatan di perusahaan-perusahaan miliknya sendiri, pada tahun 2015 ketika dia mulai masuk politik praktis dengan bergabung dalam Partai Gerindra.
Sungguh tindakan yang langka, dimana umumnya seorang pebisnis yang mulai sukses dengan bisnisnya lalu memasuki dunia politik untuk lebih membesarkan lagi jaringan bisnisnya.
Yang dilakukan Sandiaga Uno sebaliknya: sudah besar sebagai pebisnis, lalu melepas jabatan di perusahaan-perusahaannya, hanya untuk menjadi politisi.
"Itu makanya gaji dan semua tunjangan dia selama jadi Wakil Gubernur gak pernah dia ambil, disedekahkan kepada yang membutuhkan," kata Bu Mien.
"Sebab harta, kekayaan, itu semua kan hanya titipan, nanti gak akan dibawa. Jadi kita harus mengembalikannya," lanjut Bu Mien.
Saya kembali mengangguk-angguk sambil berkata dalam hati "pantesaan... Bang Sandi enteng saja melepas ribuan sahamnya di perusahaan miliknya, hanya demi membiayai kampanyenya bersama Pak Prabowo. Dia ikhlas membiayai perjuangan ini, melepas semua yang diperolehnya selama bertahun-tahun dari hasil keringatnya sendiri, dan tidak ingin bergantung pada sponsor untuk pilpres".
Beberapa hari belakangan ini ada video yang viral, dalam video itu tampak Bang Sandi dan sejumlah orang yang mendampinginya berkampanye, sedang makan di suatu tempat. Bang Sandi mengambil piring, mengambil nasi dari bakul, lalu menyerahkan pada orang lain di meja itu. Begitu terus, satu demi satu, sampai semua orang di meja itu kebagian. Bang Sandi "MELAYANI" mereka, bukan mereka yang melayani Bang Sandi sebagai tamu dan cawapres.
Saya menanyakan soal ini pada Bu Mien. Sungguh perilaku penuh etika yang jarang dimiliki oleh seseorang yang sejak kecil terlahir dan dibesarkan dari keluarga berkecukupan.
Kata Bu Mien, sejak Sandi kecil dulu, keluarga Bu Mien biasa mengajak makan orang lain, tanpa melihat latar belakang sosialnya. Mereka diajak makan bareng di meja makan. Umumnya orang-orang itu sungkan, tidak percaya diri. Dan karena itu tuan rumah yang harus mengambilkan. Sandi sudah dibiasakan untuk melayani orang lain. Mengambilkan makanan untuk orang lain dulu, agar orang tersebut tidak lagi sungkan dan minder.
Bu Mien menegaskan, Sandi sejak dulu apa adanya, dia tidak pernah dibuat-buat dalam bertingkah. Dia tidak bisa diatur-atur, karena dia sangat cerdas, IQ nya cukup tinggi.
Memang benar, selama ini Sandi tampil GENUINE, apa adanya, tidak dibuat-buat, guyonannya segar, orisinil, semisal meletakkan pete di kepala, atau mengambil tempe dan berlagak menelpon dengan batangan tempe. Idenya orisinil, spontan, itu sebabnya bisa membuat orang sekitarnya ngakak seketika.
Kombinasi yang pas dengan Pak Prabowo yang juga genuine. Itu sebabnya "duet" ini bisa mencairkan suasana dalam kondisi tegang sekalipun, seperti ketika Debat Capres perdana 2 pekan lalu.
Sandi dan Prabowo sama-sama orang yang tidak suka pencitraan.
Di kesempatan itu saya juga mencoba mengkonfirmasi cerita masa kecil Bang Sandi yang menunggui Ibunya sakit.
Bu Mien membenarkan, saat itu Papanya Bang Sandi sedang dinas di luar kota. Kakaknya pun sedang tidak ada di rumah. Mendadak Bu Mien sakit sampai pingsan. Sandi kecillah yang membawa Mamanya ke rumah sakit dan terus menunggui sampai Bu Mien terbangun. Rupanya jiwa penuh tanggung jawab itu sudah ada dalam diri Sandi sejak kecil.
Sebagai penutup saya mendoakan Pak Prabowo dan Bang Sandi sukses dan memenangkan Pilpres kali ini. Bu Mien mengaminkan dan meminta kami semua ikut berjuang bersama.
"Saya ini sediiih...kalo dengar ada orang yang dipersekusi segala," kata Bu Mien. Suaranya bergetar kala mengucapkan kalimat itu. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis.
Insyaa Allah Bu Mien, kami semua, emak-emak yang masih menjaga kewarasan untuk tidak tertipu pada gimmick-gimmick politis, akan berjibaku sampai 17 April nanti, bahkan sesudahnya, untuk MEMASTIKAN KEMENANGAN BAGI PRABOWO - SANDI, INSYAA ALLAH #INDONESIAMENANG pada 17 April 2019 nanti, hari kemenangan AKAL SEHAT!
Aaamiiin...
Semoga perbincangan singkat dengan Bu Mien bisa menginspirasi emak-emak Indonesia lainnya dalam mendidik putra-putri mereka agar menjadi anak yang tumbuh besar dengan nilai-nilai moral, etika, kesantunan dan tanggung jawab yang akan terus dipegang teguh hingga dewasa bahkan ketika sudah jadi orang sukses dan superkaya sekalipun. Tetap humble, membumi, dan tidak arogan.
#2019PrabowoSandi
(Iramawati Oemar)
[Video - Cuplikan bincang-bincang Iramawati Oemar bersama Mien Uno]