[PORTAL-ISLAM.ID] Politik Indonesia semakin lama tampak semakin ditentukan oleh Islamisme. Kecenderungan itu menguat sejak aksi-aksi Bela Islam pada 2016 yang turut mengkondisikan pemidanaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), wakil gubernur DKI Jakarta yang juga calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Pada Pilkada 2017, beberapa calon kepala daerah menggamit pasangan dengan unsur identitas keislamanan yang menonjol. Termasuk Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin, yang maju bersama Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden.
Sejauh mana Islam-politik akan mempengaruhi Indonesia? Untuk menjawab hal itu, Tirto mewawancarai Greg Fealy, sarjana dalam bidang politik Islam di Indonesia dari Australian National University (ANU), di sela kesibukannya sebagai convenor konferensi Indonesia Update 2018 yang diselenggarakan ANU pada 15-16 September 2018.
Berikut wawancaranya:
Saya akan mulai dengan pemerintahan Jokowi. Pada bagian mana menurut Anda perlakuan Jokowi berbeda dengan perlakuan dari pemerintahan SBY atau Megawati?
Menurut saya, satu hal yang Jokowi lakukan dan buruk bagi demokrasi Indonesia adalah ia menggunakan negara untuk melarang dan menindas oposisi Islam. Misalnya, pembubaran HTI. Saya pikir, pembubaran itu adalah langkah politis. HTI selama bertahun-tahun masih bersikap sama, sudah lama terkenal soal sikapnya terhadap khilafah, Pancasila, dan sebagainya. Terutama di tingkat nasional, tidak ada perubahan sikap kepemimpinan HTI tentang Indonesia, tentang UUD 1945, dan sebagainya. Jadi, saya kira ini direkayasa. Ada mobilisasi dari NU untuk melawan HTI untuk memberikan dalih kepada pemerintah guna menindak tegas HTI.
Menurut saya, hal ini bertentangan dengan hak untuk berserikat dan berkumpul. Apakah HTI betul-betul melanggar hukum? Menurut saya, itu belum jelas. Pemerintah menggunakan HTI untuk mengirim sinyal kepada organisasi-organisasi yang lebih kuat seperti FPI. HTI seperti pion, alat untuk mengirim pesan yang lebih besar.
Ini simbolis?
Ya, tepat. [Hal lain], ada kasus Habib Rizieq (kasus chat mesum -red). Habib Rizieq tidak mengumumkan teks-teks [percakapan] dia sama Firza. Jadi, siapa yang meletakkannya ke public domain, saya kira sangat mungkin pemerintah, bukan dia sendiri. Jadi, yang melanggar hukum sebenarnya pihak lain.
Menurut saya, alasan menuntut dia dengan kasus itu adalah alasan politis. Pemerintah memanipulasi informasi.
Kita juga melihat apa yang terjadi dengan #2019GantiPresiden. Semakin banyak Polda, misalnya, menolak izin rally #2019GantiPresiden. Menurut saya, hal ini menyalahgunakan kekuasaan mereka. Sebenarnya kampanye seperti itu tidak melawan prinsip demokrasi. Ada backlash yang lebih serius lagi kalau pemerintah bersikap secara sewenang-wenang.
Jika kita melihat Jokowi, Islam, dan demokrasi, ia tak membuat jejak rekam yang baik, lebih buruk dari SBY. Jokowi lebih baik dalam toleransi keberagamaan ketimbang SBY. Namun, saya kira ia lebih buruk dari SBY dalam menggunakan negara untuk menindas oposisi Islamis.
Jokowi lebih baik dalam toleransi keberagamaan?
Saya pikir SBY presiden terburuk dalam toleransi keberagamaan. Ia menggunakan undang-undang penodaan agama, mendorong MUI untuk fatwa yang sangat sektarian; anti-Syiah, anti-Ahmadiyah, dan sebagainya. Menurut saya, Jokowi lebih baik dalam toleransi keberagamaan, tapi lebih buruk: ada kemunduran demokratik, karena ia tak menghormati kebebasan berpendapat serta kebebasan untuk berkumpul dan berserikat.
Apakah ada kemungkinan Jokowi [menekan oposisi Islamis seperti] membubarkan HTI sebagai hal yang harus dilakukan oleh Jokowi untuk mempertahankan toleransi keberagamaan?
Mungkin. Tapi menurut saya Jokowi melarang HTI karena dia ingin memperingatkan gerakan 212; lebih sebagai pembalasan negara. Pembubaran HTI lebih dari sekadar untuk toleransi keberagamaan. Jokowi khawatir soal penetrasi Islamisme secara umum. Namun, menurut saya, bukanlah cara yang benar untuk mengatasinya dengan prosedur informal yang mendiskriminasi rakyat.
Saya akan mencoba melihat dari perspektif pemerintah. Banyak anggota HTI yang berstatus sebagai pegawai negeri. Dalam jangka panjang, bukankah ini akan membahayakan demokrasi [terkait doktrin HTI yang anti-demokrasi dan anti-nasionalisme]?
Saya paham karena saya juga menganggap kelompok yang intoleran, yang sektarian, betul-betul membahayakan kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, juga harus diakui bahwa dalam sistem demokrasi, akan muncul kelompok seperti itu, karena memang semakin populer dalam masyarakat.
Selain isu gerakan politik dalam umat Islam sendiri, tuntutan [hidup sesuai hukum] Islam semakin kuat. Semakin kuat bukan karena intervensi luar, tetapi karena doktrin yang lebih islami itu sekarang lebih menarik, terutama bagi kelas menengah. Mereka menganggap doktrin Islam lebih cocok dengan tantangan kehidupan mereka. Tantangan di kota besar, pekerjaan profesional, dan sebagainya. Begitu banyak perubahan dalam hidup mereka dan mereka mencari kepastian. Salah satu cara mencari kepastian adalah merengkuh versi agama yang hitam-putih, yang sangat jelas tentang apa yang boleh dan tidak, dan sebagainya.
Saya kira ini fenomena sosial yang kemudian punya dampak politik. Itu realitas di Indonesia. Kalau ingin menindas atau menghambat penyebaran itu, itu sebenarnya anti-demokratis. Mungkin Jokowi tidak setuju dengan ideologi PKS dan sebagainya, tetapi PKS adalah partai legal. PKS punya basis di masyarakat. Dia punya basis yang cukup kuat sebagai partai politik.
Seberapa besar Jokowi harus mengkhawatirkan Islamisme? Apakah Anda akan memisahkan Islamisme secara umum dengan yang terjadi pada 2016 (Aksi 212)?
Saya bisa paham mengapa Jokowi khawatir, karena dia dan orang yang di sekitarnya berpikir bahwa karakter politik Indonesia dan hukum publik Indonesia akan berubah karena pengaruh Islamisme. Akan menjadi lebih Islami, lebih banyak syariat, kurang toleran, atau kurang berkomitmen terhadap Pancasila. Saya paham mengapa ia khawatir.
Namun, jika melihat masalah ini secara netral, itulah demokrasi. Hal itu mencerminkan perasaan dari bagian masyarakat. Yang menjadi masalah saat ini adalah proporsi pengaruh kelompok-kelompok Islamis.
Tetapi, itulah yang publik mau ketika Anda bertanya kepada publik "Apakah Anda menginginkan orang Islam saleh yang menjadi presiden?" Mereka mengatakan, "Iya." Bahwa hal ini menjadi persyaratan yang penting [bagi publik].
Tapi, di sisi lain mereka juga menginginkan presiden yang bisa menjalankan pemerintahan dengan baik. Inilah demokrasi. Terkadang demokrasi mengarahkan ke orientasi yang lebih doktrinal. Kita lihat ini terjadi di Eropa, kebangkitan partai sayap kanan di Eropa. Itulah demokrasi.
Kita mungkin tidak menyukainya. Bagaimana cara menghentikan laju partai sayap kanan dalam demokrasi? Pemerintah harus mempromosikan gagasannya. Mereka harus membujuk publik bahwa Islamisme seperti itu berbahaya. Bukan menggunakan hukum untuk melawan Islamisme seperti itu, atau untuk melarangnya, atau mengkriminalisasikannya. Tetapi, dengan menggunakan argumen yang baik. Itu tantangannya.
Apakah Anda melihat itu sebagai pergerakan yang tidak bisa dihentikan?
Saya melihat risiko. Ada risiko apabila Anda memilih untuk membatasi Islamisme. Ada sebuah analogi. Islam itu seperti paku. Semakin keras Anda memukulnya, paku itu akan menancap lebih ke dalam kayu dan paku itu akan selamanya ada di sana. Usaha apa pun yang Anda lakukan malah membuatnya menancap semakin dalam dan dalam lagi.
Analogi itu berguna karena masyarakat yang didiskriminasi, orang yang dihukum secara tidak adil menggunakan itu, jika mereka berkuasa, mereka bisa balas dendam. Akan ada prasangka dalam masyarakat.
Lebih parah lagi dalam jangka panjang, kalau pemerintah memakai kebijakan yang diskriminatif. Sasaran target kebijakan itu semakin pahit, semakin ngotot melawan pemerintah, dan dengan segala macam cara. Saya kira itu juga lebih bahaya kalau memakai cara itu.
Pada dasarnya demokrasi itu seperti pasar. Ada pertukaran ide di sana. Pemerintah mestinya tidak memaksakan pendapat kepada kelompok tertentu.
Sumber: dinukil dari Tirto