[PORTAL-ISLAM.ID] Mantan komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menyebut capres Prabowo Subianto bukanlah pelaku pelanggaran HAM saat peristiwa kerusuhan pada 1998. Menurut Pigai, penyelidikan Komnas HAM menyatakan Prabowo sebagai saksi.
"Hasil penyelidikan Komnas HAM itu tidak menyatakan tegas bahwa Prabowo itu adalah pelaku dan saksi pelaku. Prabowo itu saksi, bukan pelaku dan saksi pelaku," kata Pigai di Media Center Prabowo-Sandiaga, Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (16/1/2019), seperti dilansir detikcom.
Pigai menjelaskan, sesuai dengan hukum HAM internasional dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Prabowo bukanlah pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM saat peristiwa pada 1998. Dia menyebut pihak yang bertanggung adalah commander responsibilities.
"Siapa bertanggung jawab? Commander responsibilities peristiwa '98 adalah Wiranto sesuai dengan hukum HAM internasional dan hukum HAM nasional UU 26 Tahun 2000," terang Pigai.
Pigai menuturkan kerusuhan pada 1998 merupakan peristiwa nasional. Karena itu, tanggung jawab atas peristiwa tersebut, menurutnya, ada di pundak Wiranto yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI.
"Kenapa commander responsibilities? Karena huru-hara peristiwa '98 itu bukan hanya dilokalisir pada tugas dan kewenangan satu kesatuan saja. Huru-hara peristiwa adalah huru-hara nasional. Karena itu, tanggung jawab pimpinan keamanan dan pertahanan nasional, yaitu Angkatan Bersenjata RI dan Wiranto," jelasnya.
"Wiranto patut diduga sebagai orang yang sangat bertanggung sebagai pelaku commander responsibilities. Berdasarkan UU 26 Tahun 2000. Patut diduga," imbuh Pigai.
Pigai lalu menjelaskan dasar pemecatan Prabowo sebagai prajurit TNI. Menurutnya, capres nomor urut 02 itu dipecat bukan hanya karena kerusuhan 1998.
"Karena itu penetapan terhadap Prabowo, saya ingin sampaikan salah satu penetapan terhadap Prabowo itu adalah berdasarkan pengerahan pasukan terhadap pembebasan Soeharto di Kanada," ujar Pigai.
"Jadi Prabowo itu dipecat, salah satunya dipecat karena pengerahan pasukan pembebasan Soeharto di Kanada. Jadi jangan kita lokalisir ke peristiwa '98," Pigai menambahkan.
Pigai lalu menyinggung soal sikap Prabowo yang diam terkait peristiwa 1998. Menurutnya, Prabowo diam karena menyimpan rahasia tentang peristiwa tersebut.
"Sekarang pertanyaannya kenapa Prabowo selama ini diam? Seorang jenderal menyimpan sebuah rahasia karena semua perintah itu selalu berdasarkan surat perintah tertulis, apalagi perintah jenderal tidak ada perintah lisan, seluruh itu dokumen kok, selalu, dengan visual juga ada, catatan-catatan juga ada, perintah tertulis juga ada," kata Pigai.
Menurut Pigai, pemecatan seorang jenderal itu tidak bisa hanya karena satu kasus. Karena itu, untuk membuktikan kesalahan Prabowo, berkas penyidikan Komnas HAM selalu dikembalikan oleh kejaksaan.
"Tidak semata-mata itu. Karena penetapan seorang jenderal itu harus ada tiga kesalahan tidak bisa hanya satu kesalahan. Lalu waktu peristiwa '98, Prabowo itu pengerahan pasukan, pengamanan ibu kota negara. Karena itu mengapa penyelidikan Komnas HAM selalu bolak-balik kejaksaan, dikembalikan lagi. Karena ini buktinya memang harus kuat kalau mau dilimpahkan ke pengadilan," jelasnya.
Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 itu justru mempersoalkan sikap pemerintahan Jokowi yang menurutnya tidak mengusut pelanggaran HAM saat kerusuhan 1998. Pigai menuding pemerintah saat ini tidak mengusut kasus itu karena orang-orang di pemerintahan Jokowi sekarang adalah orang-orang yang melakukan pelanggaran.
"Sebenarnya pemerintah bisa saja kan ada sarana rekonsiliasi dan perdamaian. Bisa. Tidak mesti di pengadilan, bisa. Tapi kenapa pemerintah Jokowi tidak mau? Karena yang melingkari Jokowi itu adalah mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran, berbagai pelanggaran kejahatan. Jadi yang melingkari Istana Jokowi itu mereka yang melakukan pelanggaran," tuding Pigai.