Antara H.O.S TJOKROAMINOTO dan ANIS MATTA, MELAWAN STIGMA DAN GERAKAN ARAH BARU
Siapa yang tidak mengenal sosok pahlawan bernama Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, guru dari para Founding Father negeri ini? Mungkin semua sudah mengenal siapa sosok seperti Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo hingga Hamka. Merekalah murid ideologis awal dari satu sosok hebat bernama HOS Tjokroaminoto.
Membahas sosok mengagumkan bernama HOS Tjokroaminoto mungkin tidak akan pernah habis dibahas dalam satu buku, atau dengan begitu mudah kita cari serta dapatkan pada literatur digital yang banyak disebarkan melalui laman google karena begitu fenomenalnya sosok satu ini.
Namun, kali ini pembahasan saya sedikit membahas tentang bagaimana sosok seperti HOS Tjokroaminoto harus dihadapkan tuduhan serta stigma negatif yang sempat tersematkan pada dirinya serta bagaimana Tjokoraminoto menjadi pembaharu lewat gerakan arah baru perpolitikan Islam dari sebuah gerakan Sarekat Dagang Islam (SDI) hingga menjadi Partai Sarekat Islam (SI).
Dan sebelumnya, saya minta maaf apabila kali ini pembahasan saya membawa satu sosok pembaharu politik Islam yaitu Anis Matta, menyebut serta membawa nama Anis Matta dalam pembahasan kali ini karena semata alasan kisah penitian jalan politik yang hampir sama dengan sosok seperti HOS Tjokroaminoto.
Melawan Stigma Men-Tjokro (Menyelewengkan)
Dahulu pernah ada istilah Men-tjokro sebagai pengganti kata “Menyeleweng”, kata mentjokro itu dikenalkan oleh Darsono kepanjangan tangan dari Semaun untuk menstigma negatif sosok Tjokroaminoto.
Surat kabar corong Sarekat Islam (SI) cabang Semarang atau SI Merah, Sinar Hindia, edisi 9 Oktober 1920 itu memuat tulisan Darsono. Isinya sangat menohok. Darsono menyerang Hadji Oemar Said Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin besar Centraal Sarekat Islam (CSI). Tak tanggung-tanggung, Tjokroaminoto dituding telah memperkaya diri sendiri alias korupsi dan disebut tidak layak memimpin rakyat.
Rangkaian tulisan Darsono adalah bertujuan menyerang sosok Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo (wakil sekretaris) karena menyelewengkan uang CSI untuk kepentingan sendiri.
Darsono menulis “karena kas CSI kosong, Tjokroaminoto meminjamkan uang 2.000 gulden untuk kas itu, tapi dengan jaminan mobil, yang sebenarnya dibeli oleh bendahara CSI untuk dipakai oleh ketua CSI. Baik bendahara maupun ketua CSI itu adalah Tjokroaminoto sendiri. Ketua CSI itu mampu pula membeli mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istrinya yang kedua. Demikian juga halnya dengan Brotosoehardjo, yang sering menggunakan uang kas CSI untuk keperluan sendiri.”
Menurut Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia, sangatlah beralasan untuk menganggap tuduhan Darsono tersebut benar, karena kas CSI ternyata hampir kosong. Meskipun demikian, McVey mengakui, “tanggungjawab keuangan bukanlah kelebihan kepemimpinan SI dan pihak komunis pun tidak terbebas dari kelemahan keuangan semacam itu.”
Dalam tulisanya terakhir, Darsono bertanya, “mengapa kas CSI hampir kosong tapi Tjokroaminoto banyak uang. Rakyat kecil (kromo) memerlukan pemimpin yang jujur, berbudi, kukuh pendirian, tinggi cita-cita dan perilaku tak tercela. Pergerakan bumiputra berada pada tahap yang sulit. Sudah waktunya memberesihkan diri sendiri, menebus kesalahan.”
“Nama baik keduanya, terutama Tjokroaminoto, demikian hancur sampai istilah ‘men-Tjokro’ di kalangan SI berarti ‘menyeleweng’,” tulis Parakitri (dikutip dari Historia.id).
Takashi Shiraishi (1997:310) dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 menyebut serangan Darsono itu memporak-porandakan Tjokroaminoto dan kepemimpinan baru CSI yang belum lama terbentuk. Gambaran Tjokroaminoto sebagai satria terusik oleh serangan Darsono.
Sesungguhnya yang terjadi adalah, Darsono dan orang-orang SI Semarang saat itu tengah berada di bawah tekanan. Beberapa tokoh penting CSI atau Dewan Pimpinan Pusat Sarekat Islam, macam Agoes Salim dan Abdoel Moeis yang dekat dengan Tjokroaminoto, sedang santer-santernya menggaungkan kebijakan disiplin partai. Kubu Agoes Salim mengusulkan CSI menerapkan disiplin partai. Anggota SI dilarang merangkap keanggotaan di organisasi lain. “Disiplin partai” yang dimaksud adalah “pemurnian” yang bentuk konkritnya adalah membersihkan SI dari unsur komunis.
Dengan kata lain, ada kubu besar di pusat kekuasaan CSI yang menginginkan Darsono dan kawan-kawan dikeluarkan. Mereka terindikasi merangkap anggota Perserikatan Komunis Hindia yang sebelumnya bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) bentukan tokoh komunis asal Belanda, Henk Sneevliet (Boon Kheng Cheah, From PKI to the Comintern, 1992:7).
Sebelum kebijakan disiplin partai itu benar-benar diterapkan, Darsono beserta para tokoh SI Semarang lainnya, terutama Semaoen, juga Alimin serta Hadji Mohammad Misbach, berupaya sekuat tenaga bertahan, termasuk menyerang citra Tjokroaminoto. Harapannya, sang pemimpin besar terguling dan terciptalah peluang untuk mengubah arah angin politik internal CSI.
Lantas, apakah serangan Darsono terhadap Tjokroaminoto itu berpengaruh? Ternyata lumayan membikin sibuk. Bahkan, Agoes Salim, tokoh penting SI yang lain, harus menunda agenda Kongres CSI yang rencananya akan dihelat pada 16 Oktober 1920.
Banyak orang di kalangan internal SI mencela cara Darsono menyerang Tjokroaminoto. Namun, mereka juga tetap menuntut dilakukan penyelidikan penuh atas manajemen keuangan CSI yang dipimpin Tjokroaminoto. Kalau dibiarkan, nama SI akan terus tercemar (Shiraishi, 1997:312).
Benarkah Tjokoraminoto Korupsi?
Nantinya, setelah orang-orang SI Merah benar-benar terdepak dari CSI dan mendirikan Partai Komunis Hindia yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), tudingan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Tjokroaminoto kembali diungkit. Salah satunya adalah oleh Hadji Mohammad Misbach, pentolan SI Merah asal Solo.
Saat tampil dalam Kongres SI Merah di Jawa Barat pada Maret 1923, Misbach berseru dalam pidatonya:
“… Ketika Darsono mulai melakukan kampanye publik melawan kebijakan CSI, markasnya cepat-cepat harus dipindah dari Surabaya ke Yogyakarta. Dan yang luar biasa mengejutkan adalah fakta ketika penghitungan keuangan dilakukan, uang yang dibutuhkan itu ditemukan dalam rekening SI.” (Shiraishi, 1997:362).
“… Tampaknya sekarang sudah biasa orang menyebut diri muslim, meskipun tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh Islam. Bahkan bisa ditemukan di banyak tempat, Hotel Islam, Toko Islam, dan sebagainya. Dengan ini sebenarnya orang sudah menyalahgunakan nama Islam untuk memperkaya diri!” sindir Misbach.
Pidato Misbach yang berapi-api mengecam Tjokroaminoto tersebut disambut gemuruh tepuk tangan oleh massa SI Merah yang saat itu sedang dalam proses menjadi PKI. Terdengar teriakan dari kerumunan massa:
“Tjokro mau jadi raja! Uang SI, ke mana perginya?!”
Lantas, apakah benar Tjokroaminoto korupsi atau menyalahgunakan wewenangnya sebagai Ketua sekaligus Bendahara CSI untuk memperkaya diri sendiri?
Dugaan tersebut memang tidak pernah dapat dibuktikan secara sahih, termasuk kabar bahwa Tjokroaminoto telah menggelapkan uang hasil kampanye akbar di Surabaya pada 6 Februari 1918. Aksi unjuk rasa yang melibatkan ribuan massa SI itu digelar sebagai wujud protes atas perkara penistaan agama yang dilakukan oleh Martodharsono dan melahirkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM).
Tjokro jelas tidak tinggal diam. Ia menuduh ucapan Darsono sebagai serangan kepada organisasi. Agoes Salim, yang sebenarnya tidak sepenuhnya sreg dengan Tjokro dan bahkan membangun blok sendiri, menggunakan serangan Darsono itu untuk semakin menggiatkan serangan kepada kubu Semarang.
Yang jelas, orang-orang SI Merah akhirnya benar-benar tersingkir. Sayap kiri SI ini kemudian membentuk Perserikatan Komunis Hindia (PKH) –di mana Darsono terpilih sebagai wakil ketua– yang pada 1924 resmi berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sementara Tjokroaminoto yang kerap diguncang isu korupsi justru tetap memimpin CSI –yang nantinya menjelma sebagai partai politik dengan nama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)– bahkan seumur hidup hingga wafatnya pada 1934, dan kelak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Tuduhan korupsi dari Darsono tak pernah diuji secara faktual sehingga hanya menjadi bagian dari dinamika partai yang sedang bergolak.
Anis Matta dan Stigma yang dilekatkan
Tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada HOS Tjokroaminoto, ini juga terjadi pada sosok berbeda jaman bernama Anis Matta.
Anis Matta sebagai pembaharu serta ikon politisi Islam modern, juga mendapatkan stigma serta tuduhan atau fitnahan yang hampir sama seperti Tjokroaminoto.
Anis Matta adalah presiden PKS periode 2013-2015 (melanjutkan era masa kepemimpinan Luthfi Hasan Ishaaq yang ditangkap KPK karena suap kuota impor daging sapi) dan selanjutnya digantikan oleh M Sohibul Iman.
Mereka yang menebar fitnah kepada Anis Matta pada dasarnya ada dua kelompok: Pertama, orang-orang yang cemburu (masalah hati), dan kedua, agen intelijen (Genk Paropo dan jaringan nasionalnya). Dua sumber fitnah ini dapat dibedakan dengan jelas sifatnya. Fitnah dari kelompok yang cemburu umumnya sampai pada fase klarifikasi (tabayyun), sedangkan fitnah oleh agen tidak pernah diklarifikasi (propaganda).
Kecemburuan terhadap AM adalah peristiwa manusiawi dalam kehidupan berjama’ah. Orang sekaliber Umar bin Khattab pun dicemburui ketika memakai baju dari kain yang dianggap oleh publik seharusnya tak cukup untuk dibuat baju oleh beliau. Demikian juga sang mu’assis dakwah Imam Hasan Al-Banna juga pernah dicemburui karena pakaiannya yang perlente sementara pekerjaan tetapnya dipertanyakan.
Mereka yang cemburu kepada Anis Matta umumnya karena dua hal: pertama soal harta dan gaya hidup, kedua soal pengaruh dan pemikiran. Yang terakhir ini adalah salah satu penyakit orang-orang alim. Ketika di awal-awal Anis Matta mulai membangun rumahnya dan memakai aksesoris yang dianggap mewah, mata dan hati sebagian orang mulai kepanasan. Berbagai gosip dikembangkan, terutama soal sumber harta Anis Matta tersebut.
Dalam sebuah majelis anggota ahli di Depok, Anis Matta disidang. Para ustadz mempertanyakan sumber harta Anis Matta. Lalu Anis Matta menyampaikan seluruh bisnis-bisnisnya dan sumber-sumber keuangannya yang halal secara detail. Ada bisnis MIND institute, bisnis transporter BBM yang di kemudian hari berkembang menjadi bisnis kapal tongkang, dan beberapa investasi skala kecil yang dimiliki. Para ustadz tak bisa berkata apa-apa. Semuanya terlalu jelas. Terklarifikasi!
Tahun 2007, saat Pilkada DKI sedang berkecamuk. PKS mengusung mantan Wakapolri, Adang Darajatun sebagai calon. Berhembus isu tentang dana 10M yang konon berasal dari seorang pengusaha keturunan arab kepada Anis Matta. Lalu struktur membuat tim ivestigasi. Bertemulah tim ini dengan si pengusaha. Di kantor si pengusaha, para pimpinan partai ini dibuat malu oleh kecurigaan mereka sendiri.
Bahkan, salah seorang di antara mereka diingatkan kembali kalau fotonya waktu ambil uang di kantor si pengusaha tersebut masih tersimpan kok. Malu rasanya. Si pengusaha membela Anis Matta, “Jangankan ambil duit, lihat duitnya aja kagak pernah tuh anak!”. Terklarifikasi!
Kecemburuan terhadap pengaruh Anis Matta dan pemikirannya juga tak pernah sepi. Ide tentang partai terbuka jelang 2009 mendapat kritik keras dari para senior. Gosip tentang leberalisasi jama’ah tersebar. Semua mengarah kepada Anis Matta. Maka dibukalah majelis nadwah untuk mengklarifikasi semua gosip. Mereka yang terus mengkritik dihadirkan. Semua orang dipersilahkan menyampaikan kritiknya daengan landasan ilmu. Di majelis tersebut semua gosip dan kecurigaan terjawab. Terklarifikasi!
Kejadian terakhir, Anis Matta dituduh membuat daurah-daurah yang dianggap sebagai pembangkangan dan makar terhadap struktur. Salah satu masyaikh yang dilaporkan sebagai pembicara pada daurah-daurah tersebut disidang oleh DPTP. Materi-materi daurah digugat. Sang masyaikh menjawab, “Materi yang saya sampaikan adalah materi yang sama yang disampaikan oleh Anis Matta di hadapan majelis Muraqibul Am dari seluruh dunia, dalam acara tandzim alami di Istanbul. Ustadz HNW hadir mewakili Indonesia”. Terklarifikasi!
Lihat polanya. Di hadapan majelis tabayyun, semua gosip dan fitnah terklarifikasi. Jadi, jika ingin gosip dan fitnah terhadap Anis Matta terus bergulir dan akhirnyan dianggap sebagai kebenaran, jangan pernah melakukan tabayyun. Sebab, ketika semua kekusutan diurai dan kabut-kabut gosip disingkirkan, bukan hanya kebenaran yang akan muncul, tapi mereka yang berwajah buruk dan berhias topeng juga akan tampak.
Stigma dan tuduhan negatif yang berbau fitnah tersebut pun, sampai saat ini hanya menjadi perbicangan angin yang terus berhembus diam-diam.
HOS Tjokroaminoto dan Anis Matta, Para Pembaharu Pembawa Perubahan
Tuduhan serta Stigma bisa dilakukan dan disebarkan, namun pelajaran yang dapat dipetik adalah soal kekuatan yang ada atau magnet yang dimiliki kedua tokoh sebagai pembaharu dalam sebuah gerakan politik Islam.
Baik HOS Tjokroaminoto ataupun Anis Matta mengisi masing-masing jamannya dengan pemikiran yang melampaui jauh dari para pemikir dimasanya, maka pantas merekalah para pembaharu pembawa perubahan dengan arah baru.
Para kawan para pemikir Islam yang berpikir konservatif dan orisinilitas sering memandang berbeda paham tentang konsep sosialisme Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Tjokroaminoto, bahkan sebagian menyebut dan melabelkan sosok Tjokroaminoto adalah komunis akibat sering membedah pemikiran Karl Marx.
Dari sekian banyak artikel yang pernah ditulis Tjokroaminoto, ada dua judul yang paling mencuri perhatian, yakni “Apakah Sosialisme Itu” dan “Sosialisme Berdasar Islam.” Dua tulisan ini dimuat di surat kabar resmi SI, Oetoesan Hindia, yang terbit perdana pada 1 Januari 1913. Selanjutnya, pada November 1924, Tjokroaminoto menerbitkan buku dari hasil pemikirannya dengan judul Islam dan Sosialisme.
Tjokroaminoto tidak pernah alergi dengan sosialisme yang memang sedang bersemi di Indonesia pada awal dekade ke-2 abad ke-20 itu. Ia bahkan dengan serius mempelajari sosialisme, kendati turunan dari paham inilah yang akhirnya membelah organ dalam SI dan melahirkan wadah baru yang nantinya memakai nama Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bagi Tjokroaminoto, Islam dan sosialisme bukanlah dua kutub yang berseberangan dan menjadi pertentangan. Justru sebaliknya, keduanya bisa saling melengkapi dan menghasilkan perpaduan yang sangat apik. Tjokroaminoto adalah salah satu tokoh muslim pertama di Indonesia yang menggagas perpaduan Islam dan sosialisme untuk pertama kalinya (Mustafa Kemal Pasha, Civics Education, 2002:62).
Tjokroaminoto memaknai sosialisme sebagai hubungan pertemanan/persahabatan yang erat. Sosialisme berprinsip satu untuk semua dan semua untuk satu serta saling bertanggungjawab antar-sesama, atau dalam bahasa Tjokroaminoto: “Cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita bahwa kita adalah yang memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain.” (Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 1963:9).
Prinsip sosialisme seperti yang dipaparkan Tjokroaminoto itu sulit diterapkan dengan baik jika tidak dilandasi dengan dasar agama. Bahkan, sosialisme justru bisa menyesatkan dan membawa kerusakan kepada manusia. Di sinilah Tjokroaminoto meramu perpaduan antara prinsip-prinsip sosialisme dengan ajaran Islam.
“Sosialisme hanyalah bisa menjadi sempurna apabila tiap-tiap manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri saja sebagai binatang atau burung, tetapi hidup untuk keperluan masyarakat bersama, karena segala apa saja yang ada hanyalah berasal atau dijadikan oleh satu kekuatan atau satu kekuasaan, ialah Allah Yang Maha Kuasa” (Tjokroaminoto, 1963: 71).
Sosialisme yang dimaksud Tjokroaminoto bukan hanya pemikiran yang dicetuskan di Eropa semata, melainkan bersandar kepada agama (Islam) dan wajib dilakukan oleh umatnya selama itu merupakan perintah Tuhan. Meskipun mengagumi pemikiran Marx atau Engels, tapi ia menegaskan bahwa sosialisme ala Islam tidak sepenuhnya persis seperti itu.
Sosialisme Islam adalah pergerakan sosialisme yang dikontrol oleh identitas keislaman untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia maupun akherat (Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, 2012:150)
Sosialisme ala Islam ini oleh Tjokroaminoto diyakini sudah berkembang selama 13 abad dan telah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad (Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S. Tjokroaminoto,” dalam Jurnal Wacana Politik, Maret 2016:66).
Lebih lanjut, Tjokroaminoto memaparkan perbedaan sosialisme versi Barat dengan sosialisme dalam Islam. Sosialisme Barat menerapkan demokrasi sosialisme, yakni pemerintahan mengadopsi sistem perwakilan. Menurut Tjokroaminoto, itu bukanlah sosialisme dalam arti kata yang sebenarnya karena sistem tersebut merupakan sistem demokrasi. Dalam sistem sosialisme, seharusnya rakyat mempunyai suara langsung dalam persoalan terkait negara.
Masalah tersebut terpecahkan dalam sosialisme Islam karena kekuasaan tidak diserahkan kepada kabinet, parlemen, atau golongan partai yang mewakili kepentingan kelompok tertentu. Tjokroaminoto mengatakan, undang-undang mengatur pemerintahan berasal langsung dari Tuhan sehingga tidak ada individu atau kelompok tertentu yang bisa mengubah aturan tersebut untuk kesenangan atau kepentingannya sendiri (Firman Manan, 2016:66).
Lantas, apa yang menjadi landasan Rasulullah dengan menerapkan prinsip sosialisme dalam pemerintahan Islam? Begini kata Tjokroaminoto:
“Adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu.” (Islam dan Sosialisme, 1963: 10).
Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada era kepemimpinan Nabi Muhammad, sambung Tjokroaminoto, tidak terlepas dari prinsip-prinsip sosialisme yang diterapkan oleh Rasulullah dalam mengatur pemerintahan dan upaya memperluas wilayah, termasuk dengan menjadikan semua tanah yang dikuasai menjadi milik negara.
“Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam telah melancarkan dirinya ke negeri-negeri luar.”
Prinsip sosialisme, menurut Tjokroaminoto, merupakan salah satu kunci kejayaan pemerintahan Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad. Ia membagi sosialisme-Islam menjadi tiga anasir, yaitu kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), serta persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang bisa menyatukan umat Islam.
“Bahwa rasa persaudaraan dan persatuan dalam dunia Islam, yaitu dasar yang sesungguh-sungguhnya bagi sosialisme, tiada akan pernah mati bahkan akan selalu bertambah-tambah di dalam hati umat Islam!” (Tjokroaminoto dalam Amelz, 1952:138).
Tjokroaminoto memang tidak main-main dalam meramu perpaduan Islam dengan sosialisme. Dalam hal ini, ia bahkan mengutip kitab suci Alquran, yakni surat Adz-Dzariyat ayat 56, yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Firman Tuhan dalam surat tersebut, bagi Tjokroaminoto, sesuai dengan prinsip sosialisme.
“Sosialisme bisa menjadi sempurna apabila tujuan hidup dari tiap-tiap manusia tidak hanya untuk mengejar keperluan dan kesenangan biasa, ialah keperluan dan kesenangan yang ada di dalam dunia ini, tetapi tiap-tiap manusia hendaklah juga mengejar tujuan hidup yang lebih tinggi” (Tjokroaminoto, 1963:72).
Anis Matta dan Pardigma Arah Baru Indonesia
Hingga detik ini, Anis Matta sudah menerbitkan beberapa buku tentang agama, negara, kepemimpinan hingga urusan percintaan. Buku-buku hasil tulisan tangan Anis itu menjadikan mantan ketua PKS tersebut populer di kalangan anak muda, terutama di lingkaran kelompok-kelompok Tarbiyah.
Selain buku, pemikiran Anis Matta bisa dilacak lewat tulisan-tulisan di website pribadinya. Melalui website itu, Anis aktif mengkampanyekan ide mengenai “Arah Baru Indonesia”. Pemikiran Anis menekankan pentingnya kombinasi antara agama dengan pengetahuan. Pembangunan seperti itu menurut Anis akan berdampak pada kemajuan teknologi, militer hingga ekonomi.
Anis Matta menulis bahwa prasyarat menjadi sebuah bangsa besar adalah dengan cara menjadi bangsa religius dan menguasai ilmu pengetahuan. Terlihat pula bahwa Anis Matta merupakan tokoh Muslim kompromistis. Dalam tulisan, ia mengatakan bahwa harus ada rembuk antara empat komponen: agama, nasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan dalam satu kerangka ideologis.
Tujuan utama dari rembuk tersebut adalah untuk mengakhiri konflik antara Islam dan nasionalisme, serta antara Islam dan negara. Ia berharap manusia Indonesia ke depannya menjadi bangsa religius, cinta tanah air, menghargai kebebasan, sekaligus sejahtera. Mungkinkah Anis Matta seorang post–Islamis?
Asef Bayat, seorang sarjana asal Iran dalam artikel berjudul Foreign Affairs memberikan analisis tajam tentang post-Islamisme. Menurutnya, ciri utama gerakan post-Islamisme adalah kecenderungan untuk menjadi realistis dan kompromis dengan realitas politik yang tak sepenuhnya ideal dan sesuai dengan skema ideologis murni yang mereka yakini dan bayangkan.
Berdasarkan pemahaman itu, maka bisa dikatakan Anis Matta adalah seorang post-Islamisme. Hal itu dikarenakan Anis merupakan seorang muslim religius yang menekankan pentingnya kompromistis kelompok Islam dengan nasionalis, hingga mengakhiri pertentangan antara Islam dengan negara demokrasi.
Ide dan gagasan Anis Matta tentang pembaharuan tersebut coba diterapkan pula ketika ia memimpin PKS. Namun, menurut Mahfudz Siddiq rencana Anis Matta untuk memodernisasi PKS menjadi partai terbuka, transparan dan akuntabel tersebut terhalang oleh kelompok-kelompok “tua” di PKS. Kelak, menurut Mahfudz, perbedaan pandangan itulah yang membuat Anis Matta disingkirkan dalam panggung utama PKS.
Bisa saja dugaan bahwa PKS telah bersikap anti-intelektualisme ada benarnya. Jika merujuk pada pendapat sejarawan Amerika Richard Hofstadter, kaum anti-intelektualis terkemuka biasanya adalah orang-orang yang sangat mendalam keterlibatannya dengan gagasan-gagasan. Mungkinkah Sohibul Iman termasuk di dalamnya?
Orisinalitas vs Pembaharu
Bagi para konservatif atau pendukung paradigma orisinalitas, para pembaharu seperti HOS Tjokoroaminoto ataupun Anis Matta sudah pasti akan berbenturan secara intelektual, hingga memberi dampak dan pengaruh kepada gerakan partai dimana mereka berada.
Sarekat Islam akhirnya pecah menjadi SI Merah Dan SI Putih, ataupun Partai Keadilan Sejahtera yang sebagian kader yang dipecat akhirnya memilih wasilah (sarana) lewat Gerakan Arah Baru Indonesia atau Garbi.
Dalam demensi pemikiran tertentu, keduanya kisah tersebut bisa dilihat ada persamaannya, semua berawal dari pemikiran atau paradigma hingga akhirnya berdampak pada arah yang akhirnya dipilih.
Ibarat proses, semua dalam tahapan yang terus berkembang mencari bentuk aslinya, terus dan terus hingga akhir, dan perlu diingat pula, bagaimana Tjokroaminoto akhirnya mengubah Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam dengan alasan Islam tidak hanya mencangkup soal ekonomi tetapi semua sektor kehidupan manusia.
Kehebatan Sarekat Islam dan PKS adalah mereka adalah pabrik kaum intelektual, yang sudah pasti akan terus berkembang sesuai paradigma yang ada, kalau mau diingat kembali, semua tentu ingat PKS pada awal berdirinya disebut partai homogen (satu jenis gerakan yaitu gerakan tarbiyah) hingga mulai berkembang karena tuntutan meraup suara, kini PKS dihadapkan kepada tuntutan pemenuhan kebutuhan partai yang modernitas serta heterogen (menerima semua unsur yang ada).
Itulah yang dinamakan perjalanan, dan kalaupun ada gerakan penyingkiran, tengoklah kisah sejarah yang terjadi pada Sarekat Islam dan HOS Tjokroaminoto lalu dilanjutkan SI Merah dan SI Putih hingga akhirnya berubah lagi menjadi PKI dan PSII.
Sementara PKS? Bisa saja proses gerakan penyingkiran ini akhirnya membentuk sebuah partai baru bernama Partai Garbi, semua kemungkinan bisa saja terjadi, dan tidak perlu kaget ataupun antipati pada proses yang terjadi karena waktu telah pernah memberikan pelajarannya, paradigma akan terus berkembang sesuai tuntutan peradaban.
Namun, baik kaum orisinalitas ataupun kaum pembaharu, sudah pasti meniti jalannya masing-masing, dan berperan sesuai paradigma yang dipilihnya, awal kerikil saling ejek antara Agus Salim dan kelompok SI Merah pun terjadi sesuai jamannya, begitu pula PKS dan Garbi, namun yang harus dicatat adalah sejarah semua berawal dari satu titik lahir, dan waktu yang membuatnya berkembang.
Berkembang melewati peradabannya, dan silahkan bagi yang tetap memilih orisinalitas, karena semua akan menemui tantangannya masing-masing, percayalah… karena semua pemikiran tidak pernah diam pada satu titik.
Tjokoroaminoto dan kini Anis Matta, lihatlah sejarah telah menjadikan mereka besar dimasanya masing-masing.
Stigma dan tuduhan negatif pasti akan muncul untuk menutup, membungkam bahkan menyingkirkan intelektualitas serta pemikiran, karena untuk memenuhi alasan perbedaan pemikiran atau paradigma politik.
Orator-orator hidup dengan dinamika gerak perjuangan, Tjokroaminoto adalah orator, begitupula seorang Anis Matta, pemikiran para orator kadang melewati batas pemikiran para pendengarnya, namun mampu memberikan semangat untuk adanya perubahan.
Sementara kaum orisinalitas, akan terus disibukkan dengan kesempurnaan sesuai awal gerakan, terus berpikir tentang ketakutan-ketakutan dan kekurangan yang menganggu kesempurnan pemikiran sejumlah elite disuatu masa, terus menjadi phobia akan nilai-nilai perubahan, dan hingga akhirnya bersikap anti inteletualitas demi pembenaran satu corong pemikiran.
Dan semua proses terus terjadi…….
(by Bang DW)