[PORTAL-ISLAM.ID] Kurang lebih 23 tahun silam, 30 Desember 1996, di Kompleks Ajudan Jenderal Bandung. Jenderal Prabowo Subianto berdiri di podium, pidato berapi api di hadapan mahasiswa Papua se-Jawa Bali.
Di tengah mahasiswa, saya yang ketika itu umur 17 tahun, interupsi hentikan pidato seorang jenderal yang bersinar saat itu, berteriak lantang "interupsi Jenderal! Anda banyak ngomong, hari ini rakyat saya menderita di Papua. Fidelis Zonggonau, paman kandung saya memimpin demonstrasi karyawan tutup Freeport menuntut keadilan. Sejak kapan Jenderal berbuat baik untuk keluarga saya dan rakyat Papua. Sebaiknya Jenderal angkat kaki dari sini."
Semua peserta kaget dan hening mendengar interupsi, Saya nyaris diusir dan diinterogasi ajudan dan petugas keamanan.
Namun, rupanya Jenderal Prabowo mendengar apa yang saya utarakan, mengomentari pernyataan saya. Prabowo langsung menyatakan bahwa beliau telah berbicara dengan Presiden Suharto supaya rakyat Papua dan keluarga anda akan diberikan dana Royalti Freeport satu persen dari penghasilan kotor per tahun.
Apapun cerita heboh dan membahana seantero negeri ini tentang Freeport dan diverstasi 51 persen persen. Sedari dulu Prabowo sudah berbuat nyata bagi rakyat Papua (minimal keluarga saya pemilik gunung Nemangkawi), telah menikmati 22 tahun lamanya.
Sebuah perjuangan Prabowo Subianto dalam kesunyian tanpa mencari penghargaan dan citra seakan-akan pahlawan pembawa berkah. Itulah Prabowo Subianto, di balik banyak cerita yang terdengar di telinga, sebuah kisah yang tidak pernah digembar-gemborkan di media nasional, sebagaimana dilakukan oleh petinggi negeri ini yang seakan-akan, sekonyong-konyong dan tiba-tiba menjadi pahlawan kesiangan bagi rakyat Papua.
Harus diakui bahwa di masa lalu Prabowo memiliki catatan pembebasan sandera warga negara Inggris di Mapenduma Papua. Tetapi Prabowo tidak bertindak sendirian. Ada tiga pasukan elit terbaik dunia bergabung dalam Tim yaitu: SAS, Skotland Yard dan Kopassus atas dukungan internasional.
Prabowo sudah menyadari dan mempelajari berbagai macam buku tentang Doktrin Hukum Humaniter dan Hukum Perang tidak akan mudah dilakukan di masa mendatang.
Sementara kejahatan Jokowi selama empat tahun, tidak kurang dari 6 ribu rakyat Papua ditangkap, dianiaya, dibunuh dan disiksa, banyak orang mati kelaparan meskipun hidup di atas kekayaan yang melimpah.
Operasi militer di Papua di Hari Raya Kelahiran Tuhan Yesus Kristus, Pendeta seorang Hamba Tuhan dibunuh. Politik Jokowi adalah politik pendudukan yang menghancurkan akar budaya, nilai, tatanan sosial, dan ancaman kepunahan.
Oleh karena itu, hari ini saya berdiri di garis Prabowo bukan untuk melindungi bahkan membenarkan dan menyetujui apa kehendak dan kemauannya yang bertentangan dengan prinsip universal yaitu demokrasi, hak asasi manusia, perdamaian dan keadilan, tetapi sebagai seorang aktivis Indonesia yang ingin mengubah untuk membangun Mosaik Indonesia yang berbasis HAM: nilai demokrasi, nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian dan keadilan.
Sebuah nilai- nilai artifisial yang diabaikan oleh pemerintah Joko Widodo 2014-2019.
Hari ini kita akan memilih pemimpin bukan hanya sekedar memilih orang yang “terlihat baik” tetapi juga orang yang “bisa”.
Orang 'terlihat baik' cukup menjadi penasehat, tetapi menjadi pemimpin itu adalah orang yang 'bisa' yaitu bisa memimpin negara besar ini.
Penulis: Natalius Pigai