[PORTAL-ISLAM.ID] Jurnalis kini sudah mengkhianati tugas utamanya. Jurnalis yang menutup berita besar telah menjadi antek-antek mereka yang akan menghancurkan Indonesia.
Inilah kalimat dari Capres Prabowo yang dua tiga hari ini beredar di medsos. Jika diletakkan dalam kontestasi Pilpres dan tahun Politik saat ini. Dari sudut pandang pendukung Petahana, maka pribadi Prabowo sesungguhnya telah menampakkan diri sebagai pribadi yang otoriter, kewenangan dirinya telah melebihi dari institusi yang seharusnya berwenang. Ini berbahaya karena masa otoriter sudah diakhiri sejak 98.
Bagi pendukung Prabowo, titik tekannya adalah ia sebagai warga negara dan calon presiden mengingatkan bahwa momentum 98 ada era kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers. Bahkan Pers merupakan pilar untuk tumbuhnya demokrasi dan kedewasaan dalam bernegara dan berbangsa.
Hemat penulis, bahwa kebebasan pers yang didapatkan setelah 98 seharusnya kita jaga dan rawat untuk mendewasakan rakyat dan pemerintah dalam berbangsa dan bernegara.
Pers, baik cetak dan non cetak, pers online dan off line diakui memang mengalami perkembangan pesat dari sisi jumlah, TV, koran off line, media cetak atau media online sekalipun bak berkembang seperti jamur. Faktor nya apa? Pertama adalah perkembangan teknologi, kedua akses informasi global lebih mudah didapat dan ketiga arus kapital yang terus merangsek sendi dan aspek kehidupan. Namun dari sisi kualitas tak bisa terbantah, menurun. Kenapa hal ini terjadi karena penjaga gawang pers makin luntur. Penjaga media selevel Mochtar Lubis, Rosihan Anwar dan B. M. Diah kini sudah sedemikian susah dicari. Mereka pada zamannya membersamai demokrasi dan mencukupkan diri dengan Pers sebagai pilar demokrasi rekam jejak dan penanya berkhidmad untuk jurnalistik. Taat asas idealisme, bahwa kinerja jurnalis adalah edukasi rakyat dan memberi fungsi kontrol terhadap pemerintah.
Sekarang yang bercokol dalam dunia Jurnalistik adalah Surya Paloh, Hary Tanoesoedibyo, Aburizal Bakrie, Eddy Sariatmaja dan Erick Thohir. Tentu agak sulit untuk bisa menempatkan pers atau tugas jurnalistik sebagai pilar demokrasi karena para bos, penjaga gawang – – penentu berita adalah kaum bermodal, para bisnisman itu.
Orang semacam Dahlan Iskan, Goenawan Mohamad pun kini sudah tersisih terlempar oleh arus modal. Sebutlah redaktur utama TV X misalnya, ia sekarang tidak bisa dengan seenaknya tentukan berita dan rencana liputan. Kini harus atas restu pemilik, izin sang bos apalagi jika liputan yang sensitif terhadap kepentingan bisnis dan politiknya.
Jadi ada pergeseran pengabdian jurnalistik/pers, pada zaman Orba, pers mengabdi pada idealisme sedang pasca Reformasi, jurnalistik/pers mengabdi kepada kepentingan ‘sang bos’.
Logic bukan jika era Soeharto untuk menghambat dan membabat pers selaku pengawal demokrasi dilakukan dengan tekanan/represi dibreidel, ancaman dan penghilangan nyawa wartawan dll. Berbau militeristik.
Sedang di era reformasi sampai sekarang ini, untuk membonsai kekuatan pers sebagai penopang demokrasi adalah dengan penguasaan asset, modal/kapital. Bos pemilik TV X lebih berkuasa daripada redaktur utama. RedPel apalagi wartawan sedemikian rupa kini mulai tercuci otaknya bahwa sekarang adalah abad industri dan tanggalkanlah idealisme.
Bos media meruntuhkan idealisme bukan dengan cara militeristik ala Soeharto tapi dengan iming-iming imbalan dan segepok ‘duit’. Otomatis pers akhirnya mandul juga, peristiwa besar yang layak beritapun karena dikalkulasi akan mengganggu stabilitas politik dan bisnisnya maka menjadi tidak penting. Publik akhirnya terlambat untuk tahu apalagi mengerti dan paham.
Nah, sampai di sini tampak jelas bahwa sesungguhnya kebebasan berpendapat yang dielu-elukan di era reformasi sebagai sebuah keberhasilan ternyata secara substansial adalah semu, karena pers sudah sedemikian rupa diarahkan untuk mengabdi kepada modal dan state bukan kepada kedewasaan berpikir dan peningkatan martabat bangsa.
Penulis: In'am el Mustofa