Prabowo, Jokowi dan Massa


Prabowo, Jokowi dan Massa

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
(Sabang Merauke Circle)

Prabowo pidato secara heroik di depan jutaan massa di Monas, pada 2 Desember 2018. Meski singkat, Prabowo berhasil mengkoneksikan batinnya dengan batin jutaan jiwa massa. Kompas tidak memberitakan ini. Beberapa pihak menganggap itu sebuah pengkhianatan media, yang eksistensinya, sejatinya, milik publik dalam konteks "stake holders".

Namun, sebagain melihatnya hanya peristiwa biasa, yang tak pantas diliput. Tentu semua ini berpulang pada kemampuan cendikiawan dan elit politik kita menafsirkan sebuah peristiwa sosial, apakah,misalnya, dikaitkan dengan pikiran Emile Durkheim tentang "social fact" atau pikiran Marx tentang "social conflict" atau teori-teori terkait "aksi massanya" Tan Malaka, "garis massanya" Mao Ze Dong atau melihat pikiran "New Social Movement" atau "Post Materialisme" nya Ronald Inglehart atau "Collective action" Mancur Olson, dll.

Bila peristiwa 212 yang penuh makna direvisi pada versi pengkerdilan, sebuah perubahan sosial yang akan terjadi setelahnya sulit diprediksi. Itu seperti terjadi beberapa waktu sebelum keruntuhan rezim Suharto dua dekade lalu. Kita yang gagal menangkap pesang gejolak sosial sebelum masa runtuh Suharto, akhirnya membiarkan sejarah reformasi berjalan tanpa arah, seperti saat ini.

Saya melihat bahwa aksi massa yang sangat besar 212 di atas penting sekali dicermati dalam 3 hal.

Pertama, aksi itu menaungi dua teori "social movement" sekaligus. yakni bentuk lama, yang bersandar pada material, maupun bentuk baru "post-material".

Bentuk post material dapat dilihat dari sebagian massa yang kedatangannya dalam aksi reuni tersebut sebagai masalah identitas, bukan soal-soal himpitan ekonomi. Orang-orang yang datang mencarter pesawat ke Jakarta, orang-orang yang datang dengan mobil mewah dan orang-orang yang datang menyewa seluruh hotel mewah di seputar Monas, adalah kelas menengah muslim yang terpanggil karena identitas. Mereka ingin menunjukkan jatidiri mereka sebagai muslim dalam komunitas muslim yang besar.

Sebaliknya, sebagiannya lagi adalah orang-orang yang selama ini masuk pada tema-tema marginalisasi kaum muslim dalam politik dan ekonomi. Mereka menuntut agar keadilan sosial dapat ditegakkan, dalam kepemimpinan yang pro ummat Islam.

Kedua, aksi massa itu memenuhi pikiran, misalnya, Tan Malaka, Mao Zedong dan Mutahhari, bahwa massa atau rakyat itu adalah sebuah eksistensi di luar individual. Sehingga keingingan massa adalah sebuah fakta sosial.

Mao dalam pandangan politik "Garis Massa" menyatakan bahwa kekuatan partai harus bertumpu pada massa, sehingga partai harus memuaskan keingingan massa. Di mana inspirasi harus diperoleh dari massa dan orientasi ideologi harus bertanggung jawab kepada massa rakyat.

Sedangkan Mutahhari (dalam "Sejarah dan Masyarakat") meyakini bahwa masyarakat itu sebuah eksistensi sendiri, yang mempunyai jiwa dan tujuan.

Terlepas dari determinisme ekonomi dibalik pikiran Tan Malaka dan Mao, gerakan massa yang massif, seperti 212, adalah selangkah dibelakang revolusi sosial. Suasana aksi yang tenang menurut Tan Malaka adalah sebuah kondisi subjektif, sedangkan kondisi objektif, seperti parahnya ekonomi, akan mendorong revolusi itu nantinya. Tentu jika para pemimpin anarkis tidak punya kesempatan mensabotase keadaan ini.

Ketiga, terjadi "pentasbihan" leadership Prabowo dihadapan jutaan massa. Hal ini tentunya sebuah kesakralan peristiwa Reuni 212 kemarin, di mana massa yang selama ini bergerak dalam "social existence" sendiri atau di bawah payung Habib Rizieq, bertemu dengan Prabowo, sebagai "agent of change". Ini juga sebuah peristiwa di mana fakta sosial atau "social structure" bertemu dengan  "social agent".

Dalam "pertemuan hati" dirinya dengan jutaan massa aksi, Prabowo tentunya mengalami transformasi spiritual dari kandidat Capres dalam konteks demokrasi liberal, yang penuh pencitraan dan tipu daya, menjadi pemimpin rakyat, yang terikat pada spritualitas sosial.

Prabowo harus mentransformasi dirinya secara total sebagai panutan rakyat. Ini adalah tugas berat, di mana institusi politik Prabowo, Gerindra, dan sekutunya, PAN & PKS, harus melakukan kontrak sosial dengan rakyat secara ideal. Sebuah upaya idealisasi partai.

Dari ketiga alasan di atas, peristiwa sosial 212, adalah peristiwa besar yang akan mempengaruhi jalannya nasib bangsa ke depan. Jika tidak tepat arah perjalannya, maka letupan sosial seperti yang saat ini terjadi, misalnya, di Prancis, bisa juga terjadi di sini.

Jokowi tanpa massa

Entah karena gugatan atas "block-out" sebelumnya, Kompas online, dua hari lalu,  memberitakan acara yang dihadiri Jokowi sepi di Gedung Balai Kartini Jakarta, sehingga kursi-kursi kosong disingkirkan Paspampres.

Kosongnya acara yang dihadari Jokowi, maupun acara dukungan terhadap Jokowi, memang sering menjadi pemberitaan dan pembicaraan publik, khsususnya di media sosial. Beberapa waktu lalu, misalnya, acara yang diorganisasikan Projo di Riau, meski dengan dukungan kepala-kepala daerah juga kosong melompong.

Sebaliknya, berita yang menunjukkan kehadiran Jokowi disambut massa membludak terjadi di Lampung beberapa waktu lalu, kelihatannya terjadi karena mobilasi yang massif, bukan sebuah partisipasi rakyat.


Berita kehadiran Jokowi tanpa massa dapat ditafsirkan bahwa insentif rakyat untuk menghadiri acara Jokowi atau pro Jokowi sudah pudar. Jokowi sendiri sebagai "magnit" yang pernah terjadi 5 tahun lalu, sudah luntur.

Fenomena Jokowi sebagai pemimpin tanpa massa memang demikian adanya, karena Jokowi bukanlah pemimpin partai atau pemimpim ormas sejak dahulu pula. Jokowi tidak mempunyai ikatan sosial atau batiniah dengan kelompok masyarakat manapun.

Dalam kepemimpinan seperti ini, Jokowi hanya bersandar pada ukuran-ukuran formalitas untuk mendapat apresiasi dari masyarakat. Jika masyarakat merasa kinerja Jokowi sesuai dengan janji politiknya 5 tahun lalu, maka apresiasi akan diberikan oleh masyarakat.

Fenomena Jokowi ini mirip seperti Marcon di Prancis dan Habibie di Indonesia. Mereka menjadi Presiden sama sekali tanpa ikatan identitas terhadap rakyat. Tidak jelas mewakili golongan mana.

Pilpres dan Tantangannya

Prabowo dengan jutaan massa pendukung vs Jokowi yang tanpa massa bukan berarti sebuah fakta kemenangan Prabowo pada pilpres mendatang semakin dekat. Mengapa?

Dalam teori massa, perpaduan massa dan pemimpin adalah sebuah jalan revolusioner. Sedangkan pilpres adalah jalan demokrasi, di mana kesadaran rakyat dapat dimanipulasi melalui pencitraan dan uang.

Apabila pilpres berlangsung damai, seharusnya demikian, maka jutaan massa 212 yang mendukung Prabowo dapat ditrasformasikan menjadi volunteer perjuangan Prabowo di akar rumput. Sebaliknya, Jokowi yang tanpa andalan massa militan, harus mampu membuktikan janji-janji politiknya 5 tahun lalu.

Penutup

Sebuah bangsa akan tumbuh besar jika arah sejarah bangsa itu dapat dikendalikan dan dimaknai dengan nilai-nilai sakral yang menguntungkan kebersamaan rakyatnya, baik sebagai sebuah bangsa, maupun dalam kesejahteraan. Peristiwa Reuni 212 adalah sebuah gerakan sosial yang militan, dengan cakupan isu identitas dan keadilan sosial. Tugas elit-elit bangsa kita adalah melihat fenomena ini secara jujur dan bertanggung jawab, yakni melihat secara jernih kemauan massa rakyat tersebut. Lalu memenuhinya. Bukan menyepelekan hal itu, karena bisa jadi sebuah gerakan massa yang sangat besar, seperti kata Tan Malaka, adalah awal dari revolusi sosil.***

Baca juga :