Plin-plan Mendagri Soal Jilbab Menunjukkan Penguasa Tak Sudi Islam
By Asyari Usman*
(Wartawan senior)
Baru sepuluh hari diterbitkan, akhirnya Menteri Dalan Negeri Tjahjo Kumolo mencabut Instruksi Mendagri No. 325/10770/SJ yang mengatur soal jilbab, celana pria, janggut, dlsb, di lingkungan Kemendagri. Tak berlaku lagi. Dibatalkan hari ini, 14 Desember 2018. Sekjen Kemendagri Hadi Prabowo mengatakan Inmendagri tertanggal 4 Desember 2018 itu dicabut berdasarkan masukan dari “masyarakat”.
Apa yang bisa kita simpulkan dari plin-plan Menteri Dalam Negeri?
Pertama, pengaturan jilbab di kalangan pegawai Kemendagri dan kemudian dibatalkan kembali pengaturan tersebut menunjukkan bahwa pihak yang berkuasa sejatinya atau aslinya adalah rezim yang tak suka Islam. Tak sudi pada Islam. Buktinya, mereka tak pernah tinggal diam melihat simbol-simbol Islam hadir di birokrasi. Mereka tak suka ada jilbab, apalagi jilbab yang syar’i. Yaitu, jilbab yang sesuai dengan tuntutan al-Quran dan hadits.
Karena tak suka jilbab, dan entah berdasarkan masukan dari siapa, Mendagri pun mengeluarkan instruksi nomor 325 itu. Mengatur agar jilbab masuk ke dalam krah baju. Janggut laki-laki harus rapi (ini bahasa kode untuk mengatakan “tak boleh panjang”). Kaki celana harus sampai ke mata kaki, dsb. Kemudian, entah berdasarkan masukan dari mana, Mendagri mencabut kembali instruksi itu.
Kedua, plin-plan Mendagri ini tidak berlebihan untuk dijadikan pengingat bahwa rezim ini tidak bisa dipercaya. Inmendagri yang dicabut itu memperlihatkan bahwa bilamana mereka terpilih kembali tahun depan untuk berkuasa lima tahun lagi, maka tindakan rezim ini untuk memusuhi umat Islam akan semakin keras lagi.
Sekarang, semua kita wajar tidak percaya terhadap segala macam upaya rezim untuk mencitrakan dirinya ramah terhadap Islam dan umat Islam. Seratus persen tak bisa dipercaya. Hanya basa-basi. Sekadar pencitraan.
Aslinya mereka tak nyaman terhadap Islam dan umat Islam. Tak nyaman melihat semamkin banyak pegawai negeri perempuan yang berjilbab syariah di kantor. Tak nyaman melihat semakin banyak pria muslim yang memelihara janggut. Mereka risih melihat celana laki-laki muslim yang dipendekkan sampai di atas mata kaki.
Itulah yang membuat Tjahjo Kumolo, pada 4 Desember2018, mengeluarkan aturan tentang cara berjilbab di tempat kerja. Saya menduga, dia dan para penguasa secara keseluruhan ingin agar para pegawai negeri tidak menunjukkan identitas Islam.
Ketiga, plin-plan Mendagri perihal aturan berjilbab itu diterbitkan sebagai bagian dari pemaksaan konsep Islam Nusantara. Konsep ini menargetkan umat Islam akan semakin jauh dari syariat agama. Mendagri melakukan itu di lingkungannya. Para ASN muslim tidak boleh tampil terlalu islami dari segi busana.
Keempat, plin-plan Mendagri ini merupakan penegasan bahwa rezim dzolim di negara ini tiba-tiba tersentak. Tersadar bahwa aturan berjilbab, berjanggut dan bercelana itu bisa menyulut perlawanan dari kalangan aparatut sipil negara (ASN) muslim.
Aturan baru itu bisa menyebabkan seluruh ASN muslim mendukung Prabowo-Sandi di pilpres 2019. Padahal, tanpa aturan baru ini saja diperkirakan sebagian besar pegawai negeri akan memberikan suara untuk Prabowo.
Pada saat ini, petahana boleh dikatakan sudah memasuki babak kalang kabut menghadapi lawan tanding. Kubu petahana bagaikan tak tahu mau berbuat apa. Elektabilitas petahana menurun terus. Aturan berjilbab yang dicabut itu bisa-bisa semakin mempercepat keanjlokan mereka.
Jadi, walaupun Mendagri mencabut aturan berjilab dan berjanggut itu, sebenarnya di alam bawah sadar, beliau tidak suka Islam. Dan menurut hemat saya, bukan Tjahjo saja yang bersikap begitu. Rata-rata pemegang kekuasaan dan para politisi dari partai-partai penista agama memiliki sikap yang sama. Mereka tak sudi dengan umat Islam.***
*Sumber: fb penulis