Oleh: Ustadz Felix Siauw
(Mualaf)
Saat saya belum Muslim, saya sangat tergangu dengan orang yang ingin menampakkan simbol-simbol Islam pada dirinya. Risih, tak suka, rikuh, terganggu.
Saya membatin, "Ngapain sih, sok agamis?! Biasa aja kali, hubungan sama Tuhan kok dipamer-pamerin, paling juga hatinya gak sebagus tampilannya", begitu.
Itu terjadi kalau saya menjumpai orang berkerudung, berpeci, dengan janggut, atau orang-orang yang sedikit-sedikit menyebut Tuhannya.
Apalagi orang poligami, waduh, langsung deh saya cap, "Ini orang mabok agama", "Ini orang selingkuh bertopeng agama", dan setumpuk penilaian lainnya.
Sekarang saya sadar, yang saya tak suka bukan efek poligaminya, bukan poligaminya, yang saya tak suka adalah agamanya, Islamnya, itu.
Saya tak suka bila ada orang yang membawa-bawa agama dalam kehidupan. "Come on man, ini sudah modern gitu loh", agama bagi saya masa lampau.
Setelah saya mulai tertarik dengan Islam, saya mulai membuka-buka buku tentang poligami, tentang pernikahan dalam Islam, tentang cara Islam perlakukan wanita.
Saya menanyakan tentang bagaimana goal rumahtangga dalam Islam, benarkah Islam itu mendiskriminasi wanita, apakah Islam itu adil pada wanita.
Yang saya dapatkan, mind blowing (sangat mengejutkan). Islam tak hanya mengatur wanita, Islam merevolusi secara radikal cara manusia memuliakan wanita.
Saya memahami dari situ, ada 2 penyebab orang menolak syariat. Pertama, tidak paham, dan ini bisa diberitahu. Kedua, memang tak suka dengan Islamnya.
Seharusnya sebagai Muslim, tanggung jawabnya ya belajar Islam. Agar paham mendudukkan poligami, tidak main tentang dan tak suka, ini mengerikan.
Tak mau dipoligami tak mengapa. Menolak dan menentang hukum poligami, itu lain cerita. Sebab sama saja mempertanyakan hukum Allah pemilik dunia.
Anehnya, poligami dipermasalahkan. Sedang diskotik, dugem, spg wanita setengah telanjang, miras, yang sebabkan rumah tangga hancur, dibiarkan dan didukung.***