[PORTAL-ISLAM.ID] Berulangkali saya dapat pertanyaan: pilpres 2019, siapa yang akan menang? Baru kali ini saya agak sulit menjawab. Kedua Paslon punya peluang menang. Kok bisa? Bukankah elektabilitas Jokowi-Ma’ruf di atas Prabowo-Sandi? Betul. Tapi, masih ada empat bulan. Dalam empat bulan, semua kemungkinan bisa terjadi.
Kenapa saya sulit menjawab? Pertama, waktu masih cukup lama. Tapi bukan itu alasan utamanya. Soal waktu, itu hanya variabel sekunder. Kedua, variabel yang tersedia pada Paslon hampir semuanya lemah. Gak ada yang menonjol dan kuat untuk dijadikan penentu kemenangan.
Jokowi-Ma’ruf sementara unggul. Tapi, tiga bulan ini elektabilitasnya cenderung turun. Apa faktornya? Pertama, kesulitan ekonomi. Rakyat sudah mulai ngeluh soal harga kebutuhan pokok. Mereka tak peduli berapa harga dolar. Yang mereka tahu berapa harga kebutuhan pokok. Susah, mereka teriak. Fakta ini yang membuat elektabilitas Jokowi turun. Kedua, soal komunikasi politik. Paslon dan timnya Jokowi-Ma’ruf sering blunder. Ma’ruf Amin bilang Oktober mobil Esemka diproduksi. Ternyata meleset. Tidak hanya itu, pola menyerang Ma’ruf Amin ikut berkontribusi terhadap turunnya elektabilitas.
Begitu juga dengan Jokowi. Pola pencitraan yang di tahun 2014 jadi “brand”, tak lagi banyak berpengaruh. Framing kesuksesan infrastruktur berhadapan dengan banyak kegagalan pemerintah. Belum lagi narasi Jokowi yang juga mulai tak terkontrol. Kata “sontoloyo”, “genderuwo” dan “tabok” adalah bukti lemahnya komunikasi politik Jokowi.
Di sisi lain, kerja keras Prabowo-Sandi yang blusukan ke pesantren, pedagang kecil, mall, pabrik-pabrik dan pelosok-pelosok desa seolah mulai menyentuh hati rakyat. Kampanye model ini tampaknya cukup efektif. Elektabilitas Prabowo-Sandi naik signifikan. Belum lagi kekuatan umat yang mulai terkonsolidasi secara militan, terutama pasca Reuni 212. Kita akan lihat sebesar apa signifikansi Reuni 212 terhadap elektabilitas Prabowo-Sandi? Juga bagaimana mesin politik umat terkonsolidasi. Di Pilgub Jawa Tengah dan Jawa Barat terbukti signifikan. Melihat jumlah yang hadir di reuni 212 2 Desember lalu, spirit dan militansi umat sepertinya memberi harapan.
Ada satu hal yang tetap harus dijaga oleh tim Prabowo-Sandi. Apa itu? Cara berkomunikasi Prabowo. Karakter Prabowo yang polos, apa adanya dan ceplas-ceplos, sering memancing tim lawan untuk menggorengnya. “Tampang Boyolali” adalah salah satunya. Meski tidak separah Jokowi-Ma’ruf. Tapi jika pola komunikasi semacam ini tidak dikontrol, akan berpotensi menghambat laju kenaikan elektabilitas Prabowo-Sandi.
Bagaimana soal visi, misi dan program kedua paslon? Ini bukan variabel penentu kemenangan. Ironis ya? Begitulah adanya. Kecuali bagi sebagian kecil kaum berpendidikan dan masyarakat perkotaan. Kalah menang lebih banyak ditentukan oleh citra dan cara bicara Paslon. Begitulah kualitas demokrasi kita. Baru selevel itu.
Demokrasi yang cenderung abai dan sepi dari eksplorasi visi, misi dan gagasan disebabkan pertama, menguatnya pragmatisme politik yang mendominasi seluruh ruang demokrasi. Kedua, melemahnya fungsi pers sebagai social and power control, balancing dan educating. Ketiga, absennya kaum intelektual. Tampak sekali, demokrasi kita berjalan ke arah yang makin tersesat. Itulah faktanya.
Kembali soal menang-kalah, januari, atau maksimal pebruari, baru bisa diraba. Jika selisih suara kedua Paslon di bawah empat persen, maka diprediksi Jokowi-Ma’ruf kalah. Prabowo-Sandi yang akan menjadi pemenang. Bagaimana menganalisisnya? Selisih di bawah empat persen, berarti elektabilitas Jokowi-Ma’ruf anjlok. Turun bebas. Sementara Prabowo-Sandi naik drastis. Waktu tersisa dua bulan cukup untuk menyalip. Kalau sudah begitu, maka donatur, media dan dukungan luar negeri hampir pasti berbalik. Akan ada gelombang pendukung yang meninggalkan Jokowi-Ma’ruf. Dan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf akan semakin terjun bebas. Situasi ini akan memicu kepanikan. Semakin panik, maka akan semakin produktif menciptakan blunder politik.
Jika media saat ini, meminjam istilahnya Rocky Gerung, “terpaksa” berperan jadi humas kekuasaan, maka bulan pebruari bisa berbalik, dan akan sangat kritis terhadap kekuasaan. Sandera dan tekanan tak lagi mempan.
Begitu juga rakyat yang anti rezim. Mereka akan semakin berani, berenergi dan menguatkan konsolidasi untuk melakukan perlawanan politik yang lebih masif. Termasuk mereka yang selama ini merasa jadi korban sandera, intimidasi, persekusi dan kriminalisasi. Akan ada akumulasi kekecewaan yang berubah jadi konsolidasi politik yang sangat kuat perlawanannya. Boleh jadi, saat itu akan terjadi “eforia” perlawanan. Mirip Pilgub DKI 2017 silam.
Jika eksodus pemilih terjadi, maka partai politik kemungkinan akan ikut beradaptasi. Sejumlah parpol pendukung Jokowi diprediksi akan membelot. Tidak akan menyatakan tarik dukungan. Cukup mereka kampanye: “Pilih Prabowo-Sandi dan caleg kami”. Lalu caleg-caleg Golkar, PKB dan PPP memasang baliho, mendampingkan fotonya dengan gambar Prabowo-Sandi. Ini bisa terjadi jika elektabilitas kedua capres-cawapres sudah berimbang.
Tapi, jika selisih suara antara kedua Paslon kisaran sepuluh persen, sulit bagi Prabowo-Sandi mengejarnya. Peluang kalah akan lebih besar. Waktu tersisa dua bulan tak cukup untuk melampauinya. Kecuali ada peristiwa besar yang bisa membalik situasi. Itu sangat kecil kemungkinannya.
Namun jika selisih Paslon kisaran empat sampai lima persen, persaingan akan sangat ketat. Maka faktor kemenangan akan ditentukan oleh pertama, debat kandidat. Kedua, siapa yang paling bisa mengontrol blunder. Ketiga, sejauh mana konsolidasi umat pendukung Prabowo-Sandi bisa mengoptimalkan mesin politiknya. Keempat, bagaimana citra Sandi dan program ekonominya mampu menarik simpatik pemilih. Kelima, seefektif apa Jokowi menggunakan fasilitas dan akses kekuasaan untuk mengambil suara pemilih.
Tanda-tanda bahwa Jokowi tergoda untuk menggunakan alat kekuasaan sudah mulai “terindikasi”. Peran aparat dan birokrat sudah bisa dibaca. Terkini, viral video seorang bupati di Jawa Barat berkampanye di hadapan seluruh camat, lurah, ketua RW dan ketua RT. Meski publik sudah memprediksi sebelumnya bahwa ini akan terjadi. Bagaimana para simpatisan dan pendukung Prabowo-Sandi mengontrol ini, akan sangat berpengaruh. Selain kontrol terhadap DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan proses pencoblosan. Jika upaya yang dianggap sebagai “kecurangan” selalu bisa dikontrol, ini akan jadi faktor pengamanan suara bagi Prabowo-Sandi.
Belum terjawab juga ya? Sudah dibilang: tunggu Januari, atau paling telat Februari. Gak sabaran amat!
Penulis: Tony Rosyid