[PORTAL-ISLAM.ID] Kaum proletar memang biasa menjadi bahan politik bagi kaum borjuis untuk menerangkan soal nilai uang dan belanjaan, tanpa sadar kaum borjuis melakukan penghinaan kepada kaum proletar
Sejak kapan kaum borjuis menilai nilai uang dan belanjaannya? ketika mereka dengan santai keluar masuk restoran mahal, membeli kebutuhan puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk penampilan, tinggal dirumah yang bukan kontrakan, pembantu dirumah dengan gaji UMP selalu standby melayani serta kemana-mana pulang dan pergi turun dari mobil milik pribadi
Sementara kaum proletar, setiap hari harus berpikir dan bertarung tentang hidup dan makan, bagaimana berpikir anak-anaknya yang berjumlah lebih dari tiga untuk tetap sehat karena kalau sampai sakit pasti akan ditolak rumah sakit, memenuhi makan minimal satu kali sehari (bukan minimal tetapi mungkin sudah terlalu biasa) untuk tujuh orang didalam rumahnya (pasangan suami istri, dua orang saudara dari daerah yang sedang mencari pekerjaan dan tiga orang anaknya), belum lagi memikirkan sewa rumah kontrakan petakan tiap bulan, ongkos suami bekerja dan anak-anak sekolah dan belum lagi tagihan listrik serta bon utangan warung untuk beli gas dan minyak sayur
Jangan sakiti kaum proletar dengan otak borjuismu, memberitahukan ke semua orang dengan tertawa lepas seolah cerdas, padahal hasilnya tidak realistis
Mengapa kaum borjuis tidak pernah bisa berpikir bahwa ekonomi itu saling terkait satu sama lain, nilai uang (50 ribu) yang didapat adalah hasil bekerja ditempat kerja yang juga terancam ditutup dan dipecat karena kontrak kerja kini tak lebih dari tiga bulan akibat praktek outsourching , nilai uang (50 ribu) adalah nilai ketidapastian karena mengantisipasi ketidakpastian naik atau turun harga kebutuhan dipasar, mengapa kaum borjuis tidak membawa uang 10 ribu saja seperti kaum proletar biasa lakukan ketika ke pasar (karena 10 ribu adalah uang sisa yang bisa dibelanjakan)
Untuk merasakan itu modal utamanya adalah memposisikan, bagaimana kaum borjuis memposisikan kalau menjadi kaum proletar, hidup serba pas-pasan dan standar nilainya pun harus pas-pas an, tidak dengan nilai 50 ribu yang bagi kaum proletar sangat bernilai, pakailah nilai 10 ribu bahkan 5 ribu an itupun dalam kondisi lecek karena hasil uang parkiran
Nilai uang 50 ribu dimata kaum borjuis, mungkin tidak bernilai apa-apa bahkan masih dinilai kurang untuk sekedar memenuhi harga kuota bulanan pada handphone miliknya yang berharga puluhan juta
Sementara nilai 50 ribu bagi kaum proletar adalah nilai kebanggaan bisa untuk ‘senjata’ pegangan bertarung esok hari, bagaimana dirinya bisa bertahan dan bertarung esok hari dengan bekal yang masih ditangan, selalu dihiasi kekuatiran esok akan ditagih penagih utang, kekuatiran esok akan ditagih pemilik kontrakan, kekuatiran esok anaknya ada yang sakit atau kekuatiran esok suaminya akan diberhentikan dari tempat kerjanya dan uang 50 ribu itu bisa dipakai untuk berkeliling kembali mencari kerjaan
Mengapa kaum borjuis tidak berani untuk ikut melawan dan memperjuangkan nasib kaum proletar? karena semua soal nilai uang akhir ujungnya adalah pada pemilik regulasi (kebijakan)
Berharga atau tidak, cukup atau tidak maka lihatlah situasi secara komperhensif (menyeluruh dan lengkap), bagaimana sistem pengupahan, apakah sistem outsorching sudah dihapuskan, sudah baik kah pelayanan kesehatan untuk rakyat miskin, sudah stabilkah harga pangan dan pokok dipasar, bagaimana aksi spekulan dan mafia impor, sudah pemerintah beri perlindungan bagi petani dan nelayan, bla bla bla hingga akhirnya nilai 50 ribu itu bisa jadi penilaian
Dan sangat disayangkan, kaum borjuis hanya membuat soal nilai uang belanjaan cukup tiga hari tersebut, ternyata hanya untuk bahan politik semata, mereka lupakan substansi persoalan regulasi yang ada, dan kembali kaum proletar dilupakan tanpa tersisa
Sengaja menggunakan bahasa kaum borjuis dan kaum proletar dalam bahasan kali ini, semata menyesuaikan bahasan sebutan kaum marhaen dimana sang borjuis calon legislatif tersebut bernaung, yang katanya memiliki tujuan menjadi partai pembela wong cilik, partainya pembela kaum proletar, tapi apakah itu disadarinya?
Penulis: @bang_dw