[PORTAL-ISLAM.ID] Judul di atas saya sadur dari seruan ”Chartaginem Dellendam Esse” atau “Hancurkan Kartago”, kalimat oratoris Latin yang berasal dari Republik Romawi pada abad ke-2 SM, sebelum Perang Punis Ke-3 antara Roma dan Kartago, kekuatan saingan Roma yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi perang. Karena ambisi Roma maka Kartago harus dihancurkan.
Ini metafora untuk menggambarkan apa yang terjadi pada diri Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak di Indonesia maupun dalam pengasingan. Mau tidak mau terpaksa saya menarik kesimpulan: ada upaya sistematis dilakukan untuk menghancurkan reputasi dan ketokohan HRS. Sekaligus sebagai tokoh agama dan tokoh politik.
Ketika Roma berhasil dalam dua yang pertama Punisia, namun mereka menderita penghinaan pada Pertempuran Cannae (216 SM). Kartago harus dihabisi untuk menjamin kita berkuasa selamanya. Kartago memang akhirnya dihancurkan oleh Romawi di tahun 146 SM, penduduknya pun dijual menjadi budak. Dengan demikian tidak pernah lagi menjadi ancaman bagi Roma.
Setidaknya dalam 3 peristiwa menimpa HRS sangat gamblang untuk menganalisis apa yang terjadi terhadap ulama besar ini. Berbagai rekayasa dan pembentukan opini liar oleh —sayangnya media mainstream kini hampir seluruhnya menjadi partisan—untuk menistakan, atau lebih halus men-delegitimasikan keberadaan seorang tokoh. Dia harus dihancurkan, begitu skenario ditulis, karena bukan saja keras (firebrand speaker, istilah media barat), tapi memang karena HRS telah menjadi tokoh penentu terpenting dalam perkembangan politik Indonesia ke depan.
Kenapa dia harus dihancurkan? Apa peranan beliau sehingga perlu dihancurkan? Untuk tujuan apa?
Muhammad Rizieq Shihab, yang lebih dikenal sebagai ‘Habib Rizieq Shihab’, atau HRS, yang kini mengasingkan diri sendiri (in self-imposed exile) untuk menyelamatkan dirinya dari serangkaian ancaman sampai pembunuhan fisik sekaligus karakter dan integritasnya. Serius.
Karena menghindari pembunuhan dan kemungkinan pecah revolusi yang sangat berbahaya di tanah air, maka beliau mengalah untuk mengasingkan diri.
HRS adalah tokoh penggerak gerakan umat Islam dan ulama ‘212’ yang berhasil mengumpulkan massa di satu tempat pada satu waktu sebanyak lebih 5 juta orang, dalam aksi damai, bersih, dan tertib. Sejak hadirnya Indonesia sebagai negeri belum ada seorang tokoh yang bisa mengumpulkan masa sebanyak itu. Aksi 212 itu bukan acara agama, tetapi sebuah event politik.
Siapa HRS tak usah dibahas lagi. Banyak sudah informasi—baik resmi maupun berasal dari sumber liar—yang telah mengulasnya.
Tokoh ini dipandang banyak pihak —termasuk penguasa— orang paling berbahaya, paling berpengaruh dan dijadikan menjadi seteru dalam politik. Wajar, HRS juga tidak disukai bahkan oleh segelintir kecil tokoh Islam dan ulama. Saingan berat. Karena itu, mereka ikut menghancurkan HRS.
Skenario ini berhasil? Kesimpulannya gagal total. HRS —dengan jaringan GNPF dan puluhan ribu ulama, ustadz dan pemuka masyarakat— nyatanya didukung oleh puluhan juta umat Islam. Tidak saja di dalam negeri, juga dari luar negeri, termasuk oleh Saudi Arabia.
Selama berada di pengasingan di Saudi, setidaknya tiga kali HRS berusaha dihancurkan.
Pertama, dikabarkan ‘overstay’ yang oleh Dubes RI di Riyadh Agus Miftah, bahwa HRS status keimigrasian HRS berpotensi dideportasi.
“KBRI siap membela dan melindungi beliau,” kata siaran pers Dubes. Diharapkan, pendukung HRS dan GNPF gempar, mengapa tokoh yang diklaim ulama GNPF menjadi tamu istimewa itu ternyata ‘tidak ada apa-apanya, bahkan terancam dideportasi. Pengerdilan ketokohan HRS menjadi tujuan yang ingin dicapai.
Kedua kalinya, ketika dikabarkan HRS ‘dicekal’ di bandara ketika hendak berangkat ke Malaysia untuk urusan studinya. KBRI pun dikatakan ‘pasang badan’ di bawah rubrik perlindungan masyarakat di luar negeri ‘akan membela’. Dikesankan, tanpa bantuan KBRI maka HRS berpotensi ditahan. Berita hoax pencekalan ini juga bersumber dari Dubes RI Riyadh.
Ketiga kalinya, ketika rumah HRS di Makkah ditempeli bendera, difoto dan dilaporkan menjadi markas gerakan teroris. Seketika, foto HRS berbincang dengan polisi di depan rumahnya menyebar ke tanah air bersama dengan ‘siaran pers’ Dubes RI Riyadh. Dikabarkan oleh Dubes bahwa HRS ditahan untuk dimintai keterangan soal laporan markas teroris itu di rumahnya.
“Dubes segera mengirim pasukan khusus diplomat, dan atas jaminan KBRI barulah HRS dilepaskan dan kembali ke rumah,” dengan sarkas Dubes RI Riyadh. Pembohongan publik yang terang-terangan.
Dalam kasus ketiga soal bendera ini, skenario yang dikembangkan adalah untuk membuat persoalan hukum dan mengadu-domba antara HRS dengan pemerintah KSA.
Yang menyentak saya dan langsung merasakan keganjilan adalah ketika Kapitra Ampera, mantan pengacara HRS yang telah dipecat karena menyeberang, ikut membumbui cerita. Entah atas mandat dari mana, Kapitra membuat wawancara dengan sejumlah media. Dan ‘media bayaran’ ini ‘pura-pura tidak tahu’ bahwa Kapitra telah dipecat langsung memuat wawancara itu. Ini rekayasa pembentukan opini liar.
Kejadian terakhir ini membuat HRS berang. Beliau meminta agar Dubes RI di Riyadh Agus Maftuh Abegebriel tidak menyebar informasi yang tidak benar. HRS menyatakan tidak ada pendampingan apalagi jaminan dari KBRI sehingga dia dibebaskan. Tidak ada itu pasukan khusus diplomat. HRS menegaskan dia tidak pernah ditahan sebagaimana klaim Dubes Agus Maftuh.
Tiga kali heboh soal HRS di tanah air, dan tiga kali pula sumbernya dari Dubes RI Riyadh Agus Miftah. Dan terbukti semua ‘press release’ yang jauh dari standar komunikasi diplomatik ini penuh rekayasa kebohongan yang terbantah dengan terungkapnya fakta-fakta dari sumber otoritas: Pemerintah Kingdom of Saudi Arabia (KSA). Berita plintiran bersumber dari instansi negara ini sangat disesalkan. Dan, semakin meyakinkan saya memang ada upaya sistematis untuk merusak dan menghancurkan reputasi dan ketokohan HRS: Rieziqem Dellendam Esse!
Dan, entah kebetulan. Tak lama pecah soal bendera, sebuah lembaga survey mengeluarkan hasil survey yang menyatakan “HRS menduduki tokoh kelima yang didengar umat Islam di Indonesia. Kedudukan beliau merosot karena sudah lama tidak tinggal di Indonesia.”
Saya yakin ‘survey’ ini bagian dari skenario yang dimainkan. Beberapa pengamat mengatakan, target jangka-pendek adalah menggagalkan rencana reuni 212 pada tanggal 2 Desember 2018 mendatang di Monas. Apa target jangka panjang? Ya, pemilu di bulan April 2019 itu. Jika HRS tergerus maka mission accomplished, begitu kata teman. Tanpa hambatan, maka Anda akan berada di jalan tol!
Saya berkomentar keras di Twitter bahwa tindakan Dubes RI Riyadh dengan mengeluarkan ‘siaran pers’ itu tidak sesuai dengan norma, tindakan, dan praktik diplomasi kita. “Ini sangat tidak profesional dan jauh di bawah standar kita,” setelah saya teliti bentuk ‘siaran pers’, format dan substansinya.
Pada kasus pertama, diklaim Dubes RI bahwa HRS ‘overstay’. Bagaimana seorang dubes Indonesia berani mengklaim informasi mengenai status keimigrasian HRS yang sebenarnya adalah ‘politis’ dan merupakan kewenangan host country, pemerintah KSA. Poin ini telah diklarifikasi Dubes KSA di Jakarta: “Habib adalah ulama terhormat dan keberadaannya di KSA adalah sebagai tamu istimewa. Beliau bisa tinggal di KSA sampai kapan beliau mau!”
Pada kasus kedua, soal ‘cekal’. Pertanyaan saya sama dengan soal pertama: “Bagaimana Dubes RI sok lebih tahu dari Dubes KSA tentang apa yang terjadi di bandara Saudi, dan juga menyebut ini berkaitan dengan soal ‘overstay’. Cekal itu istilah hukum, kita faham apa maknanya. Berani betul membuat kebohongan ini.
Mengapa HRS dianjurkan tidak berangkat? Karena dicekal? Poin ini juga diklarifikasi oleh Dubes KSA di Jakarta: “Habib adalah ulama terhormat. Adalah kepentingan KSA untuk menjaga keselamatan beliau!” Di sini tersirat adanya rencana jahat akan menimpa HRS jika beliau tetap berangkat ke Malaysia.
“Akan dibunuh atau minimal dicelakakan di Malaysia? Oleh siapa?” itu pertanyaan publik di Indonesia. Sayang wartawan TV One yang mewawancarai Dubes KSA tidak mencecar penjelasan lanjutan Dubes KSA. Tetapi, secara bersayap saya membaca statement dan body language Dubes Osama yang betul-betul mengekspresikan kekhawatiran. Siapa yang mengancam dan pihak mana yang ingin mencelakakan beliau?
Saya menulis artikel ini setelah beberapa reaksi yang saya tulis di timeline Twitter menjadi viral karena gara-gara pemasangan bendera di dinding rumah HRS di Makkah yang penuh rekayasa. Dubes RI untuk Saudi Arabia secara heroik ‘membumbui’ beria itu mengopinikan bahwa HRS kembali menghadapi masalah hukum di KSA. Kali ini berpotensi dihukum berat! Waduh KBRI pun hancur berantakan!
Duta Besar Arab Saudi Osama bin Mohammed Al-Shuaibi menganggap Imam Besar HRS sebagai korban dari kelompok tertentu yang ingin menciptakan instabilitas. KSA menyebut Rizieq adalah orang baik, pemimpin umat Islam dan berakhlak mulia. Lawan-lawan politik HRS bersama GNPF dan FPI pun tak berkutik, tak berani membantah. Ini yang bicara adalah sumber otoritas. Dubes Osama menegaskan soal status keimigrasian Rizieq di Arab Saudi sama sekali tidak bermasalah. Dubes Arab Saudi juga membantah keterangan Dubes RI Agus Miftah bahwa Rizieq ditangkap oleh kepolisian setempat saat kejadian pemasangan bendera di belakang rumahnya. Pada kenyataannya, HRS hanya diminta keterangan. Menurut Dubes Osama, HRS adalah pemimpin umat Islam, warga negara Indonesia, banyak pendukung, berakhlak mulia, bukan tersangka dan dia hidup aman bebas di negara Arab Saudi. Dia bukan sosok yang menakutkan, kata Dubes Osama.
“HRS itu adalah korban dari kelompok tertentu yang sengaja menciptakan instabilitas,” lanjutnya.
Isu ‘HRS overstay’ yang bersumber dari KBRI Riyadh itu disiarkan meluas oleh media abal-abal kita. Dubes Osama telah membantah gamblang ketika bertemu dengan PP Muhammadiyah. Habib tidak memiliki masalah izin tinggal sebagaimana dihembus-hembuskan oleh Dubes Agus Miftah.
Bagaimana soal bendera? “Bendera tauhid yang ada tulisan kalimat lailahaillallah, kalimat itu memiliki arti penting bagi umat Islam," kata Dubes Saudi.
“Kalau bendera itu diletakkan di dinding seseorang, maka perlu dicari tahu siapa yang berbuat seperti itu. Jika ada yang menaruh bendera di rumah Anda, Anda dianggap kriminal? Tidak. Yang kita sayangkan justru pembakaran kalimat tauhid,” kata Dubes Saudi. Sekali tembak dua burung jatuh! Tak sulit menebak ini permainan siapa. Targetnya juga terbaca jelas: Rizieqem Dellendam Esse! Ulasan saya di Twitter, lalu video keterangan HRS yang disiarkan, dan akhirnya semua dikonfirmasi oleh Dubes Saudi Osama menunjukkan konsistensi bahwa kebenaran adalah kebenaran. Semua isu itu adalah kebohongan dan rekayasa.
Setelah tiga kejadian ini saya kira ‘operasi penghancuran HRS’ tidak efektif lagi. Malah semakin menunjukkan kebesaran dan poin yang diraih HRS. Mari kita tunggu, apakah isu baru akan dimunculkan lagi yang bersumber dari KBRI Riyahd. Saya pikir, dengan terbuka secara gamblang skenario “Rizieqem Dellendam Esse” telah gagal. Kita pantaulah.
Ke depan, pemerintah harus memilih dubes yang amanah, profesional dan berintegritas di wilayah-wilayah negara strategis, termasuk di Saudi Arabia. Kepentingan kita lebih besar di sini daripada kepentingan Saudi di Indonesia. Jangan sekadar ‘bisa berbahasa Arab’.
Penulis: Haz Pohan