[PORTAL-ISLAM.ID] Saya dan Ferry Juliantono (Gerindra) terlibat pro kontra soal baju kebesaran Prabowo Subianto beberapa waktu yang lalu. Ferry berargumentasi bahwa sebaiknya Prabowo mengganti penampipannya dengan memakai baju yang lebih millenial, yang menunjukkan simbol adanya “new Prabowo”, sebaliknya saya tetap berpendapat Prabowo memang karakternya, ucapannya, dan seluruh langkah yang dia perlihatkan di publik sesuai dengan baju kebesaran dia tersebut.
Baju kebesaran Prabowo adalah baju yang mirip digunakan Bung Karno dan Mao Ze Dong (pemimpin recolusi RRC). Model baju dengan bahan tebal dan 4 kantong.
Ferry menilai bahwa baju seperti itu sudah “out of date”, jaman millenial ini rakyat butuh penampilan yang lebih casual, enak dilihat dan mengalir. Sebaliknya, saya melihat bahwa rakyat saat ini butuh melihat pemimpin yang teguh, keras seperti cadas.
Argumen Ferry bersandar pada pemikiran Henrys and Jeremy Heimans, 2018, dalam bukunya, “New Power: How It’s Changing thr 21st Century and Why You Need To Know”, Sedangkan saya, lebih bersandar pada John Judis, 2016, dalam bukunya, “the Populist Explosion: How the Great Recession Transformed American and European Politics”.
Dalam buku “New Power”, masyarakat digambarkan ke arah perubahan di mana nilai-nilai lama seperti kepemimpinan yang sentral, loyalitas pada “brand”, afiliasi berjangka panjang, firmalitas, kompetisi, institusionalisme, ekslusif berubah menjadi informal, “opt-in decision making”, kolaborasi, sharing, transparansi total, desentralisasi, partisipasi dsb. Model lama diilustrasikan misalnya seperti Apple atau Coca Cola, sedang model baru seperti Wikipedia atau AirBnB.
Sebaliknya, Judis dalam the Populist memperlihatkan perhelatan terbesar di Amerika pada pilpres 2016 adalah pada Bernie Sanders dan Trump. Hillary tidak. Sanders yang tadinya diremehkan, malah menjadi bintang dengan ide idenya yang kokoh tentang nasionalis-sosialisme Amerika. Meskipun akhirnya Hillary yang melaju dari Partai Demokrat, bukan Sanders.
Trump, yang menjadi presiden Amerika, juga seperti Sanders, (dalam hal idea yang extra ordinary) menawarkan gagasan ultra nasionalistik (white supremacist) dan lapangan kerja bagi rakyat. Fenomena Sanders dan Trump adalah fenomena kebangkitan nasionalisme yang bukan “new power”, melainkan “old power”.
Gagasan Besar Prabowo
Orang-orang besar selalu hidup dengan gagasan besar. Dalam melihat kebesaran Prabowo, tentu saja kita bisa mengamati beberapa pikiran, sikap dan langkahnya beberapa waktu terakhir ini. Diantaranya adalah pertama, Anti Impor. Orang-orang banyak yang merasa ganjil, geli atau menyepelekan soal pikiran Prabowo soal tidak lagi mengimpor nantinya. Namun, di balik statemen Prabowo ini sesungguhnya adalah sebuah sikap hidupnya bahwa bangsa ini hanya bisa menjadi bangsa yang berproduksi (industrial society) jika dan hanya jika penyakit senang impor dari masa sekarang di bumi hanguskan.
Statemen Prabowo ini tidak bertentangan dengan pikiran bapaknya yang salah satu ikut mendirikan jurusan ilmu ekonomi di Universitas Indonesia itu. Justru ini adalah sebuah pesan moral dan sebuah revolusi mental yang urgen segera dilakukan, karena ancaman terbesar bangsa kita adalah penyakit impor (import minded).
Anti impor ini menemukan momentum saat ino karena dua hal yakni: a) saatnya Indonesia masuk kembali ke tema Industrialisasi, di mana kita harus memproduksi barang-barang konsumsi kita sendiri, semaksimal mungkin. Impor hanya dijadikan alat bantu. b) dalam masa era Trump dan “Brexit”, di mana kaum globalis lama (WTO, IMF dan World Bank) tersudut, dan tema supermasi negara bangsa hadir, Indonesia punya kesempatan mengurus diri sendiri tanpa banyak campur tangan asing.
Kedua, “topi Tauhid”. Kemarin Prabowo memamerkan dirinya memakai topi bertuliskan La Ilaha Ilallah. Dengan simbol ini Prabowo menegaskan dirinya terkait dengan sebuah ruh yang terkoneksi dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sekaligus terkoneksi dengan sejarah kebangsaan kita yang dibebaskan dari Belanda dengan takbir.
Dengan simbolik ini, Prabowo menunjukkan identitas kepemimpinannya bukan tipe pemimpin yang “mengalir”, melainkan pemimpin yang teguh dengan nilai.
Sekaligus juga menunjukkan tema sosialistik yang sering diusungnya bertemu dengan Islamisme. Sebuah pemikiran besar yang dapat dirujuk pada founding father Soekarno, yang mencari pondasi kebangsaan kita pada Islamisme, Sosialisme dan Nasionalisme.
Ketiga, “tampang Boyolali”. Dalam pidato utuh Prabowo di Boyolali yang jadi kontroversial saat ini, sejatinya Prabowo justru menegaskan kembali keberpihakannya pada rakyat jelata, rakyat desa, dan sekaligus anti pada pembangunan yang kapitalistik saat ini. Prabowo menunjukkan penyakit besar bangsa ini adalah kesenjangan sosial, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Berbeda dengan kasus rasis yang bersamaan waktunya saat ini heboh di USA, ketika presenter terkenal Megyn Kelly of NBC mempersoalkan “wajah hitam” (black face), Prabowo tidak masuk pada tema rasisme. Sebagai pemimpin Prabowo meyakini “equality”, “sharing prosperity”, “sama rata sama rasa”, adalah kunci dan hanya kunci bagi keberlangsungan Indonesia. Jadi tema keadilan sosial dan tema rakyat sejahtera terpatri dalam jiwa Prabowo.
Tentu banyak lagi langkah-langkah dan simbolik yang bisa dipelajari dari Prabowo secara ilmiah. Yang membutuhkan prngamatan lebih lanjut tentunya. Begitupun 3 hal ini sudah cukup untuk sementara membuktikan arah kepemimpinan nasionalistik- sosialistiknya.
Ratu Adil
“Old Power” bukannya “New Power” dalam sisi Prabowo Subianto tentu meresahkan Ferry Juliantono. Namun, situasi krisis bangsa kita yang nyaris terpecah belah dengan ketimpangan sosial yang sudah melampaui angka-angka statistik resmi, meyakinkan saya bahwa Prabowo itu adalah Ratu Adil.
Ratu Adil memang menyakitkan bagi demokrasi. Sebab, rakyat akan lebih hormat pada pemimpinnya dan keputusan-keputusannya. Ratu adil adalah sebuah konsep pemimpin sejati yang adil, altruism, dedikasi untuk rakyatnya. Bukan pemimpin untuk memperkaya diri.
Ratu adil memang hanya mungkin terjadi manakala keputusaasaan rakyat (desperate society) sudah maksimum. Fenomena itu saat ini sudah benar-benar membayangi bangsa kita. Seperti kehancuran indusri, kemiskinan parah, ketimpangan, jeratan hutang berbiaya tinggi, dlsb.
Sebagai masyarakat yang beradab, tentunya kita harus pula menyambut kemungkinan datangnya Ratu Adil ini dengan kerja keras dan doa.
Penulis: Syahganda Nainggolan