Netralitas Media:
Prabowo As* Vs Tampang Boyolali
Oleh: Hersubeno Arief
(Wartawan senior)
Mari kita lanjutkan perbincangan tentang kebebasan dan netralitas media. Mumpung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mempersoalkan pentingnya kebebasan media melakukan liputan. Bebas dari tekanan, bebas menentukan sudut pandang (angle) peliputan dan penulisan berita.
Dua kasus terbaru guyonan Prabowo tentang “tampang Boyolali” dan makian Bupati Boyolali Seno Samodro “Prabowo As*,” bisa memandu kita untuk memahami realitas yang disebut sebagai “Independen dan kebebasan media .”
Untuk menelaah dua kasus ini sebaiknya kita lepaskan bias sebagai pendukung Jokowi, atau pendukung Prabowo. Dengan begitu kita bisa menelaahnya dengan kepala dingin, tidak berpihak, tidak ada noise, dan bias kepentingan.
Dalam kasus “tampang Boyolali,” jika sepakat dengan namanya kebebasan pers, kita bisa memahami mengapa media-media arus utama (mainstream) menganggap berita ini penting dan layak dijadikan running issue, dalam bahasa yang lebih populer, namun dalam konotasi yang negatif disebut sebagai menggoreng.
Prabowo adalah public figure. Dia seorang capres yang akan berlaga pada Pilpres 2019. Jadi apapun ucapan dan tindakannya menarik untuk dijadikan berita. Mari kita ambil contoh detik.com. Media ini kita pilih karena jumlah pembacanya saat ini terbesar di Indonesia.
Jumat (2/11/2018) detik.com menggunggah berita “Viral Prabowo Bicara “Tampang Boyolali”. Dalam berita tersebut diungkap adanya potongan pidato Prabowo selama 20 Detik. “Saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel tersebut. Betul?” kata Prabowo dalam video tersebut dan disambut jawaban “betul” dari hadirin acara.
“Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Kalian tampang kalian tidak tampang orang kaya. Tampang-tampang kalian ya tampang Boyolali ini,” lanjut Prabowo.
Tak lama setelah berita tersebut tayang, detik.com mewawancarai para nara sumber dari partai koalisi pendukung Jokowi-ma’ruf Amin. Mulai dari Golkar, PKB, PPP, dan tentu saja yang tidak pernah absen, Hanura, dan PSI. Politisi Golkar Ace Hasan Sadzili menilai Prabowo hanya bercanda, tapi tidak pas. Wasekjen PKB Daniel Johan juga berpendapat sama. Prabowo sedang bercanda, tapi kurang tepat. Namun Daniel mengajak publik untuk melihat ada pesan semangat yang dibawa Prabowo untuk kesejahteraan rakyat. Sama dengan Jokowi.
Wakil Sekjen PPP Achmad Baidlowi melihat hal itu sebagai kebiasaan Prabowo yang tidak bisa diubah. Politisi Hanura Inas Nasrullah melihatnya sebagai “gaya komunikasi politik Prabowo yang amburadul”. Bagaimana dengan PSI? Juru bicara PSI Dedek Prayudi mengingatkan hal itu termasuk body shaming, menjadikan kondisi tubuh orang lain sebagai bahan tertawaan. Detik.com juga menampilkan bantahan dari jubir Prabowo-Sandi Faldo Maldani.
Menariknya Detik.com juga memanfaatkan isu itu untuk menulis tentang siapa tokoh-tokoh besar yang berasal dan lahir di Boyolali. Media ini bahkan sampai menurunkan berita yang tidak ada hubungannya dengan isu tersebut, yakni kuliner dan tempat-tempat wisata di Boyolali.
Dapat disimpulkan detik.com mengganggap isu ini sangat menarik. Karena itu beritanya diturunkan berhari-hari. Sejumlah media lain seperti tribun.com juga melakukan hal yang sama.
Tidak diberitakan
Bagaimana dengan orasi Bupati Boyolali Seno Samodro yang memaki Prabowo As*?
Ternyata tidak ada satupun media arus besar termasuk detik.com yang menulis berita tersebut. Padahal orasi tersebut disampaikan saat menerima para pengunjukrasa yang memprotes pidato Prabowo.
Aksi unjukrasa warga bertajuk “Boyolali Bermatabat” itu diliput secara besar-besaran oleh media cetak, online, dan televisi. Agak aneh mereka bisa “luput” secara berjamaah mencermati orasi Seno.
Seharusnya sebagai wartawan ketika ada seorang pejabat publik, memaki seorang capres dengan kata-kata yang sangat kasar dan tak pantas, “As*, ” mereka menjadi “seekor hiu pemburu yang mencium bau darah,” Apalagi pejabat publik itu berada di kubu lawan. Jelas ini akan menjadi skandal politik yang serius.
Naluri sebagai wartawan pasti langsung menangkapnya sebagai sebuah isu besar. Sangat besar malah. Sangat aneh bila mereka malah memutuskan untuk tidak memuatnya. Makian As* (anjixx) dalam bahasa Jawa levelnya sangat jauh di atas “Sontoloyo,” apalagi “tampang Boyolali.” Ini benar-benar sebuah penghinaan bagi orang Jawa yang penuh tata krama, sopan santun.
Mengapa ketika Prabowo guyon “tampang Boyolali,” menjadi sangat heboh, digoreng berhari-hari bahkan sampai membuat warga berunjukrasa? Sementara ketika Seno memaki As*, sama sekali tidak diberitakan. Apalagi digoreng?
Harusnya kalau menggunakan pakemnya detik.com, mereka mewawancarai semua jubir partai pendukung Prabowo. Kalau perlu buat artikel tentang berbagai jenis anjing. Termasuk jenis manakah yang dimaksud oleh Bupati Boyolali…he…..he….hue……hue…
“Tampang Boyolali” jelas guyon antar-keluarga. Sebab Prabowo bicara di depan pendukungnya sendiri. Mereka malah tertawa-tawa mendengar ucapan Prabowo. Kalau toh dianggap salah, itu hanya semacam terselip lidah (slip of tounge), tidak sensitif. Tapi jelas bukan kejahatan. Sebaliknya memaki orang lain dengan kata “as*” jelas merupakan sebuah ujaran kebencian. Ada kemarahan, niat jahat (mens rea).
Mengapa makian itu malah di-black out? Nasibnya sama dengan aksi unjukrasa Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) dan unjukrasa ribuan guru honorer di Istana. Beritanya hanya muncul di media-media online pinggiran dan medsos. Media mainstream baru bergerak memberitakannya setelah ada pelaporan ke Bareskrim Polri.
Apakah ini bentuk independensi, dan kebebasan, atau kalau mau sedikit gagah, ada semacam self censorship, ada kesadaran bahwa ucapan itu tidak layak, dan bisa berbahaya bila diungkap ke publik? Atau ada kepentingan lain?
Pertanyaan-pertanyaan penting itu harus bisa dijawab oleh media, dan tentu saja asosiasi wartawan seperti AJI, sebelum berteriak dengan gagah tentang pentingnya menjunjung tinggi sebuah kebebasan. Selain kebebasan, independen, berlaku adil, memberitakan secara seimbang adalah prinsip-prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi seorang wartawan.
Tampaknya media di Indonesia telah memasuki sebuah situasi yang sangat menyedihkan. Kooptasi oleh penguasa membuat media bukan lagi sebagai watch dog, penjaga demokrasi yang siap menggonggong ketika kekuasaan telah menyimpang. Media telah menjadi corong yang efektif bagi penguasa, dan alat menindas yang efektif bagi kelompok oposisi.
Seperti telah diingatkan oleh James dan Lance Morcan dalam bukunya yang sangat laris The Orphan Conspiracies: 29 Conspiracy Theories from The Orphan Trilogy, “It’s becoming obvious to most that mainstream media is nothing but a megaphone for the global elite to present biased news that’s designed to align the masses with their agenda.”
“Sangat jelas bagi kebanyakan orang bahwa media mainstream tidak lebih dari corong bagi elit (global) untuk menyajikan berita yang bias, yang dirancang untuk menyelaraskan massa dengan agenda mereka.”
Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/netralitas-media-prabowo-asx-anjixx-vs-tampang-boyolali/