[PORTAL-ISLAM.ID] Sikap kompromi terkesan baik. Dianggap moderat, tawashut, akomodatif, dan bersahabat. Lawannya adalah konfrontatif. Dikesankan bikin gaduh, kontra produktif, gak matang dalam berpolitik, dan macam-macam. Narasi ini bisa benar, tapi bisa juga salah. Bergantung subyeknya.
Jika anda melanggar lalu lintas, gak bawa SIM misalnya, lalu anda berkompromi atau mau diajak kompromi, ini tentu negatif. Kompromi negatif ini merajalela, baik di ranah hukum, di kantor birokrasi, juga terutama di dunia politik.
Cerita Mahfud MD tentang seorang calon presiden akan mendapat dukungan ormas kalau wakilnya dari ormas, ini juga bagian dari kompromi di bidang politik. Tapi, kurang pas. Sebab, tidak berbasis kepada program kerakyatan. Tapi lebih pada kepentingan sektarian dan mengamankan kelompok.
Basis kerakyatan itu misalnya, ormas kami siap digerakkan untuk mendukung jika ketergantungan ekonomi kepada asing dikurangi. Aturan terhadap investasi asing diperketat. Ketahanan ekonomi berbasis UMKM diperkuat dan jadi prioritas. Membuka lahan buat tenaga kerja dalam negeri, bukan tenaga kerja asing. Impor bahan pokok dikendalikan dan tidak jor-joran, sehingga tidak merusak harga dari petani. BBM tidak naik supaya harga-harga tidak melambung tinggi. Nah, kalau kontrak politiknya begini, keren nih calon pemimpin.
Tapi, jangan juga semata-mata kontrak politik. Obral janji memang sebuah keniscayaan berpolitik, terutama menjelang pemilu. Tapi, mesti harus disesuaikan dengan kemungkinan dan kemampuan untuk merealisasikan. Kata “merealisasikan” itu tidak berbasis pada survei dan persepsi publik, tapi pada data.
Dinamika kompromistis itu terjadi di pusat maupun di daerah. Di pusat antara kepala negara dengan DPR. Di daerah, antara kepala daerah dengan DPRD. Berlaku tradisi dan mental yang hampir mirip. Bedanya, jika di pusat penguasanya adalah presiden, maka di daerah anggota DPRD biasanya lebih galak dari kepala daerah.
Teorinya, penguasa yang kuat bisa menekan DPR. Era Orla dan Orba merepresentasikan itu. Era reformasi? DPR menguat. Tapi, berangsur melemah, terutama ketika mayoritas partai bergabung ke penguasa.
Sementara di daerah, DPRD hampir selalu lebih kuat. Kecuali sedikit daerah dimana kepala daerah punya investasi kepada anggota DPRD saat mereka masih jadi caleg.
Tak sedikit kepala daerah yang kabarnya ditekan. Program dipersulit untuk lolos, anggaran dipangkas, terutama terkait dengan program potensial bagi kepala daerah yang sedang bersemangat membangun prestasinya. Ujungnya? Kompromi. Ada deal dan kompensasi. Bisa dengan dana aspirasi. Bisa juga dengan projek-projek yang memberi keuntungan buat anggota DPRD. Bisa apa saja. Kasih mainan, beres. Itulah kalimat yang sering didengar publik.
Nah, kompromi terutama model yang kedua ini gak pas. Melanggar aturan, dan berpotensi merugikan negara. Kompromi semacam ini telah menelan banyak korban di KPK.
Adu kuat kepala daerah dengan DPRD seringkali terjadi terkait hal-hal macam begini. Apalagi jika kepala daerah hanya didukung oleh partai minoritas seperti di DKI Jakarta. Eskalasinya relatif tinggi. Potensi adanya hambatan dan tantangannya lebih besar. Lagi-lagi, biasanya berupa pemangkasan anggaran dan mengganggu kinerja kepala daerah.
Penghentian proyek reklamasi dan penutupan Alexis di DKI, seperti jadi petunjuk bahwa Gubernur Jakarta bukan tipe kepala daerah yang kompromistis jika terkait pelanggaran terhadap aturan. “Jangan coba-coba merupiahkan otoritas ini,” begitulah kata-kata Anies yang sempat populer.
Beda Anies, beda Jokowi. Jokowi memilih untuk mengajak gabung partai-partai yang semula oposisi, jadi koalisi. Langkah Jokowi bisa dipahami sebagai upaya untuk kompromi di Senayan. Ini keputusan cerdas dan strategis. Hanya masalahnya, harus mengorbankan janji politiknya di 2014: mengisi mayoritas kabinet dari kalangan profesional. Bagaimana kompromi macam ini? Serahkan saja kepada rakyat untuk menilai. Di pilpres 2019 akan bisa dilihat nilainya. Kendati ini bukan satu-satunya variabel penilaian.
Di dunia politik, pemimpin akan selalu dihadapkan pada situasi dilematis. Berkompromi atau konfrontasi. Itulah pilihannya. Disinilah kemampuan dan kematangan berkomunikasi seorang pemimpin akan diuji. Apakah akan menyerah? Dengan bersepakat melanggar aturan. Atau konfrontatif? Sehingga akan terus menerus terjadi rivalitas dan saling ancam. Terutama jika pemimpin itu bertipe temperamental. Lidahnya selalu basah dan produktif mengeluarkan kata-kata. Kasar lagi. Pemimpin seperti ini sempat menjadi model dekade lalu. Asal sering marah, publik menganggap dia bersih.
Yang ideal adalah pemimpin berpegang prinsip pada aturan, tapi tetap cerdas untuk melakukan komunikasi politik yang santun dan elegan. Bukan menggunakan aturan untuk mengancam pihak-pihak yang tak bisa diajak berkompromi. Akibatnya? Blunder!
Istilah kompromi juga sering bermakna “Sendiko dawuh”. Ini jika kompromi lahir dari bawah kepada yang di atas. Penyakit “sendiko dawuh” ini biasanya menular kepada pertama, orang yang fanatik dan mengkultuskan seseorang. Menganggap tokohnya itu zero kesalahan. Malah titisan Tuhan. Pokoknya, “mati-urip nderek bapak”. Kedua, orang yang dicukupi kepentingannya. Kenyang logistik. Khawatir kehilangan posisi. Munafik! Ketiga, orang yang takut, diantara faktornya karena tersandera. Maksudnya? Ya, tersandera kasus korupsi. Atau takut dibongkar rekaman aibnya. Tak ada pilihan lain selain berkompromi. Suruh dukung, ya dukung. Persetan dengan harga diri. Tak peduli dengan nurani. Konstituen? Itu nomor dua belas. Yang penting? Cari selamat! Nah, kompromi model begini tampaknya sedang musim. Tak kompromi? Itu nekat. Sikat!
Penulis: Tony Rosyid