[PORTAL-ISLAM.ID] Pilot Lion Air berjuang untuk mengendalikan pesawat ketika hidung maskapai itu mengarah ke bawah menyusul permasalahan pada sistem sensor pembaca. Pesawat akhirnya tak lagi bisa dikendalikan. Demikian terungkap data dari pesawat Lion Air yang jatuh pada bulan lalu itu di Laut Jawa, seperti dikutip the New York Times, Selasa 27 November 2018.
Rencananya, informasi data perekam yang berisi tentang laporan pendahuluan investigasi kecelakaan akan dirilis pada hari ini. Dalam draf laporan itu disebutkan bagaimana hidung pesawat secara berbahaya mengarah ke bawah lebih dari 20 kali dalam waktu 11 menit.
Pilot berusaha untuk menarik berulang kali sampai akhirnya kehilangan kendali dan pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan 610 itu jatuh ke laut. Data dari kotak hitam itu konsisten dengan teori investigator yang fokus pada sistem komputerisasi maskapai Boeing seri terbaru 737. Pada dasarnya sistem baru ini bertujuan agar hidung pesawat tak terlalu tinggi.
Namun, fatalnya, hidung mengarah ke bawah karena ada masalah pada informasi yang diterima sistem sensor di badan pesawat. "Pilot berjuang terus sampai akhir penerbangan," ujar Kapten Nurcahyo Utomo, Ketua Subkomitte Kecelakaan Penerbangan di Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Usai kecelakaan tersebut, para pilot mengaku khawatir dengan sistem baru yang diinformasikan oleh Boeing tersebut. Sistem itu dikenal dengan nama the Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS). Mereka juga tidak diberitahukan, semisal, terjadi masalah seperti yang dialami Lion Air.
Menurut Boeing, langkah-langkah untuk keluar dari sistem aktivasi bermasalah sebetulnya sudah ada di buku panduan penerbangan manual, sehingga mereka tak perlu menjelaskan secara detail.
Dalam pernyataan pada Selasa (27, Boeing mengaku tak bisa mendiskusikan ihwal jatuhnya pesawat tersebut ketika proses investigasi masih berlangsung. Masih banyak pertanyaan dalam kasus ini. Salah satunya, mengapa pesawat yang mempunyai persoalan pada sensor penerima diperbolehkan untuk terbang.
Perbedaan penunjuk kecepatan
Pesawat Lion Air JT 610 jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10), setelah lepas landas dari Jakarta. Hingga saat ini, petugas masih mengidentifikasi 189 penumpang dan awak pesawat yang menjadi korban.
Akhir pekan lalu, Nurcahyo Utomo mengatakan, saat pesawat Lion Air JT 610 mulai bergerak setelah lepas landas, terjadi perbedaan penunjukan kecepatan angle of attack (AoA) indikator milik kapten dan kopilot.
"Jadi, pada saat pesawat mulai bergerak, mulai terjadi perbedaan penunjukan kecepatan antara kapten dan kopilot. Angle of attack indikator sejak mulai dari pesawat bergerak sudah terlihat ada perbedaan antara kiri dan kanan, di mana indikator yang kanan lebih tinggi dari pada yang kiri," kata Nurcahyo.
Menurut Nurcahyo, grafik dari FDR mencatat dan menunjukkan pesawat mengalami stall, yaitu keadaan pesawat yang kehilangan gaya angkat, sehingga tidak sanggup lagi melayang di udara mengakibatkannya jatuh dari ketinggian dan tidak terkendali.
Saat itu, kemudian stick shaker bekerja membuat sisi kemudi kapten pilot bergetar untuk mengingatkan pesawat akan stall atau kehilangan daya angkat.
"Saat menjelang terbang, di sini tercatat bahwa ada garis merah di sini yang menunjukkan pesawat mengalami stall atau stick shaker. Jadi, itu adalah kemudinya di sisi kapten mulai bergetar. Ini adalah indikasi yang menunjukkan pesawat akan alami stall atau kehilangan daya angkat," kata Nurcahyo.
Nurcahyo mengatakan, grafik pesawat saat itu tetap terbang dengan sempat turun sedikit kemudian naik lagi. Saat itu, pesawat berada di ketinggian 5.000 kaki atau 1.524 meter. Akibat pembacaan AoA yang kacau tersebut, mekanisme stabilizer trim atau alat untuk menurunkan hidung pesawat itu secara otomatis bekerja.
"Kemungkinan disebabkan angle of attack di tempatnya kapten yang berwarna merah ini menunjukkan 20 derajat lebih tinggi dan kemudian memacu terjadinya stick shaker mengindikasikan ke pilot bahwa pesawat akan stall kemudian automatic system atau MCAS menggerakkan pesawat untuk turun," kata Nurcahyo.
Sumber: Republika