[PORTAL-ISLAM.ID] Penuntasan kasus dugaan pelanggaran pemilu Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf janggal. Prosesnya dihentikan. Tak ada keputusan bersalah atau tidak.
Padahal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menilai TKN bersalah dan melanggar aturan kampanye di luar jadwal. Namun, kepolisian dan kejaksaan beranggapan sebaliknya.
Dalam putusan yang diumumkan Rabu, 7 November 2018 kepolisian dan kejaksaan menganggap TKN ‘bersih’. Sebab unsur tindakan pidana sesuai Pasal 492 UU 7/2017 tentang Pemilu, dianggap tak terpenuhi. Pasal tersebut mengatur, kampanye di luar jadwal resmi dipidana maksimal kurungan penjara satu tahun dan denda Rp12 juta.
Kepala Sub Direktorat IV Politik Tipidum Bareskrim Polri, Komisaris Besar Djuhandani mengatakan, unsur yang tidak terpenuhi adalah ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal waktu kampanye di media massa. Hingga saat ini KPU RI belum mengeluarkan ketetapan spesifik soal itu.
Pernyataan itu senada dengan Anggota Satgas Direktorat Tindak Pidana Umum Lain Kejagung Abdul Rauf. Menurut Rauf, ketetapan KPU RI soal jadwal kampanye di media massa secara spesifik, dibutuhkan guna menjadi salah satu dasar hukum mengusut dugaan pelanggaran TKN Jokowi-Ma’ruf.
Dosen Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengatakan, pengusutan kasus dugaan pelanggaran TKN karena memasang iklan di media harusnya dilanjutkan. Menurutnya Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) tak berhak menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur pidana.
“Ya seharusnya dilanjutkan, nanti pengadilan yang akan memutuskan apakah tindak pidana pemilu itu kurang unsur atau tidak. Tingkat penyidikan tidak berwenang mengatakan kurang unsur, penyidikan hanya berwenang menyatakan kurang alat bukti atau cukup bukti,” ujar Fickar kepada reporter Tirto, Kamis, 8 November 2018.
Fickar menjelaskan, biasanya jika sebuah kasus dugaan pelanggaran pidana pemilu sudah diserahkan ke tingkat Gakkumdu, maka sudah ada sejumlah bukti yang terpenuhi. Dia heran mengapa penyidikan kasus pemasangan iklan oleh TKN Jokowi-Ma’ruf justru dihentikan Gakkumdu.
“Jadi kalau sudah ada bukti seharusnya lanjut ke pengadilan, soal unsur kurang atau lebih pengadilan yang menilai dan memutuskan,” tuturnya.
Dihentikan Karena Takut pada Petahana?
Pendapat serupa diungkapkan Dosen Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakir. Menurutnya kasus dugaan pelanggaran kampanye di media massa, seharusnya mudah dibuktikan oleh penegak hukum.
Pembuktian kasus itu, menurut Muzakir gampang. Penegak hukum harusnya mengacu pada jadwal kampanye di media massa yang sudah ada pada UU Pemilu dan PKPU 32/2018. Pada kedua aturan itu disebut jelas, kampanye di media massa baru bisa dilakukan 21 hari sebelum masa tenang Pemilu 2019.
“Ini kan sederhana, sebut saja jadwal kampanye di media misalnya tanggal 1, dia belum tanggal 1 sudah pasang. Lah kan salah,” kata Muzakir kepada reporter Tirto.
Pembuktian sederhana semacam itu, bagi Muzakir tak perlu argumen pembelaan. Terlebih jika polisi dan jaksa tak memakai landasan itu, ia khawatir nantinya semua produk pemilu tak diakui.
“Tapi kalau sekarang ini mentang-mentang peserta itu adalah incumbent, terus apa polisi takut kemudian bikin alasan begitu dan tidak dilanjut? Ini sudah menunjukkan penegak hukum sudah menyimpang dari prinsip hukum,” tegasnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua TKN Arsul Sani menganggap keputusan Gakkumdu sudah tepat. Arsul mengakui pemasangan iklan di Harian Media Indonesia edisi 17 Oktober 2018 oleh TKN memang benar terjadi. Namun, ia beralasan, iklan itu bertujuan untuk membuka transparansi dana kampanye Jokowi-Ma’ruf.
“Mens rea, pikiran untuk melakukan kejahatan ada atau tidak, itu tidak ada. Karena yang dituju iklan itu yang utama adalah melakukan disclosure, transparansi rekening dana untuk capres-cawapres Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin,” ujar Arsul kepada wartawan, Rabu, 7 November 2018.
Sumber: Swamedium