Film Ahok vs Hanum Rangga: Bioskop Rasa Pilpres
Sesungguhnya agak sedikit absurd membandingkan sebuah karya seni berbentuk film dengan film lainnya oleh karena perbedaan pandangan politik kedua pemilik filmnya. Namun ini yang terjadi pada Film Hanum dan Rangga yang diadaptasi dari buku karangan Hanum Rais dan suaminya Rangga berjudul 'Faith And The City' dengan film 'A Man called Ahok', sehingga saya tergerak untuk mengulasnya.
Walaupun Hanum dan Rangga atau Ahok bukanlah kontestan pilpres, namun kita sama-sama mahfum keduanya terasosiasi atau turunan dari kubu yang berseberangan pada pilpres 2019 nanti.
Ada dua hal yang menarik untuk diamati terkait kedua film ini. Pertama, data jumlah penonton dan kedua, perseteruan di media sosial.
Penelusuran data menunjukkan data penonton film Ahok sampai saat ini mencapai 587.747 dengan pencapaian sekitar 103.000, sedangkan Hanum dan Rangga mencapai 201.378 dengan perolehan hari pertama sekitar 45.000 penonton. Kalau kita hanya membaca data seperti ini saja, kelihatannya film Ahok lebih laris dari Hanum dan Rangga. (Link: http://filmindonesia.or.id/)
Meskipun begitu banyak kejanggalan yang ditemui di bioskop, misal di loket terlihat film Ahok sudah terjual penuh tapi nyatanya sedikit sekali penonton yang benar benar muncul.
Sebenarnya lumrah suatu film dipromosikan dengan mengadakan acara 'nobar' atau bagi-bagi voucher. Namun menjadi lucu ketika tiket yang sudah dibeli atau studio yang sudah di-booked namun kenyataannya dilapangan hampir kosong.
Banyak yang melaporkan dengan bukti valid, studio film Ahok kosong melompong, padahal tiket dikatakan habis terjual. Dan laris dimana mana. Padahal faktanya film Ahok terlihat penjualan tidak merata.
Satu situs berita pun menulis, "Pantauan di lokasi, sejumlah jadwal film 'A Man Called Ahok' di Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara sudah penuh. Namun demikian situasi bioskop terpantau biasa saja tanpa ada keramaian". (WartaKota)
Saya sendiri Minggu kemarin melakukan penelusuran kecil-kecilan ke suatu bioskop di Bandung. Sengaja saya amati pada saat dekat dengan jam tayang, sehingga saya bisa memantau pergerakan penonton keluar dan masuk. Hasilnya? Dua-duanya (film Ahok dan film Hanum) sebenarnya sama-sama sepi, hehehe.
Dari kapasitas satu studio sekitar 300, paling hanya sekitar 15-20 orang penonton saja. Untuk kedua film. Jadi kalau dikatakan film yang satu jauh lebih ramai dari yang lain, saya sih senyum aja. Kita jangan terkecoh dengan data penonton begitu saja, karena tiket bisa dibeli siapa saja. Yang lebih bicara adalah fakta di lapangan. Perhatikan saja pergerakan 'penonton natural' yang sesungguhnya, di luar acara-acara 'nobar'. Itulah kenyataan sesungguhnya.
Hal berikutnya yang menarik adalah soal perseteruan di medsos.
Sudah lebih seminggu ini netizen pendukung film Ahok menyerbu akun IG dan twiter @hanumrais, bukan hanya mereka berkata kata kasar pada karya film Hanum, tapi mereka juga gencar mempengaruhi follower Hanum untuk menonton film Ahok.
Yang menarik meskipun sosmed @Hanumrais terus dibully oleh pendukung ahok jumlah penonton Hanum Rangga justru meningkat dari hari kehari..terdapat kenaikan grafik penonton film Hanum Rangga dari hari Kamis sampai hari Minggu ini.
Hanum juga sengaja membiarkan hujatan dan nyinyiran di timeline, sekaligus untuk menunjukkan, beginilah kualitas pendukung Ahok. Komentar-komentar yang banyak lebih didasarkan kebencian, dan sama sekali tidak relevan dengan isi film sebenarnya.
Selain akun Hanum dan akun filmnya, serangan ala cyberwar ini ternyata juga sudah merambah ke situs yang respectable, IMDb.
Film 'A Man Called Ahok' mendapat rating 9.2/10. Luar biasa. Setara dengan The Godfather (1972), film no 2 rating tertinggi di IMDb, dan hanya kalah dari The Shawshank Redemption (1994), top rated movie di IMDb dengan rating 9.3/10. Tapi jangan bandingkan jumlah reviewernya ya, hehehe.
Sedangkan film Hanum dan Rangga 'dihabisi' di IMDb. Rating 1 dari 10 saja. Raja Tega. Sebegitu kejamkah netizen Indonesia?
Saya coba buka satu persatu reviewer film Hanum dan Rangga. Ternyata, rata-rata, atau mungkin hampir semua (? hehe) baru mereview sekali di IMDb. Satu review, dan review pertama untuk film Hanum dan Rangga. Standing applause :)
Sebenarnya, ini menjadi 'kehormatan' untuk film Hanum dan Rangga, menjadi yang pertama mereka review. Yang lebih menarik lagi, saya menemukan beberapa akun yang dibuat atau baru bergabung di IMDb pada November 2018. Kok ya niat sekali, buat akun baru untuk mereview film Hanum dan Rangga? hehehe..
Selain profil reviewer yang kebanyakan baru mereview sekali, atau bahkan baru bergabung di IMDb, perbandingan jumlah reviewer film Ahok dengan Hanum dan Rangga pun menarik. Film A Man Called Ahok direview (sampai saat ini ditulis) sebanyak 148 review. Sedangkan Film Hanum Rangga direview sampai 238 orang. Ini jadi lucu. Film yang dirating sangat baik malah lebih sedikit direview daripada film yang dirating rendah. Apa ini artinya kebencian massal? Atau artinya yang benar-benar menonton justru lebih banyak film Hanum Rangga? atau yang mereview film Hanum Rangga sebenarnya tidak benar-benar menonton? 🤣
Fenomena-fenomena diatas ini yang sebenarnya menyedihkan. Sebenarnya tidak salah ketika film dibuat dengan latar belakang politik. Atau motif politik. Namun menjadi memalukan ketika segala cara dilakukan untuk menjatuhkan yang dianggap berseberangan. Ketika kebencian yang dikedepankan, maka nalar akan menghilang. Dan ini akan menjadi patologi sosial.
Cobalah kesampingkan semua kebencian yang tidak relevan. Kembalikan Film sebagai suatu karya seni yang sarat dengan nilai dan pesan. Kritiklah dengan segala kekurangan dan kelebihan.
Salam Perfilman.
Ahmad Akhyar, Sarjana Teknik.
__
Sumber: fb penulis
Link: https://www.facebook.com/akhyar98/posts/10156108198093635