[PORTAL-ISLAM.ID] Tahun lalu, tepatnya pada medio 2017, putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep sempat membuat heboh dengan vlognya.
Vlognya berupa kritik-kritiknya atas topik (isu) publik seputar demo, pengkritisan atas penyebutan pengkafiran dan lain-lain. Ada yang menarik dari kata-kata atau kalimat yang terdapat dalam konten vlog tersebut, Kaesang menyebut kata-kata “dasar ndeso!”.
Makna Ndeso (sebutan dalam bahasa Jawa) adalah desa atau kampung. Tentu Kaesang tidak bermaksud mengecilkan makna “ndeso” atau desa atau kampung atau kampungan dalam vlognya. Tentu juga bukan maksudnya untuk mengejek orang-orang yang dimaksudnya adalah “ndeso” atau kampungan.
Bukan bermaksud pula bahwa ndeso atau desa atau kampung adalah sesuatu yang negatif atau tidak baik. Kaesang hanya menyampaikan ekspresi, pendapat dan pemikirannya. Diharapkan pula bahwa orang-orang desa, orang kampung tidak tersinggung atas ungkapan “dasar ndeso” Kaesang Pangarep.
Baru beberapa hari lalu, capres Prabowo Subianto pun mendapat sorotan atas pernyataannya seputar “tampang Boyolali”.
Pada suatu kesempatan di Boyolali, capres Prabowo berpidato di hadapan masyarakat dan pendukungnya, mengungkapkan makna tersembunyi ketimpangan atas modernitas dan sosial masyarakat. Yang mana capres Prabowo menyebut bahwa hotel-hotel mewah di Jakarta tersebut kemungkinan akan meragukan apabila ada masyarakat bertampang Boyolali akan bisa menginap di hotel-hotel mewah tersebut.
Tentu Pak Prabowo tidak bermaksud untuk mengecilkan raut/ tampang orang-orang Boyolali. Ada makna yg tersirat atas maksud ungkapan, atau sindiran (teasing) tersebut adalah makna ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini.
Bahwa Pak Prabowo memiliki gaya bahasa retorika tersendiri tentu akan berbeda satu sama lainnya. Termasuk juga berbeda gaya bahasa, retorika dengan Kaesang Pangarep dan Jokowi.
Pak Prabowo, Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo, termasuk juga Pak Jokowi pernah menggunakan istilah “ndeso” tidak bermaksud mengecilkan makna, atau tidak bermaksud dengan sengaja meremehkan orang-orang desa (kampung) termasuk juga mengecilkan makna Boyolali.
Penulis: Suhendra Ratu Prawiranegara