Cara Konyol Membungkam IndonesiaLeaks
Pekan lalu, sedikitnya terjadi 296 serangan dalam sistem admin situs http://tempo-institute.org. Serangan itu berlangsung dalam waktu empat jam. #indonesialeaks
Sia-sia saja kepolisian membendung hasil liputan investigasi jurnalis yang tergabung dalam IndonesiaLeaks. Sikap reaktif polisi justru menguatkan gaung laporan tentang perusakan barang bukti kasus korupsi itu. Reaksi polisi yang berlebihan pun memantik kecurigaan: kalau tak ada yang salah, mengapa polisi sampai belingsatan?
Serangan balik terhadap IndonesiaLeaks akan sulit mematikan inisiatif bersama untuk membongkar korupsi. Apalagi IndonesiaLeaks hanyalah sebuah platform. Penopangnya adalah para jurnalis yang bekerja di sejumlah media. Kalaupun situs Indonesialeaks.id akhirnya ditutup, para jurnalis bisa membangun lagi platform serupa.
Liputan investigasi bersama bukan sekadar tren, tapi memang menjadi kebutuhan masyarakat dunia. Kolaborasi diperlukan untuk membongkar kejahatan yang pelik seperti korupsi. Sinergi itu bisa membuahkan hasil maksimal, seperti terbongkarnya skandal Panama Papers belum lama ini. Upaya penggelapan pajak dan penyamaran kekayaan oleh para pemimpin dan pesohor dunia itu tersingkap berkat liputan bersama jurnalis lintas negara.
IndonesiaLeaks lahir dengan spirit yang sama. Siapa pun tak akan mudah memadamkan semangat itu. Sebelum ribut di ruang publik, para ”utusan” polisi ditengarai berusaha mempengaruhi pengelola media agar tak memuat kisah perusakan buku catatan setoran dari importir daging sapi Basuki Hariman itu. Toh, sejumlah media tetap menerbitkan hasil liputan skandal itu.
Belakangan, gencar pula upaya menggiring opini bahwa laporan IndonesiaLeaks bohong belaka alias hoaks. Tapi tuduhan itu jauh panggang dari api. IndonesiaLeaks membongkar kejadian yang nyata. Penyobekan catatan setoran untuk petinggi polisi pada 7 April 2017 itu sempat membuat gaduh seisi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Soalnya, bukti itu amat penting untuk membongkar suap impor daging sapi yang sudah lama diselidiki KPK.
Pengawas Internal KPK juga telah menelisik dugaan pelanggaran oleh dua penyidik polisi yang bertugas di lembaga antirasuah itu. Namun, sebelum dijatuhi sanksi, kedua polisi itu dikembalikan ke markasnya. Anehnya, meski pulang membawa ”masalah”, mereka malah mendapat promosi di kepolisian.
Patut disayangkan, kala itu KPK tak bergegas menetapkan dua penyidik tersebut sebagai tersangka perusakan bukti kasus korupsi. Padahal KPK selama ini cukup sigap menjerat orang yang merintangi penyidikan.
Setelah liputan IndonesiaLeaks meledak, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mulai menyelidiki kasus perusakan barang bukti itu. Memang tak ada kata terlambat bila polisi serius mengusut siapa yang bersalah. Tapi urusannya bisa makin runyam bila pengusutan oleh kepolisian malah dirancang untuk ”mencuci” kesalahan anggota dan pimpinannya.
Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pun turut mengusut perkara ini. Tapi sasarannya bukan perusak bukti pidana. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim justru mencari-cari bukti pidana penghinaan dan pencemaran nama pejabat. Mereka meminta PT Jagat Informasi Solusi—perusahaan pengelola nama domain Internet—membuka profil IndonesiaLeaks dan menyerahkan data pribadi para penggagasnya. Ini jelas mengada-ada.
Petinggi polisi seharusnya menyampaikan hak jawab atau hak koreksi ke media yang menerbitkan laporan tersebut. Polisi juga bisa mengadu ke Dewan Pers bila hak jawab atau hak koreksi tak memuaskan mereka. Cara itu jauh lebih elegan ketimbang upaya membekap penggagas IndonesiaLeaks dengan menggunakan kekuasaan.
Sumber: https://kolom.tempo.co/read/1141058/cara-konyol-membungkam-indonesialeaks