[PORTAL-ISLAM.ID] Baru-baru ini saya ditelefon oleh Inspektur Vijay. Dia bertanya tentang Buku Merah. Dia minta dijelaskan dengan detail kisah buku catatan “pengeluaran” uang sogok impor daging sapi itu. Mulai dari awal sampai yang terkini.
Inspektur Vijay adalah tokoh legendaris Bollywood yang tidak pernah kompromi terhadap kejahatan. Dia biasanya akan turun langsung dengan “segala cara” untuk menegakkan kebenaran.
Saya jelaskan kepada Inspektur Sahab (Pak Inspektur) cerita Buku Merah. Saya bawa dia ke sebuah restoran yang letaknya cukup “tersuruk”. Kata “tersuruk” ini ada di kalangan rakyat Melayu. Artinya, tersumbunyi. Lebih-kurang begitu.
“Chalo, chalo, Inspector,” kata saya mengajak Inspektur Vijay masuk ke restoran yang menyajikan masakan asli anak benua India. “Indian Cuisine”, tertulis di kaca depan restoran. “Masakan India”.
“Apne dengarne Red Book tu-lisanke naam keliye your police inspector,” kata Mr Vijay membuka pembicaraan.
Artinya, “Saya dengar di Buku Merah ada tertulis nama inspektur polisi kalian.”
Saya mencoba menjawab sedikit dalam bahasa Urdu agar Inspektur Vijay merasa senang. Begini jawaban saya.
“Ta huane masallahke kiandar sepele.”
Terjemahan bebasnya lebih-kurang, ” Setahu saya itu masalah sepele.”
Dia kaget setelah mendengar bahasa Urdu saya cukup bagus (bagi dia). Tapi, kemudian Inspektur Vijay tak ketinggalan. Dia malah mengeluarkan simpanan bahasa Indonesianya.
Akhirnya, kami sepakat menggunakan bahasa Indonesia. Alasan saya masuk akal bagi dia. Saya katakan, kalau kita pakai bahasa Indonesia di sini, kita tak takut didengar orang lain. Karena restoran itu berada di Mumbai, yang dulu bernama Bombay. (Tapi, di Indoensia “bawang Bombay tidak berubah menjadi “bawang Mumbai”).
[[Inspektur Vijay dulu pernah bertugas sebagai atase kepolisian India di Jakarta. Hanya saja, catatan tentang karirnya di Indonesia tak dimasukkan ke dalam riwayat hidupnya untuk menjaga keamanan dirinya. Jadi, kalau Anda cari di Google, tak akan muncul.]]
Kami lanjutkan percakapan tentang Buku Merah dalam bahasa Indonesia.
Mr Vijay bertanya mengapa saya katakan itu sepele. Saya jelaskan bahwa aliran dana yang tertera di Buku Merah itu tak ada apa-apanya kalau dibandingkan korupsi di tempat-tempat lain.
Dia menjadi marah. Sambil keluar lagi Bahasa Urdu beliau. “Nehi, nehi he. Tidak ada istilah sepele untuk korupsi, mere dosti.” (Tidak, tidak. Tidak ada istilah sepele untuk korupsi, kawanku.)
Inspektur Vijay menjadi berang karena dia sendiri mempertaruhkan nyawanya dalam memberantas kejahatan di film-film Bollywood. Rupanya saya baru tahu bahwa korupsi, dalam bentuk apa pun, sangat patang di kalangan polisi India dalam cerita film.
Mr Vijay pernah melakukan OTT sogok yang melibatkan seorang kepala kepolisian di India. Saya tanyakan apakah dia tak takut disiram air keras atau dibuang ke Kepulauan Andaman karena keberaniannya itu. Dengan enteng dia menjawab, “Aku tak pernah takut air keras. Aku takut air lembut yang ada racunnya.”
Dia lupa-lupa-ingat arti “air keras”. Disangkanya “air batu”. Saya tidak memperpanjang salah paham ini karena harus segera kembali ke penginapan.
Inspektur Vijay kemudian mengajukan pertanyaan mengapa korupsi marak di Indonesia. Karena malu, saya menjawab agak ngawur. Saya katakan, orang Indonesia itu suka perdamaian dan kedamaian. Jadi, apa saja hal akan mengutamakan perdamaian. Semua masalah diselesaikan dengan cara damai.
Saya sebutkan beberapa contoh. Izin bangunan, berdamai. SIM cepat, berdamai. Pelanggaran lalulintas, berdamai. Untuk mendapatkan kontrak kerja, berdamai. Tertangkap narkoba, berdamai. Semua dengan perdamaian.
“Itu sebabnya Anda lihat negeri kami selalu damai. Tenteram,” kata saya berusaha meyakinkan Inspektur Vijay.
“Apa lagi kebiasaan baik orang Indonesia,” tanya Mr Vijay lagi.
“Ok,” jawab saya. Selain suka berdamai, orang Indonesia suka memeras. Saya tahu dia pasti mengartikan “memeras” itu sepadan dengan kata “squeezing”. Makanya saya lanjutkan saja dengan menjelaskan bahwa orang Indonesia suka memeras santan, memeras susu kambing, memeras keringat, memeras pelapor, memeras tersangka, memeras agen narkoba, memeras pedagang liar, dlsb.
Inspektur Vijay manggut-manggut. Dia sangka “memeras pelapor”, “memeras tersangka”, “memeras pedagang liar”, “memeras agen narkoba”, dll, sekeranjang dengan makna memeras santan, memeras susu kambing, dll.
Mejelang berpisah di restoran, Inspektur Vijay kembali menyoal Buku Merah. Dia katakan, apakah Tuan perlu bantuan untuk mengungkap kebenaran kasus itu. Saya jawab, tidak perlu. Saya paham dia menawarkan cara-cara Inspektur Vijay di film-film Bollywood.
Saya tambahkan, “Kami bisa menyelesaikan Buku Merah dengan cara damai, Inspector.”
“Maksud Anda, dengan cara bawah tangan ya?”
Buru-buru saya luruskan. “Bukan, bukan Inspector. Bukan bawah tangan. Tapi, tangan bawah dan tangan atas.”
“I dont understand,” kata Inspektur Vijay.
“Hmm…, tangan bawah menerima, tangan atas memberi,” kata saya.
“What? Bagi-bagi hasil korupsi?”
Saya cuma tersenyum sambil berpamitan.
Penulis: Asyari Usman