Manusia Untuk Sebuah Cita-Cita
Oleh: Anis Matta
Al-Manhaj (konsep) yang agung membutuhkan ar-Rijaal (manusia) yang agung pula.
Gua kecil itu begitu lembut. Terletak di kejauhan dua mil dari kota Makkah, gua itu bertengger indah menjelang puncak Jabal Nur. Kota Makkah dan gurun pasir yang mengitarinya akan tampak sebagai hamparan alam yang indah dari ketinggian gunung itu. Itulah gua Hira, tempat Muhammad menghabiskan sekitar 3 tahun waktunya sebelum diangkat menjadi Rasul.
Di dalam jiwanya terbentang jarak yang jauh antara realitas kehidupan di kota Makkah dengan cita-cita kehidupannya. Dan itulah sumber semua kegelisahannya. Sebab ia sendiri belum menemukan jalan yang terang menuju cita-cita itu. Ada ketidakpuasan yang membawa jiwanya melangkah ke gua ini, tapi juga ada kegamangan yang menenggelamkannya dalam renungan-renungan panjang di sepanjang bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Ada gejolak maha dahsyat yang menggoncang-goncang batinnya, dan membuatnya serasa ingin memberontak setiap saat atas fenomena kehidupan yang terjadi di sekitarnya. Tapi ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa.
Allah Subhaanahu wa taala menjalankan rencana-Nya dengan cara yang amat halus. Setelah menapaki tangga kehidupan yang penuh liku-liku, Allah Swt menanamkan di dalam jiwanya sebuah perasaan baru, sebuah hasrat baru, sebuah kecenderungan baru, sebuah kegemaran baru, Allah Swt membuatnya mencintai khalwat, kegemaran menyendiri dan menikmatinya dalam meditasi-meditasi yang tekun, dalam renungan-renungan panjang yang serius, dalam pemikiran-pemikiran mendalam yang mencerahkan.
Hidup telah menempa laki-laki itu begitu rupa. Ia ditakdirkan lahir sebagai yatim, dan mengisi masa balitanya di perkampungan Bani Saad, untuk kemudian mengakhiri masa balitanya sebagai piatu. Sebuah pelajaran dini tentang makna kesendirian, makna kesunyian dan makna kebergantungan kepada Allah swt. Bersama kakeknya, Abdul Muttalib, pada usia enam hingga delapan tahun, ia belajar mengenal dunia politik dan kepemimpinan masyarakat Quraisy. Ketika sang kakek meninggal dunia, ia hidup bersama pamannya Abu Thalib yang miskin dan papa, awal dimana ia mengenal dunia yang keras. Pada usia itu ia sudah mengembala kambing, ikut dalam kafilah perdagangan ke negeri Syam, untuk kemudian memasuki usia remaja dalam perang Fijar selama empat tahun. Setelah berusia di atas dua puluh tahun, ia mendapatkan kepercayaan menjalankan bisnis Khadijah ke negeri Syam, saat dimana ia menunjukkan prestasi bisnis dan manajerial serta pesona karakter dari seorang pemuda matang.
Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun, Muhammad mulai menapaki tangga kehidupan sosial, dan mengokohkan pribadinya sebagai tokoh baru Quraisy yang dicintai dan disegani, hingga ia mencapai puncak prestasinya saat mendapatkan gelar Al-Amin pada usia 35 tahun.
Itulah serial pengalaman hidup yang membentuknya; pengalaman psikologis yang keras sebagai yatim piatu, pengalaman politik, profesi, militer hingga bisnis manajemen, untuk kemudian menikah dan mencapai tangga ketokohannya dengan Al-Amin. Ia telah menelusuri seluruh sisi kehidupan masyarakat Quraisy, dan menunjukkan kecemerlangan pada setiap tahapan penjalanannya.
Tapi di saat ia menapaki puncak dunia, ia justru merasakan keterpisahan; bukan kehidupan seperti ini yang ia inginkan. Ada sesuatu yang tidak ia temukan disini, di tengah keramaian masyarakat Quraisy, yang ia sendiri tidak tahu; tapi kemudian menjelma menjadi kehausan yang membawanya pada sebuah pencarian yang panjang.
Dan alangkah halusnya Allah Swt menjalankan rencana-Nya; masa-masa meditasi dan perenungan adalah sentuhan Rabbaniyah yang terakhir, setelah ia melewati serial pengalaman hidup yang panjang dan berliku, sentuhan akhir yang mematangkan jiwa dan pikirannya, sebelum saat penugasan sebagai Rasul itu tiba. Dan ketika saat penugasan itu tiba, Muhammad hanya membutuhkan waktu sebanyak 22 tahun 2 bulan dan 22 hari untuk mengubah arah sejarah umat manusia, mewarnai bumi dengan biru langit, membangun sebuah peradaban besar dan menebarkan rahmat Ilahi ke seluruh alam.
Sejarah kemudian mengajarkan kita sebuah kaidah; bahwa risalah yang agung haruslah dibawa oleh seorang rasul yang agung, bahwa sebuah misi besar haruslah diemban oleh seorang manusia besar, bahwa sebuah beban amanat yang berat haruslah dipikul oleh seorang laki-laki yang kuat, bahwa sebuah pedang yang tajam hanyalah akan berguna jika ia berada dalam genggaman tangan seorang pahlawan pemberani, bahwa sebuah peradaban hanya dapat dibangun di atas altar sejarah oleh manusia-manusia peradaban.
Konsep dan Pelaku
Inilah kisah sang Rasul dan Risalahnya, dan itulah pelajarannya. Bahwa sebuah cita-cita yang luhur membutuhkan manusia-manusia yang sama luhurnya dengan cita-cita itu, bahwa sebuah cita-cita yang besar membutuhkan manusia-manusia yang sama besarnya dengan cita-cita itu, bahwa sebuah sistem yang baik hanya akan memperlihatkan keindahannya jika diterapkan oleh manusia-manusia yang sama baiknya dengan sistem itu. Maka ketika Islam diturunkan sebagai sistem kehidupan yang paling komprehensif dan integral,ia telah melahirkan sebuah fenomena kehidupan yang indah karena dua hal; kebenaran risalahnya dan kekuatan pesona Rasulnya.
Rasulullah Shalallaahu alaihi wa sallam mengetahui rahasia ini dengan baik. Ia mengetahui bahwa Islam hanya bisa menjadi realitas kehidupan dan menjadi abadi dalam sejarah apabila ia mempunyai pendukung-pendukung yang kuat sepanjang masa. Maka para penggembala kambing yang menghuni jazirah Arab yang tandus dan terpencil itu tiba-tiba hadir ke permukaan sejarah dengan segudang manusia-manusia besar; ada negarawan-negarawan besar seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib; ada penakluk-penakluk raksasa seperti Hamzah bin Abdul Muttalib, Khalid bin Walid, Saad bin Abi Waqqash, Amr bin Ash, Usamah bin Zaid; ada ulama-ulama besar seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas-ud, Zaid bin Tsabit, Muaz bin Jabal; ada intelijen-intelijen yang handal seperti Al-Abbas, Salman Al-Farisi; ada perawi-perawi hadits yang brilian seperti Abu Hurairah, Aisyah; ada pengusaha-pengusaha yang hebat seperti Abdurrahman bin Auf, Tholhah bin Ubaidillah. Pada setiap satu menara kehidupan yang tinggi ada manusia-manusia mercusuar yang menyinari alam raya dengan cahaya yang terang benderang.
Dan Islam pun terwariskan dari masa ke masa bersamaan dengan terwariskannya kebesaran manusia-manusia itu. Ilmu para sahabat terwariskan kepada Said ibnul Musayyib, Hasan Al-Basri, Atha bin Rabbah, Ibnul Mubarak, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam SyafiI, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmizi, Imam Nasai, Ibnu Majah, Imam Abu Daud, Imam Thabari, Imam Gazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, Al Khawarizmi dan lainnya.
Kenegarawanan para sahabat mengalir kepada Umar bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasyid, Nuruddin Zanki, Abdurrahman Al-Dakhil. Dan keperkasaan para mujahidin mengalir ke dalam darah Uqbah bin Nafi, Thoriq bin Ziyad, Musa bin Nushair, Muzaffar Quthuz, Shalahuddin Al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih.
Begitulah Islam mengalir dalam sejarah keabadian; obor kebenaran itu dibawa oleh akal-akal raksasa para ulama, kepemimpinan yang handal para khulafa, dan tangan-tangan perkasa para mujahidin.
Inilah Masalah Kita
Sayangnya, justru inilah masalah kita, kaum Muslimin. Risalah yang agung ini tidak lagi dibawa oleh manusia-manusia agung, agama besar ini tidak lagi diemban oleh manusia-manusia besar; akal-akal raksasa itu tidak lagi hadir di tengah masyarakat justru ketika kaum Muslimin sedang menghadapi tantangan era ilmu pengetahuan dan tehnologi, para negarawan besar itu tidak lagi hadir di tengah percaturan politik kita justru ketika kaum Muslimin sedang merangkak dengan susah payah dalam pergolakan kemiskinan dan keterbelakangan serta konflik, tangan-tangan perkasa para mujahidin tidak lagi melindungi tanah dan nyawa kaum Muslimin justru ketika mereka hidup di era kedigdayaan militer.
Maka keagungan risalah ini seperti sedang mengalami gerhana; sinarnya tidak sampai ke bumi. Sementara manusia-manusia di bumi merangkak dalam kegelapan, cahaya itu tidak sampai ke mereka. Dan boleh jadi apa yang dikatakan seorang ulama di awal abad lalu benar adanya: Islam justru terhijabi oleh kaum Muslimin. Maka seorang pemikir lantas mengungkap perasaannya yang miris melihat panorama ini: alangkah agungnya agama ini kalau saja ada manusia-manusia besar yang mengembannya.
Dan sekarang, ketika ideologi-ideologi besar berguguran di penghujung abad ke-20, Islam menjadi satu-satunya pilihan bagi umat manusia. Apabila dengan penglihatan mata hati tajam Sayyid Quthub meramalkan situasi ini, dan berkata dengan penuh keyakinan: Islam adalah masa depan, atau Masa depan di tangan Islam, ramalan itu kini menemukan faktanya.
Dan itulah yang menjadi sumber kecemasan peradaban masyarakat Barat. Misalnya ketika Samuel P Huntington merekosntruksi peta pertarungan masa depan. Konflik masa depan akan berpusat pada tema peradaban, lingkaran terkecilnya bertema etnis, tapi muara besarnya adalah peradaban. Pada muara besar ini, Islam menjadi kompetitor utama peradaban Barat. Maka Huntington pun meramalkan konflik besar di masa yang akan datang: konflik antara Islam dan Barat.
Tapi tentu saja ada jarak yang terbentang jauh antara peluang Islam menjadi ideologi dunia dengan kemampuan kaum Muslimin untuk merebut peluang tersebut. Jarak itulah yang menjadi masalah kita.
Tiga Langkah Peradaban
Maka tugas peradaban kita saat ini adalah mendekatkan jarak itu; jarak antara Islam dan manusia Muslim, jarak antara peluang dengan kemampuan untuk merebutnya. Manusia Muslim inilah yang harus kita rekonstruksi ulang agar ia terbentuk sedemikian rupa dan menjelma menjadi terjemahan hidup bagi Islam yang tertulis dalam Qur-an dan Sunnah. Sebab Islam dapat dengan mudah memenangkan pertarungan di tataran ideologi dan pemikiran, tapi pertarungan yang sesungguhnya justru terletak di alam kenyataan; di keramaian jalanan, di kegaduhan pasar, di belantara politik, di panggung budaya, di tengah desingan mesiu, dan seluruh pojok bumi. Dan itu adalah medan manusia; maka kebenaran Islam layaknya seperti sebuah pedang tajam yang telah terhunus, ia hanya menanti
tangan perkasa dari sang Pahlawan.
Manusia Muslim harus direkonstruksi ulang dalam tiga tahapan. Pertama, kita harus memperbaharui afiliasinya kepada Islam kembali. Sebab keislaman kaum Muslimin saat ini lebih banyak dibentuk oleh warisan lingkungan sosial, bukan dari pemahaman dan kesadaran yang mendalam tentang Islam. Keislaman dengan basis seperti ini membuat kaum Muslimin tidak memiliki bobot sosial yang berat, tidak memiliki imunitas yang membuatnya mampu bertahan dari semua bentuk invasi budaya. Karena itu, sebuah goncangan kecil sudah cukup memadai untuk merubah warna kehidupan kaum Muslimin.
Kedua, setelah memperbaharui keislaman kaum Muslimin dengan memperbaiki pemahamannya kepada Islam, setiap (individu) manusia Muslim harus kita bawa ke dalam komunitas Muslim yang besar, dimana ia menjadi bagian dari masyarakatnya dan berpartisipasi dalam membangun masyarakat tersebut. Apabila pada tahapan pertama, yaitu tahapan afiliasi, kita menciptakan manusia Muslim yang shaleh, maka pada tahapan kedua ini manusia shaleh itu kita leburkan kedalam masyarakat, agar ia mendistribusi keshalehannya kepada yang lain, agar keshalehan individual itu berkembang menjadi keshalehan kolektif. Dan inilah hakikat dari makna dakwah.
Ketiga, apabila pada tahapan kedua ini, yaitu tahapan partisipasi, manusia Muslim telah melebur dalam masyarakatnya dan berpartisipasi dalam membangun masyarakat tersebut, maka pada tahapan ketiga kita perlu menjamin bahwa setiap orang yang berpartisipasi itu benar-benar dapat mencapai tingkat paling optimal dalam memberikan kontribusi kepada Islam. Salah satu sumber kekayaan masyarakat Islam adalah keunikan-keunikan individual dari setiap manusia Muslim,dan apabila potensi-potensi individual tertuang secara penuh dan membentuk sebuah muara Islam yang sinergis, maka sebuah gelombang peradaban yang dahsyat akan segera menggemuru membelah sejarah.
Nah, mungkinkah kita akan mendapatkan karunia Allah dengan melihat manusia-manusia besar itu datang membawa risalah Islam yang agung dimana umat manusia menjadi sulit membedakan antara pesona kebenaran Islam dengan pesona kepribadian manusia Muslim? Semoga.***
(Sumber: Majalah Hidayatullah 04/XIV/Jumadil Awal 1422/Agustus 2001, halaman 16-19)