[PORTAL-ISLAM.ID] JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Sodik Mudjahid mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) jangan pilih pemimpin ingkar janji dijadikan Undang-undang. Menurut Sodik, fatwa MUI tersebut sejalan dengan semangat Pancasila.
“Ide MUI juga sesuai dengan Pancasila. Pemimpin yang penuhi janji adalah penimpin Pancasila dan pemimpin ingkar janji adalah tidak Pancasilais,” kata Sodik saat dihubungi, Sabtu (10/11/2018), seperti dilansir Teropongsenayan.
Ketua DPP Gerindra ini pun meminta MUI memikirkan judul dan penempatan ide tersebut, sebelum diusulkan ke DPR. “Apakah UU tersendiri atau UU tentang kepemimpinan atau masuk dalam UU tentang pemerintahan, atau dalam UU presiden dan kepala daerah,” ujarnya.
Sebelumnya, MUI menginginkan agar fatwa jangan pilih pemimpin ingkar janji dijadikan Undang-undang.
“Fatwa itu nantinya kalau bisa nanti dijadikan UU, supaya mengikat bahwa semua penyelengara negara wajib melaksanakan program-program baik dalam UU maupun dalam kampanye sehingga ada sanksinya jika tidak dijalankan,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Ikhsan Abdullah, Kamis (8/11/2018).
Fatwa yang dikeluarkan pada 2015 lalu itu, fungsinya hanya sebatas mengimbau kepada umat Muslim di Indonesia. Untuk itu, diperlukannya penguatan secara UU.
“Lebih bagus lagi fatwa itu ditangkap para legislator untuk di UU artinya nanti mengikat semua penyelengara negara. Jadi penyelengara negara tidak mudah janji, kalau ingkar janji anda terikat loh ada ketentuannya,” ucap dia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai masalah strategis kebangsaan. Fatwa itu mengharamkan pemimpin yang mengingkari janji dan tidak boleh mentaati pemimpin yang memerintahkan sesuatu yang dilarang agama.
ISI LENGKAP FATWA MUI
Berikut isi lengkap Fatwa MUI dari Keputusan Komisi A tentang Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah) dalam Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tahun 2015 tentang Kedudukan Pemimpin yang Tidak Menepati Janjinya yang disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Shaleh dalam keterangan tertulis, Jumat (12/6/2015):
1. Pada dasarnya, jabatan merupakan amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Meminta dan/atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai kapabilitas yang memadai dan/atau diketahui ada orang yang lebih kompeten. Dalam hal seseorang memiliki kompetensi, maka ia boleh mengusulkan diri dan berjuang untuk hal tersebut.
2. Setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif harus memiliki kompetensi (ahliyyah) dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut.
3. Dalam mencapai tujuannya, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.
4. Calon pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan sesuatu kebijakan yang tidak dilarang oleh syariah, dan terdapat kemaslahatan, maka ia wajib menunaikannya. Mengingkari janji tersebut hukumnya haram.
5. Calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Dan jika calon pemimpin tersebut berjanji yang menyalahi ketentuan agama maka haram dipilih, dan bila ternyata terpilih, maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
6. Calon pemimpin publik yang menjanjikan memberi sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam ketegori risywah (suap).
7. Pemimpin publik yang melakukan kebijakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama maka kebijakannya itu tidak boleh ditaati.
8. Pemimpin publik yang melanggar sumpah dan/atau tidak melakukan tugas-tugasnya harus dimintai pertanggungjawaban melalui lembaga DPR dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.
10. MUI memberikan taushiyah bagi pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya.
Sumber: https://news.detik.com/berita/2940855/ini-fatwa-mui-soal-pemimpin-ingkar-janji-dan-yang-boleh-tak-ditaati