[PORTAL-ISLAM.ID] Lama menghilang, pegiat anti korupsi dari UGM dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana muncul kembali dengan kabar yang sangat mengejutkan. “Ya kami ditunjuk sebagai kuasa hukum Mahkota Sentosa Utama (pengembang Meikarta). Baru ditunjuk pagi ini,” katanya kepada media.
Penunjukan Denny, oleh pengembang yang bernaung di bawah Lippo Group, membuat banyak kalangan mengerenyitkan dahi. Persepsi yang melekat kuat di publik, Denny dan Lippo selama ini berdiri dalam dua kutub yang sangat berseberangan. Kalau toh harus bergabung, ibarat minyak dengan air. Tak bisa menyatu.
Di masa lalu, ketika masih menjadi pengajar di UGM, Denny adalah seorang pegiat anti korupsi yang garang. Sikapnya tak berubah ketika masuk dalam pemerintahan dan menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM di masa pemerintahan SBY.
Dia sering melakukan inspeksi mendadak (sidak) tengah malam ke sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (LP). Salah satunya yang cukup membuat gempar ketika dia melakukan sidak ke LP Sukamiskin, Bandung. Di LP Sukamiskin bersama presenter Najwa Shihab, Denny melakukan inspeksi ke kamar para narapidana korupsi dan menemukan sejumlah fasilitas dan barang mewah.
LIPPO, ehmmm…. Dalam pekan-pekan ini kelompok usaha yang didirikan oleh Taipan Mochtar Riady itu tengah menjadi buah bibir. Dua orang petinggi puncaknya, duo Sindoro, Eddy dan Billy, sedang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Eddy Sindoro menyerahkan diri setelah dua tahun kabur ke luar negeri. Dia terlibat kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edi Nasution, dan ditetapkan sebagai tersangka. Billy Sindoro untuk kedua kalinya ditangkap KPK karena kasus suap.
Kasus Billy menjadi sangat menarik perhatian karena posisinya sebagai Direktur Operasional Lippo, dan kasus suapnya berkaitan dengan proses perizinan Meikarta.
Proyek yang diklaim akan menjadi hunian modern dengan infrastruktur terlengkap di Asia Tenggara itu, sejak kemunculannya sudah mengundang masalah. Wakil Gubernur Jabar yang saat itu dijabat Deddy Mizwar sampai menyebut Lippo seperti “negara dalam negara.” Mereka bertindak seolah tak terjangkau oleh hukum.
Melalui PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), Lippo membangun sebuah kota, melakukan penjualan besar-besaran, namun belum mengantongi perizinan resmi dari pemerintah. Keberadaan Meikarta juga mengundang masalah, karena lokasinya tidak sesuai dengan master plan Pemprov Jabar.
Lokasi yang ditempati Meikarta direncanakan sebagai hunian untuk menopang kawasan industri di sekitarnya. Bukan kota mandiri seperti yang dirancang LIPPO.
Masalah lain yang dipersoalkan adalah luas kota yang ditawarkan kepada publik, tidak sesuai dengan izin yang dimiliki pengembang Meikarta. Saat itu mereka mengklaim akan membangun kota di atas lahan seluas 2.200 hektar. Namun izin resmi yang dimiliki hanya seluas 84 hektar.
Bersamaan dengan itu Pemkab Bekasi mengajukan alih lahan seluas 6.000 hektar. Namun ditolak oleh Pemprof Jabar, karena lahan yang akan dialihkan merupakan lahan produktif. Sementara Bekasi selama ini menjadi lumbung pangan Jabar. Saat itu Deddy Mizwar sebenarnya mencurigai adanya kongkalikong antara Pemkab Bekasi dengan Meikarta.
Tarik menarik antara pengembang Meikarta dan Pemprov Jabar kian seru ketika Menko Maritim Luhut Panjaitan mulai campur tangan. Dia mengusulkan agar Meikarta dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dengan status tersebut Meikarta bakal mendapat berbagai keistimewaan.
Untuk menunjukkan bahwa pemerintah pusat mem-back up proyek milik keluarga James Riady tersebut, Luhut bersama sejumlah pejabat dan petinggi partai hadir pada peletakan atap (topping off) Meikarta. Luhut juga menyebut perizinan Meikarta tak bermasalah.
Kehadiran Luhut dan sikapnya yang pasang badan mengingatkan publik pada skandal pulau reklamasi Pantai Utara Jakarta. Banyak yang bertanya-tanya apa kepentingan Luhut di Meikarta? Pada kasus pulau reklamasi, posisi Luhut sebagai Menko Maritim masih nyambung. Karena urusannya masih berkaitan dengan laut (maritim). Nah Meikarta yang nun jauh di Bekasi Timur, apa hubungannya?
Penangkapan sejumlah pejabat Pemkab Bekasi, termasuk Bupati Neneng Hasanah Yasin karena menerima suap dari petinggi Lippo Billy Sindoro membuktikan kecurigaan Deddy Mizwar selama ini.
Acakadutnya proyek Meikarta juga terlihat dalam sengketa dengan perusahaan agensi yang menangani iklannya. PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi mengajukan gugatan pailit Meikarta berkaitan tunggakan utang iklannya.
Sepanjang tahun 2017 berdasarkan catatan AC Nielsen, Meikarta menggelontorkan dana iklan tak kurang dari Rp 1.5 triliun. Belanja iklan tersebut selain terbesar berdasarkan merek, juga belum pernah terjadi sepanjang sejarah properti Indonesia.
Bukan legal action
Dengan track record Lippo seperti itu wajar bila banyak yang curiga dan menyesalkan kesediaan Denny menjadi kuasa hukum Meikarta. Aktivis antikorupsi di Yogyakarta, Tri Wahyu KH, yang juga Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM) mengaku masygul dan menyesalkannya. “Seperti tidak ada penasehat hukum lain saja,” ujarnya.
Wahyu masih mengingat statemen Denny. Di Indonesia ini ada empat episentrum korupsi, yakni Istana, Cendana, Pemegang Senjata, dan Pengusaha Naga. Denny sempat bergabung dalam lingkaran istana, dan sekarang dia menjadi pengacara perusahaan yang dimiliki oleh salah satu kelompok “Naga.”
Wajar bila muncul pertanyaan apa sebenarnya yang tengah dicari Denny?
Kepada media, Denny mengaku bersedia menjadi kuasa hukum dalam rangka membantu KPK melakukan penegakan hukum. Dia menawarkan pendekatan berbeda, yakni tidak melakukan perlawanan dan sepenuhnya bekerjasama dengan KPK. Pernyataan ini sungguh mulia, tapi kok sangat naif ya.
Yang namanya kuasa hukum, dimanapun di dunia ini, bekerja untuk kepentingan kliennya. Entah kalau Lippo saat ini sedang mengalami titik balik. Mereka menjadikan kasus Duo Sindoro sebagai momentum “pengakuan dosanya.” Benarkah?
Melihat rontoknya sejumlah saham Lippo pasca penangkapan Billy, penunjukkan Denny tampaknya sudah diperhitungkan dengan matang. Ini bukan langkah hukum (legal action) biasa, tapi langkah public relation (PR) yang dahsyat.
Lippo pasti tahu tidak ada gunanya melakukan perlawanan hukum terhadap KPK. Apalagi prosesnya terkait operasi tangkap tangan (OTT). Jadi Billy sudah pasti tidak dapat diselamatkan. Apalagi statusnya dalam kasus suap adalah residivis (pengulangan kejahatan). Jadi dia dijadikan semacam “tumbal” untuk menyelamatkan kejatuhan Lippo lebih dalam. harus ada cut off.
Dengan profil Denny yang cukup mencorong di kalangan pegiat anti korupsi, dia bisa menjadi PR yang sangat kredible. Coba perhatikan apa keterangan pers Denny sebagai kuasa hukum kepada media?
“Dalam hal memang ada penyimpangan atas prinsip antikorupsi yang menjadi kebijakan perusahaan, maka PT MSU tidak akan menoleransi, penyimpangan itu.”
PT MSU, tulis Denny juga tidak akan segan-segan untuk memberikan sanksi dan tindakan tegas kepada oknum yang melakukan penyimpangan tersebut, sesuai ketentuan hukum kepegawaian yang berlaku. Menurut Denny, PT MSU adalah korporasi yang menjunjung tinggi prinsip good corporate governance dan antikorupsi sehingga telah dan terus berkomitmen untuk menolak praktik-praktik korupsi, termasuk suap dalam berbisnis.
Sangat gagah khan? Silakan Anda nilai sendiri benarkah apa yang dikatakan Denny mengingat track record PT MSU dalam mengembangkan Meikarta. Posisi Billy Sindoro sangat tinggi. Dia adalah Direktur Operasional Lippo. Sementara PT MSU adalah anak perusahaan PT Lippo Cikarang Tbk, salah satu sayap bisnis Lippo. Jadi secara teknis Billy jauh berada di atas struktur PT MSU. Bagaimana mungkin PT MSU menindak Billy. Aya-aya wae.
Waktu yang akan membuktikan, apakah Denny akan berhasil mengubah budaya bisnis Lippo yang sering terlibat dalam kasus suap? Atau sebaliknya Denny akan berubah karena menjadi kuasa hukum Lippo Group?
Penulis: Hersubeno Arief