[PORTAL-ISLAM.ID] Emak-emak. Semula kata tersebut sekadar panggilan. Lalu diberi bumbu guyon dalam obrolan nyata atau maya. Misalnya, peristiwa memberi lampu sein kanan tapi belok kiri. Hingga muncul istilah The Power of Emak-emak.
Di jagat politik, term ini pernah digunakan untuk menyebut fenomena berjayanya kepemimpinan kaum hawa di Jawa Timur. Sebab, memiliki total 10 kepala daerah perempuan pasca-Pilkada 2018, termasuk Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur terpilih.
Selebrasi term emak-emak menemui babak barunya pada 10 Agustus 2018, ketika Sandiaga Uno, pasangan Prabowo Subianto di Pemilu Presiden 2019, merebut sebutan itu dan menjadikannya target kampanye.
“Kami ingin berjuang untuk partai emak-emak,” bunyi pidato Sandiaga setelah mendaftarkan diri ke KPU dua bulan lalu. Sejak itu, emak-emak menjadi salah satu komoditas politik baru bagi kubu oposisi.
Selain sebagai target suara, emak-emak juga diklaim menjadi juru bicara Prabowo-Sandi. “Juru bicara Jokowi gemuk. Tapi secara substansi, (jubir) kami jauh lebih gemuk–ada jutaan orang emak-emak di seluruh Indonesia di tingkat grassroot,” kata Ketua DPP Partai Gerindra, Habiburokhman, di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/8).
Di masa kampanye ini, Sandi mengejawantahkan perjuangannya untuk emak-emak melalui banyolan kebutuhan dapur dan makanan. Dari pasar ke pasar ia berkampanye, berulang kali mengobrol lalu menceritakan ulang segala curhatan ibu-ibu yang ia dengar kepada media massa.
“Di Pekanbaru, Ibu Lia cekcok sama suaminya gara-gara uang belanja dikasih Rp 100 ribu pulang cuma bawa bawang sama cabai,” ujar Sandiaga di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu (5/9).
Cerita tersebut disampaikan Sandi sambil mengkritik kenaikan nilai tukar dolar yang menurutnya membuat harga-harga kian melambung. Curhatan Ibu Lia yang disampaikan Sandi itu kemudian heboh, menjadi bahan pembicaraan, kontroversial, hingga melahirkan tagar tantangan #100ribudapatapa media sosial.
Belum reda keriuhan cerita Ibu Lia dari Pekanbaru, Sandi datang membawa cerita baru yang tak kalah sensasional.
“Tempe katanya sekarang sudah dikecilkan dan tipisnya udah hampir sama dengan kartu ATM. Ibu Yuli di Duren Sawit kemarin bilang, jualan tahunya sekarang dikecilin ukurannya,” tutur Sandi di kediaman Prabowo, Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (7/9).
Berbagai respons pun dengan segera bermunculan. Mulai dari yang nyinyir, lalu membandingkan langsung kartu atm dan tempe, hingga mendesain kartu bermotif tempe.
Komentarnya soal tempe tak berhenti di situ. Melihat bungkusan tempe kecil seharga Rp 350 yang biasa dibeli untuk memasak tempe penyet di Pasar Wonodri, Semarang, Sandi terkejut.
“Ini inovasi yang dilakukan Ibu Yani. Jadi bukan sampo aja yang saset. Tempe juga begitu,” ujarnya setelah membeli bungkusan tempe mini, Senin (24/9).
Menurut Sandi, semua itu dikarenakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang membuat harga kedelai impor kian mahal. Alhasil, ukuran tempe pun semakin mengecil. Ia tak peduli dengan banyaknya cemooh dan olok-olok yang menyangsikan ucapannya.
“Saya bukan mengada-ngada, itu yang ada. Dan kalau di medsos mem-bully itu, it’s okay. Itu bagian daripada proses kampanye,” jawab Sandi di acara Rakernas PKS, Bogor, Jumat (10/9).
Selang dua minggu, Sandi kembali terpana melihat tempe yang dijual di Pasar Tanjung, Jember. Bukan karena ukurannya yang super tipis atau kecil, tapi justru karena saking besarnya tempe jualan yang ia lihat.
“Jadi bungkusan tempe di berbagai daerah di Indonesia beragam. Ada yang setipis kartu ATM, ada tempe saset. Nah di Jember ini saya menemukan tempe sebesar tablet (ipad),” kata Sandi dalam rilisnya, Senin (7/10).
Demi menjaga konsistensinya mengkritik kenaikan bahan pangan, baru-baru ini Sandi mengeluarkan pernyataan yang tak kalah bikin heboh. Bukan berasal dari cerita Ibu Lia atau Ibu Yani, melainkan–klaimnya–merujuk data World Bank.
Sandi berkata bahwa harga makanan di Indonesia lebih mahal dibandingkan di negara lain seperti Singapura dan Thailand. Pernyataan itu ia lanjutkan secara lebih detail dengan mengatakan, “Di Singapura sepiring chicken rice itu SGD 3,5 atau Rp 35 ribu, di sini mungkin bisa Rp 50 ribu.”
Lagi-lagi, ucapan Sandi menjadi buah bibir banyak orang baik secara online atau offline. Rasa heran atas pernyataan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini menyeruak hingga berbondong-bondong sanggahan.
Sebab selama ini Singapura dikenal sebagai kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia selama lima tahun berturut-turut. Hal tersebut diungkapkan dalam laporan Worldwide Cost of Living 2018 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit.
Bagi kubu petahana, ragam kehebohan pernyataan Sandi ini memudahkan mereka dalam membalasnya. “Semakin sering Pak Sandi statement seperti-seperti itu, ya semakin-semakin bahagia kita. Enggak pusing nanggapinya,” ucap Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf, Arsul Sani, Selasa (9/10).
Kampanye sekarang itu sudah campaigntainment, jadi harus ada entertain-nya. Jadi enggak perlu band, simpel saja yang penting terhibur dan sesuatu yang baru.
Pilihan Sandi untuk mengomentari kebutuhan dapur dan makanan bukan tanpa alasan. Ia sejalan dengan upaya merebut suara dari kaum perempuan yang menjadi salah satu target kampanyenya.
“Saya fokus bagaimana pemberdayaan perempuan, bagaimana ekonominya. Karena 67 persen daripada ekonomi rumah tangga ditopang oleh emak-emak,” ujar Sandi ketika bertemu kumparan, Sabtu (13/10).
Ia menjamin bahwa apa yang disampaikannya berdasar pada cerita atau data. Hal tersebut ditegaskan oleh Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Gamal Abinsaid.
“Kita melangkah juga tidak asal-asalan. Kita melangkah juga by data. Kita melangkah dengan hasil diskusi dan hasil rekomendasi,” jawabnya kepada kumparan, Rabu (10/10).
Ia juga menyatakan tujuan kampanye urusan dapur adalah, “Kami ingin mengamankan dapur tiap rumah. Jadi, Bang Sandi itu mencoba masuk ke rumah, memahami emak emak dan memahami kebutuhannya.”
Apapun yang diucapkan oleh Sandi telah melalui proses diskusi dan rapat yang diadakan setiap awal pekan. Suplai data dari tim ekonomi tidak serta merta diucapkan begitu saja oleh Sandi. Namun diolah sedemikian rupa menjadi jauh lebih sederhana.
Saya tuh relatif tidak dikenal di masyarakat. Pak Prabowo sudah dikenal, tingkat pengenalannya sangat tinggi. Dia (Prabowo) fokus ke isu-isu strategis.
“Beliau (Sandi) melihat masyarakat sangat mudah untuk menerima pesan apabila pesan itu dibuat dengan sangat sederhana dan tidak kompleks, terutama kalau kita bicara tentang ekonomi,” ujar anggota tim ekonomi Prabowo-Sandi, Harryadin Mahardika.
Ketika ditemui di daerah Rawamangun, Kamis (11/10), Harry menjelaskan alasan Prabowo-Sandi menyasar pemilih perempuan khususnya emak-emak. “Kita menyasar mereka yang merasakan langsung dampak dari tingginya harga bahan makanan ini dalam kehidupan sehari-hari… kenaikan harga menjadi sensitif bagi emak-emak.”
Oleh karenanya pesan-pesan seputaran harga pangan terus disampaikan. “Mereka mulai meyakini kalau tempe itu mahal, tempe itu udah mulai tipis. Karena sebenarnya yang kita butuhkan itu keyakinan kalau yang dikatakan Pak Sandi itu benar,” ujar Harry.
Tim pemenangan Prabowo-Sandi meyakini secara perlahan, emak-emak akan menjadi salah satu penentu kemenangan mereka. Sebagai juru bicara, Gamala yang juga pemimpin perusahaan Indonesia Medika ini optimis, kelompok ibu rumah tangga bisa menyumbang 10 persen suara untuk kemenangan Prabowo-Sandi.
Hal itu diperlukan sebab Prabowo sebagai sebuah brand dalam politik sudah sulit berkembang pasca-2014. Terbukti, pemberitaan mengenai aksi-aksi kampanye Sandi lebih berbunyi dan berlimpah dibanding Prabowo.
Meski begitu, menurut pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kuskridho Ambardi, kampanye “emak-emak” yang gencar dilakukan oleh cawapres Prabowo itu belum cukup untuk mendongkrak elektabilitas mereka. Upaya itu hanya efektif untuk sekadar meningkatkan popularitas mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut.
“Popularitas itu tidak sama dengan elektabilitas,” ucapnya tegas. Untuk mengubah popularitas menjadi elektabilitas hingga sampai di bilik pencoblosan membutuhkan pernyataan-pernyataan yang kredibel dan bisa dipercaya.
“Kredibel itu artinya dia punya gagasan. Gagasan itu dimunculkan dalam kebijakan untuk menyelesaikan problem di Indonesia seperti apa. Nah itu yang tidak muncul,” papar Dodi. Ia pun menyayangkan banyaknya pernyataan Sandi yang hiperbolis, dengan data yang tak akurat.
Sebab, perilaku pemilih di Indonesia sudah cukup rasional. Mereka akan mempertimbangkan tawaran berupa kebijakan substansial terkait kepentingan kolektif mereka yang dikampanyekan oleh para calon sebelum memutuskan pilihannya. Misalnya, terkait kesejahteraan keluarga, kesehatan anak, dan kesetaraan gender.
Ia mencontohkan kemenangan Khofifah Indar Parawansa di Pilkada Jawa Timur yang mengandalkan dukungan gerakan akar rumput yang diorganisir oleh kaum perempuan. Dukungan itu, menurut Dodi, muncul karena Mantan Menteri Sosial tersebut dapat menawarkan kebijakan konkret, salah satunya melalui Program Keluarga Harapan (PKH).
“Emak-emak itu akan menjadi sebuah kekuatan elektoral jika para calon dapat membidik kepentingan kolektif mereka, seperti isu-isu yang berkaitan dengan kesejahteraan emak-emak. Baru itu punya efek (meningkatkan elektabilitas),” jelasnya.
Sejauh ini, ia melihat belum ada tawaran kebijakan yang dikampanyekan oleh Sandi. Baginya, Sandi dengan gaya komunikasinya itu dinilai gagal menunjukkan diri sebagai pemimpin yang visioner dengan cita-cita besar maupun pemimpin yang memiliki keahlian tertentu dan memahami data secara detail.
“Kemudian, kalau dia mau jadi pemimpin yang transformatif (membawa perubahan) pun, mau membawa Indonesia ke arah mana? Gagasannya belum jelas,” ujar Dodi.
“Akhirnya, jalur dukungan untuk pasangan Prabowo-Sandiaga bukan ditarik lewat isu (kebijakan), tapi mungkin lewat penampilan Sandiaga yang simpatik, keren, dan ganteng,” imbuhnya.
Hal itu dinilai tak akan cukup ampuh. Apalagi tingkat partisipasi politik perempuan, menurut buku Voting Behavior in Indonesia Since Democratization yang ditulis Dodi bersama Saiful Mujani dan William Liddle, tercatat lebih rendah dibanding laki-laki sejak pemilu 2004 sampai pemilu 2014.
Rendahnya partisipasi politik perempuan tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Faktor-faktor seperti, tingkat pendidikan, informasi politik, kesempatan untuk terlibat aktif, serta intensitas untuk mendapat ruang di ranah publik turut mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik.
Pada akhirnya, untuk menggaet potensi besar dukungan kaum hawa dibutuhkan lebih dari sekadar obrolan pasar tanpa gagasan besar.
Sumber: Swamedium