PRABOWO dan MANUSIA INDONESIA nya MOCHTAR LUBIS
By Tarli Nugroho
Pada 6 April 1977, Mochtar Lubis memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) tentang “Situasi dan Manusia Indonesia Kini”. Belakangan, ceramah itu menjadi demikian terkenal dan memancing polemik. Oleh Yayasan Idayu, ceramah pemimpin Harian Indonesia Raya itu kemudian dibukukan menjadi “Manusia Indonesia”.
Ada banyak kritik yang disampaikan oleh Mochtar Lubis. Dan sebagian besar kritik itu ditujukan kepada manusia dan kebudayaan Jawa. Mochtar, misalnya, menganggap jika pepatah Jawa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe, amemayu ayuning bawana,” sebagai buah bibir atau hiasan pidato saja.
Ceramah Mochtar Lubis itu mendapatkan tanggapan Margono Djojohadikusumo (kakek Prabowo Subianto). Melalui tulisannya, “Feodalisme, New-Feodalisme, Aristokrasi”, yang dimuat di Harian Kompas, 13 Mei 1977, sebagai bangsawan Jawa, Margono memberikan sejumlah klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang disampaikan Mochtar dalam ceramahnya.
Menurut Margono, banyak orang mencampuradukan antara aristokrasi dengan feodalisme, seolah keduanya sama dan sebangun. Kadang orang menyebut aristokrasi sebagai bentuk feodalisme. Ataupun sebaliknya, menyebut feodalisme sebagai bentuk dari aristokrasi. Kekeliruan perseptual semacam itu bukan hanya sering hinggap di orang luar Jawa, tapi juga banyak diidap oleh orang Jawa sendiri.
Padahal, tulis Margono, aristokrasi menunjukkan kepribadian manusia dalam cara hidup, tingkah laku dalam pergaulan, pendirian menghadapi kesukaran dan sebagainya, yang dalam filsafat Jawa disebut kesatria. Ini adalah sikap yang terpuji, budaya yang perlu dipelihara.
Sebagai keturunan bangsawan, Margono bersikap egaliter dengan mengakui bahwa seorang aristokrat tidak harus selalu datang dari golongan bangsawan. Menurutnya, seorang aristokrat bisa saja datang dari kampung atau keluarga miskin. Begitu pula sebaliknya, orang dari golongan bangsawan tidak selalu mempunyai jiwa aristokrasi. Seringkali, mereka hanya memelihara sikap feodal saja, bukan sikap aristokrat. Itu sebabnya Margono menyayangkan kritik Mochtar yang cenderung gebyah uyah, menyamakan aristokrasi dengan feodalisme, seolah kebudayaan Jawa tak memiliki kebaikan sama sekali.
Sebagai bagian dari kritiknya terhadap kritik yang disampaikan Mochtar Lubis, Margono lalu mengutipkan sebuah surat dari cucunya. Surat itu dikirim oleh Prabowo Subianto dari pedalaman hutan Timor Timur, medio September 1976. Pemuda Prabowo, yang saat itu berusia 25 tahun, mengirimkan surat permohonan maaf karena tak bisa berkumpul dengan kakeknya yang telah sepuh itu di Hari Raya Idul Fitri.
Surat itu bagi Margono sangat mengharukan. Di tengah suasana hari raya yang penuh kegembiraan, dikelilingi anak cucu dan sanak familinya yang lain, ia harus mengasingkan diri sejenak untuk menenangkan diri setelah membaca surat cucunya tersebut.
Surat Prabowo itu pendek saja:
“Eyang, pada hari Idul Fitri kali ini saya tidak ada di lingkungan keluarga. Maafkanlah segala kesalahan saya. Salam dari medan juang. Kami sudah lebih dari satu bulan berada di pegunungan. Tugas kami lumayan juga beratnya. Tiap jengkal tanah kami rebut dengan tetesan darah, keringat, dan air mata. Putra-putra terbaik Indonesia memberi segala yang ada pada dirinya dalam pengabdian pada negara dan bangsa.
Yakinlah, kami selalu ada di bagian terdepan bersama para anggota kami. Yakinlah, prajurit-prajurit Indonesia terus berjuang tanpa pamrih, hanya ingat pada sumpahnya sebagai prajurit dan ksatria.”
Dalam artikelnya di Kompas, Margono menulis, “Bayangkanlah, perasaan seorang kakek pada saat itu. Saya terpaksa mengundurkan diri untuk beberapa menit masuk kamar untuk menenangkan hati saya,” tulis Margono. “Apakah ‘tanpa pamrih’ yang dituls dalam surat itu hanya buah bibir saja atau hiasan surat dari seorang cucu kepada kakeknya? Tidak adil kiranya kalau ada orang mengatakan ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ dan sebagainya hanya pepatah kosong belaka.”
Lebih jauh Margono menulis bahwa meskipun cucunya itu lahir di tengah keluarga bangsawan Jawa, yang dalam ceramah Mochtar diidentikan dengan feodalisme, namun cucunya itu mempunyai ciri manusia Indonesia yang jauh berbeda.
“Sejak umur 6 tahun sampai 16 tahun dia ada di luar negeri, pada umur 18 tahun, sekembalinya di Tanah Air, walaupun atas usaha sendiri (bukan usaha ayahnya) sudah mendapat beasiswa pada universitas di Amerika, tetapi dia lebih senang tinggal di Tanah Air sendiri.”
Margono kemudian menulis bahwa tanpa sepengetahuan ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, Prabowo muda diam-diam telah mendaftar ke akademi militer di Magelang. Sesudah ia diterima, barulah ia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, sebagai bentuk ‘fait a compli’ atas kehendak ayahnya yang menginginkannya meneruskan pendidikan ke jenjang universiter. Karena disabot demikian, Sumitro akhirnya merestui. “Ambil keputusanmu sendiri, dan terima apapun konsekuensinya.”
Prabowo masuk Akabri pada tahun 1970. Ia satu angkatan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Wirahadikusumah, dan Ryamizard Ryacudu. Karena berasal dari keluarga elite, bangsawan, saat menjadi taruna Prabowo sempat jadi bulan-bulanan para seniornnya. Apalagi, waktu itu kemampuan bahasa Indonesianya masih terbata-bata. Prabowo memang besar dan tumbuh menjadi remaja diluar negeri. Saat masuk ke Akademi Militer, ia belum genap setahun kembali ke Indonesia.
Menurut kelakar salah satu seniornya, Zacky Anwar Makarim, “Jangankan menjabarkan ide dalam bahasa Indonesia, Prabowo itu ngigaunya saja pakai bahasa Inggris.”
Kembali ke tulisan Margono, meskipun ia menerima kritik Mochtar atas feodalisme, namun Margono mengingatkan bahwa tak semua priyayi Jawa otomatis feodal. Dengan kebanggaan yang terukur, ia bisa melihat jika cucunya sendiri, yang hidup dan dibesarkan di tengah keluarga priyayi, tidaklah mengidap “penyakit Manusia Indonesia” sebagaimana yang dikhawatirkan Mochtar Lubis.
Oya, hari ini cucunya Pak Margono tersebut berulang tahun yang ke-67. Selamat ulang tahun, Pak. Semoga seluruh hajat baik Anda dikabulkan Allah.
Aamiin.
(17/10/2018)