Oleh: Yusuf Maulana*
(Jogja)
Kenalan saya, Maszlee Malik (kini Menteri Pendidikan Malaysia), pernah cerita pengalaman semasa studi di Durham University London. Saat Recep Tayyip Erdogan membuat kebijakan Ankara dekat dengan Tel Aviv, bermunculanlah cacian "budak Yahudi", "antek zionis" dan semacam itu. Yang dituju Erdogan; yang menghujat islamis yang, tak sedikit, berlatar pengikut Necmettin Erbakan. Sampai kemudian muncul insiden Davos 2009 antara Erdogan dan Simon Peres, yang berujung pemahlawanan sang pendiri AKP yang kala itu menjabat perdana menteri.
Kejadian Davos dan kemudian tragedi Marmara pada 31 Mei 2010, kian mengangkat nama Erdogan. Menariknya, kata Maszlee, orang-orang yang dulu menghujati Erdogan justru kini memuji-muji sembari turun ke jalan. Enteng saja seakan tak ingat posisinya berbulan lampau.
Tampaknya itulah kebesaran hati, dan pikiran menalar. Melihat dengan jernih dan jujur atas deretan kejadian secara objektif. Tak ragu menganulir cacian menjadi sanjungan. Tanpa ragu bahkan tiada malu. Malah mungkin sudah tidak dipikirkan. Karena yang diperlukan, yakni momentum tampilnya sosok pahlawan, sudah muncul.
Mengakui dan mengubah sikap perlu pula kebesaran hati. Ketenangan berpikir dan kestabilan jiwa, syaratnya. Berada di lingkungan warga Eropa seperti Inggris barangkali memudahkan sikap perubahan drastis menuju pandangan objektif. Sayangnya, ini yang sukar dan belum tentu serupa ditempuh ketika lingkungannya berbeda. Semisal beberapa al-akh di kota kami (Jogja) yang jujur membentang penolakan seperti di foto berikut. Sungguh satu perjuangan manakala pihak yang dicibirkan membawa hasil sebagaimana yang diperjuangkannya kini. Kini tak suka, esok mereka ternyata menuai hasil apa-apa yang pernah kita perjuangkan ngotot.
Semoga, sebagaimana para pengagum Erbakan berani mengoreksi sikapnya masa lalu lantas menjadi pendukung politik Turki atas Israel, demikian juga islamis di kota kami ini. Tak semata memandang gemuruh hati hari ini sebagai fakta kebenaran absolut hingga ujung hayatnya. Hingga mereka tak siap kala ada perubahan yang dihadirkan justru oleh pihak yang dicibirnya.
Tentang pihak yang dicibir bisa saja--dan amat mungkin berpeluang--salah. Yang lebih penting di sini untuk direnungkan adalah kesanggupan mengoreksi sikap kita hari ini. Dan ini berlaku pada siapa pun. Bukan hanya pihak yang terfoto mengekspresikan suara hatinya ini. []
*Sumber: fb penulis