[PORTAL-ISLAM.ID] Trump bawa dua tema sentral: "immigration" dan "anti-elitism". Indonesia (+/-) menghadapi dilema serupa dengan ekspresi berbeda.
"Tenaga kerja asing" dan "Kolaborasi penguasa-taipan" adalah rumus masalah di Indonesia. Solusinya; Sandinomics. Dalam rangka "Make Indonesia Great Again".
Di Amerika, implementasi "Trumponomics" menyelesaikan masalah pengangguran dan ekonomi. Trade policy "America First" bersumber pada "economic nationalism". Persis dengan spirit yang hendak dibangun Prabowo-Sandi.
"Nasionalisme Ekonomi" Rezim Jokowi-JK identik dengan ternak kalajengking, klaim jalan tol yang dibangun di era SBY, pakai dana haji, dukung taipan bangun Reklamasi dan Meikarta.
Trump supports tariffs dan duties. Selain policy lain dalam frame "protectionism" yang memungkinkan industri domestik memiliki competitive advantage.
Sama seperti Sandiaga Uno, Trump mengakhiri praktek "outsourcing" dan menarik lapangan kerja dari Jepang, China dan Mexico.
"Nasionalisme ekonomi" ala Trump dinista haters. Komunis dan liberal menyatu dalam orkestrasi menyerang Trump. Spiritnya bukan demi kepentingan rakyat, tapi universal dislike terhadap Trump.
Mereka tutup mata akan fakta Amerika kehilangan 34% lapangan kerja di bidang manufaktur antara tahun 1998 dan 2010. Plus penggunaan robotic, artificial intelligence, dan bio-engineering menghancurkan lapangan kerja tradisional.
Secara singkat, gambaran ekonomi Amerika yang dikuasai elite Blok Partai Democrat dan klik Obama sebagai berikut:
Sibuk ngurusin negara lain, sedot dana sebagai polisi dunia, pajak tinggi hingga pengusaha domestik memilih bangun pabrik di negara-negara dengan upah buruh rendah. Corporate tax rate Amerika tertinggi di dunia yaitu 38%.
Policy Obama yang bersifat liberal menyenangkan kartel industri domestik. Mereka pekerjakan imigran gelap yang bersedia diupah rendah dari Mexico, Latino, dan Asiatic. Praktek ini menyingkirkan Blue collar dan white working class Amerika.
Menghadapi dilema warisan Obama, Nasionalisme ekonomi Trump menarik diri dari Trans-Pacific Partnership yang dituduh menyebabkan working class Amerika kalah bersaing dengan low-paid Vietnamese workers.
Trump-haters mengkritik kebijakan ini membuat Amerika less competitive melawan China. Trump ngga peduli. Dia jalan terus.
Menghadapi Mexico, Trump merilis negosiasi ulang di North American Free Trade Agreement (NAFTA). Targetnya mengakhiri "maquiladora program".
Jika Mexico menolak renegosiasi NAFTA, Trump mengancam menerapkan 35% tarif terhadap import Mexico. Itu setara $294.7 miliar. Mexico dihadapkan dengan resiko kehilangan 80% dari total export produk manufaktur, minyak dan agrikultur ke Amerika.
Artinya, investor Amerika yang selama ini buka pabrik di Mexico akan bangkrut dan terpaksa kembali membuka pabrik-pabriknya di Amerika.
Dengan menurunkan corporate tax rate dari 38% ke 15%, Trump mengembalikan suasana nyaman bagi pengusaha domestik untuk bangun pabrik di Amerika.
Itu semua bisa dilakukan Trump karena kampanyenya tidak dibiayai taipan.
Di Indonesia, kampanye Prabowo-Sandi dibiayai kantong sendiri dan swadaya masyarakat. Tidak seperti Jokowi-Maruf yang incar duit taipan dengan "jualan program" yang artinya membuat deal dan konsesi dengan sejumlah konglomerat.
Dengan demikian, Prabowo-Sandi bisa bebas mengimplementasi Nasionalisme ekonomi tanpa tekanan kartel konglomerat.
Penulis: Zsng Wei Jian